BAGIAN 2

470 22 0
                                    

Waktu terus berjalan, sesuai bergulirnya mentari ke arah barat. Di balik bongkahan batu besar yang berada tepat di bibir jurang, Gora masih tetap duduk memeluk lutut. Dia berusaha berlindung dari sengatan matahari yang begitu terik. Pandangannya turus, tanpa berkedip sedikit pun merayapi dalamnya jurang di depannya. Walaupun matahari bersinar begitu terik, tapi kabut yang menyelimuti dasar jurang itu masih saja terlihat tebal. Sehingga, sulit sekali untuk bisa melihat jelas ke dasar jurang yang sangat dalam ini.
"Paman.... Kenapa kau rela mengorbankan nyawa untuk iblis-iblis keparat itu...?" desah Gora perlahan. Begitu pelan suara pemuda itu, hampir-hampir tidak terdengar.
Sementara, matahari terus bergerak ke arah barat. Dan Gora sudah merasakan perutnya bergolak minta diisi. Tapi, mana mungkin bisa mendapatkan makanan di tempat seperti ini. Sedangkan untuk bergerak saja, terasa sulit sekali. Begitu kecil tempat ini, sehingga tidak ada lagi ruang baginya untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Gora jadi mengeluh. Sungguh tidak terpikirkan oleh Gora tadi. Yang ada dalam pikirannya hanya menyelamatkan diri dari keangkaramurkaan Barada.
Sementara, angin yang bertiup dari dalam jurang sudah mulai terasa dingin menusuk kulit. Gora semakin merapatkan pelukannya ke lutut, berusaha mengurangi rasa dingin yang mulai menggigilkan. Sedikit kepalanya mendongak ke atas. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Tidak terasa, hampir satu harian penuh dia berada di balik batu di tepi jurang ini.
"Oh! Apa yang harus kuperbuat..?" desah Gora bertanya pada diri sendiri.
Nada suaranya jelas sekali terdengar seperti putus asa. Dan memang sedikit sekali harapan untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Bahkan Gora merasakan tidak mungkin punya harapan lagi. Walaupun tadi mendengar Barada dan para pembantunya sudah pergi, tapi dia tidak yakin kalau mereka pergi begitu saja. Dia yakin, mereka pasti masih mengawasi dari tempat yang jauh. Dan kalaupun bisa keluar, pasti Gora akan mati di ujung pedang Barada.
"Uh..." Gora mengeluh kecil. Di saat Gora sedang memikirkan cara yang tepat untuk bisa keluar, terdengar suara langkah kaki kuda mendekati jurang di balik batu sebesar kerbau tempatnya sekarang ini. Gora jadi tersentak kaget. Cepat-cepat dia berdiri dan merapatkan punggungnya ke dinding batu yang agak cekung ini. Telinganya dipasang tajam-tajam, mencoba mendengarkan suara yang ada di balik batu ini.
"Sudah sore, Kakang. Sebaiknya kita bermalam saja di sini. Kelihatannya, tempat ini cukup baik untuk bermalam...." Terdengar suara yang sangat halus seorang wanita.
Tak lama, suara langkah kaki kuda pun terhenti. Begitu dekat suaranya di balik bongkahan batu ini. Sementara, Gora tetap diam. Dia seperti tidak berani membuka suaranya sedikit pun juga. Namun pendengarannya tetap dipasang tajam-tajam.
"Berapa jauh lagi Desa Jungkun, Kakang?" Terdengar lagi suara halus seorang wanita, diikuti terdengarnya suara kaki menjejak tanah yang begitu ringan.
Jelas sekali dalam pendengaran Gora, kalau ada dua orang di balik batu ini. Dan dari suara yang didengarnya, mereka terdiri dari seorang wanita dan seorang laki-laki. Tapi yang jelas, Gora tidak kenal mereka. Namun demikian, telinganya terus dipasang lebar-lebar, agar bisa lebih jelas lagi mendengar. Dan di dalam hatinya, dia berharap bukan orang jahat seperti Barada yang datang, dan bisa mengeluarkannya dari sini. Bahkan tidak mungkin, perutnya yang sudah sejak tadi kosong bisa diisi.
"Ini sudah berada di kaki lereng Gunung Jungkun. Tidak begitu jauh lagi dari tempat ini. Pandan." Terdengar suara sahutan seorang laki-laki yang bernada begitu lembut, seperti suara seorang putra mahkota.
"Tapi, sebaiknya kita bermalam saja di sini, Kakang. Biar perjalanan diteruskan besok pagi saja."
"Begitu juga boleh. Biar kuda-kuda kita istirahat dulu. Kasihan, seharian penuh terus berjalan."
Sementara Gora dari balik batu, terus mendengarkan pembicaraan itu. Dia menduga-duga, siapa kedua orang ini...? Dan rasanya, suara itu belum pernah didengar sebelumnya. Gora jadi ragu-ragu juga untuk meminta pertolongan. Dia khawatir, kalau kedua orang itu sama saja seperti Barada yang ingin memenggal kepalanya. Cukup lama juga Gora berpikir mempertimbangkan kehadiran dua orang yang tidak dikenalnya. Hatinya jadi semakin gelisah saja. Dia masih terlihat ragu-ragu. Tapi akhirnya....
"Kisanak dan Nisanak...."
"Heh...?!" Terdengar nada suara terkejut dari balik batu.
"Siapakah kalian berdua? Apakah kalian bukan orang jahat..?" tanya Gora. Suaranya dibuat dalam sekali, seakan tidak ingin bisa diketahui arahnya.
"Siapa itu yang berbicara...?" terdengar pertanyaan seorang wanita dari balik bongkahan batu ini.
"Aku. Dan kalian siapa...?"
"Kami dua orang pengembara yang hendak ke Desa Jungkun," terdengar lagi suara sahutan dari seorang wanita.
"Apakah kalian ada hubungannya dengan Barada?"
"Siapa itu Barada...? Kami tidak pernah mendengar namanya."
"Kalian bukan orang jahat?" Kali ini tidak terdengar sahutan. Dan untuk beberapa saat keadaan jadi sunyi.
"Kami hanya pengembara. Dan bukan orang jahat"
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kalian bukan orang jahat...?"
"Kalau kau menunjukkan diri, akan tahu sendiri."
Kini Gora yang tidak bisa menyahuti. Dia terdiam memikirkan kata-kata wanita di balik batu itu. Dari nada suara dan kata-kata mereka, memang sepertinya bukan orang jahat. Terlebih lagi, mereka tidak mengenal orang yang bernama Barada. Dan juga, mengaku sebagai pengembara. Gora jadi termenung beberapa saat lamanya. Dalam rimba persilatan, dia tahu kalau seorang pengembara belum tentu orang jahat. Bahkan kebanyakan adalah pendekar tangguh berilmu tinggi yang selalu membasmi keangkaramurkaan. Tapi tidak sedikit juga yang berwatak jahat, selalu membuat keonaran di mana saja berada.
"Kisanak! Di mana kau berada? Keluarlah...!" terdengar suara agak keras seorang laki-laki dari balik bongkahan batu di tepi jurang ini.
Gora masih belum juga menjawab. Kepalanya didongakkan sedikit ke atas, menatap matahari yang sudah hampir tenggelam di ufuk barat Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Bahkan terasa begitu lembut menyapu kulit. Cahaya merah jingga menyemburat begitu indah, tapi tidak seindah hati dan pikiran Gora yang terus gelisah. Cukup lama juga Gora tidak bersuara sedikit pun.
Sementara, dari balik bongkahan batu ini juga tidak terdengar suara sama sekali. Sedangkan matahari sudah benar-benar tenggelam di peraduannya. Kegelapan menyelimuti seluruh daerah di kaki lereng Gunung Jungkun.
Selagi Barada berpikir, tiba-tiba dikejutkan oleh berkelebatnya sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depannya sudah berdiri seorang pemuda berusia sebaya dengannya. Wajahnya begitu tampan, bagaikan seorang pangeran. Dan pemuda itu berbaju rompi warna putih bersih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung.
Gora cepat melompat bangkit berdiri, dan merapatkan punggungnya ke bongkahan batu itu. Tampak jelas dalam keremangan cahaya bulan, wajahnya kelihatan pucat dan tubuhnya menggeletar kedinginan. Memang, angin yang bertiup dari dalam jurang ini begitu kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan.
"Sss..., siapa kau...?! Mau apa kau ke sini?" terdengar tergagap suara Gora.
"Tenang..., jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu," kata pemuda berbaju rompi putih itu lembut.
Gora memandangi pemuda berbaju rompi putih yang datang bagaikan angin, dari ujung kepala hingga ujung jari kaki. Seakan sedang dinilainya, apakah pemuda itu bermaksud baik atau buruk. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja, membiarkan dirinya dinilai dengan cermat.
"Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini tidak sendiri. Ada adikku yang menunggu di balik batu ini," jelas pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri, tetap dengan nada lembut.
Pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang tersampir di punggung itu memang Rangga. Dan dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Gora tampaknya tidak mengenal sama sekali. Dan memang, dia belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Tak heran kalau dia masih tetap saja diam, dengan sorot mata begitu tajam bernada menyelidik. Seakan, hatinya masih belum percaya kalau pemuda yang memperkenalkan diri dengan nama Rangga itu berniat baik padanya.
"Kisanak! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu...? Kenapa kau berada di sini?" tanya Rangga, masih dengan nada suara lembut sekali.
"Aku.... Namaku Gora. Aku...," Gora tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tubuh Gora jadi bergidik menggigil, saat hembusan angin yang cukup kencang menerpa. Memang sangat dingin angin yang datang dari dalam jurang di depannya.
"Kau terperosok...?" sambung Rangga menduga.
Gora hanya menganggukkan kepala saja. Memang hanya itu yang bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya, kelihatan sangat sungkan. Apalagi, antara mereka baru sekali ini bertemu. Gora khawatir, pemuda berbaju rompi putih itu orang suruhan Barada. Tapi rasa kecemasan dalam hatinya jadi terombang-ambing oleh sikap dan tutur kata Rangga yang begitu lembut. Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau pemuda berbaju rompi putih itu menampakkan kebengisan. Bahkan terasa begitu lembut dan sangat bersahabat.
"Sejak kapan kau berada di sini?" tanya Rangga lagi.
"Pagi tadi," sahut Gora pelan.
"Kalau kau mau, aku bersedia membantumu keluar dari sini," kata Rangga menawarkan jasa.
"Kau..., kau akan mengeluarkan aku dari sini...? Untuk apa?"
"Sejak pagi, kau terperosok ke sini. Untung saja tidak masuk ke dalam jurang. Kau tentu sangat lapar. Dan kebetulan, aku ada makanan sedikit. Dan lagi, kau kelihatannya terluka. Kau tentu tidak mau mati di sini, bukan...?"
Gora hanya diam saja.
"Marilah. Aku akan menolongmu keluar dari sini."
Gora masih saja diam, meskipun Rangga sudah melangkah mendekati. Entah kenapa, Gora jadi lunak. Dibiarkannya saja Pendekar Rajawali Sakti memeluk pinggangnya. Lalu, tiba-tiba saja....
"Hup!"
"Eh...?!"
Wusss...!
Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat ke atas. Dan Gora jadi tersentak kaget setengah mati. Maka cepat matanya dipejamkan. Tapi tidak berapa lama kemudian, Gora sudah merasakan kakinya menjejak tanah kembali. Dan pelukan tangan Rangga di pinggangnya juga sudah terlepas. Perlahan kelopak matanya dibuka.
Sungguh dia jadi terlongong bengong, menyadari dirinya kini sudah berada di tempat yang cukup lapang, tidak jauh dari tepi jurang. Dan di depannya kini bukan hanya Rangga yang ada, tapi ada pula seorang gadis berwajah cantik jelita. Bajunya warna biru yang cukup ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya begitu nyata terlihat.
"Kau sudah aman sekarang, Kisanak," ujar Rangga, tetap lembut sekali.
"Oh...," desah Gora panjang.
"Mari, duduklah dekat api. Agar tubuhmu terasa lebih hangat," ajak Rangga ramah.
Tanpa menoleh sedikit pun juga, Gora mengikuti Pendekar Rajawali Sakti mendekati api. Kemudian dia duduk bersila, tidak jauh dari api yang menyala cukup besar. Sementara gadis cantik berbaju biru muda itu, sudah sibuk memutar-mutar panggangan daging. Kelihatannya, seperti daging kelinci. Bau harum daging kelinci panggang, membuat perut Gora jadi berontak minta segera diisi. Tapi dia tetap saja diam, walaupun rasa lapar yang menghantam perutnya sudah hampir tidak tertahankan lagi. Dia tidak ingat lagi, kapan terakhir kali perutnya terisi makanan.
"Ini...." Gadis cantik yang memang Pandan Wangi menyodorkan satu panggangan kelinci yang sudah matang. Gora kelihatan ragu-ragu sejenak. Matanya melirik sedikit pada Rangga. Baru kelinci panggang itu diambil setelah melihat kepala Rangga terangguk, sambil memberi senyum manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti juga mengambil kelinci panggang ini, kemudian mereka makan tanpa berbicara lagi.
Gora diam saja ketika Rangga memperhatikan dan memeriksa seluruh tubuhnya dengan cermat sekali. Tampak jelas, dalam siraman cahaya api kalau kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah merebahkan diri, tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf. Kelihatannya kau seperti baru saja habis mendapat siksaan. Luka-luka di tubuhmu jelas bekas cambukan," kata Rangga bernada ragu-ragu.
Gora masih saja tetap membisu. Di dalam hatinya, dikaguminya pengamatan Rangga yang begitu cermat, sehingga bisa mengetahui jenis luka. Dan memang, luka-luka yang dideritanya bekas deraan cambuk. Bahkan luka-luka memar di tubuhnya akibat mendapat pukulan serta tendangan.
"Siapa yang menyiksamu sampai seperti ini, Gora?" tanya Rangga.
"Hhh...!" Gora hanya menghembuskan napas saja. Seakan, Gora begitu berat untuk mengatakan yang sebenarnya. Baru beberapa saat mereka saling mengenal, tapi sikap Rangga terlihat begitu memperhatikan. Dan hal ini membuat hati Gora jadi tidak tenteram. Entah apa yang menyebabkannya. Dia sendiri tidak tahu. Sikap Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian, membuatnya jadi sulit membuka suara. Lidahnya seakan-akan jadi kelu, sulit digerakkan.
"Ceritakan saja, Gora. Kalau kau punya persoalan yang bisa membahayakan nyawamu, kami berdua tidak segan-segan membantu. Asalkan, kau berada di pihak yang benar," selak Pandan Wangi.
Gora menatap gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu, kemudian beralih pada wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia sedang mencari kekuatan untuk membuka suara. Tapi itu masih saja terasa sulit dilakukan. Dan lidahnya terasa begitu kelu.
"Siapa yang menyiksamu, Gora...?" tanya Pandan Wangi lagi, terus mendesak.
Gadis itu bangun, dan duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya terlihat begitu tajam, langsung menembus sepasang mata Gora yang redup. Tapi pemuda itu malah mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak sanggup membalas tatapan mata Pandan Wangi yang menyorot sangat tajam.
"Sudahlah.... Mungkin kau tidak ingin kami berdua ikut campur dalam persoalanmu," elak Rangga menengahi.
"Sebaiknya kau tidur saja, Gora. Mudah-mudahan saja besok pagi tubuhmu sudah segar kembali."
Gora hanya menganggukkan kepala saja, kemudian menggeser duduknya. Lalu, tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun. Sementara, Rangga bangkit berdiri. Kakinya kemudian melangkah menjauhi pemuda itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka kemudian duduk di atas sebatang akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Namun, perhatian mereka masih terus tertuju pada Gora yang tampaknya sudah jatuh tertidur. Begitu cepat pemuda itu jatuh tertidur. Mungkin karena memang sudah begitu lelah.
Sementara, Rangga masih tetap duduk diam sambil memeluk sebelah lutut kanannya. Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali merebahkan diri, dengan punggung bersandar pada akar yang menyembul dari dalam tanah ini. Dan malam pun terus merayap semakin bertambah larut Udara di sekitar tepian jurang kaki lereng Gunung Jungkun ini semakin terasa dingin menggigilkan tulang. Api yang menyala cukup besar, seakan tidak mampu mengusir udara dingin ini.
"Kakang...."
"Hm...."
"Aku yakin kalau Gora punya persoalan, Kakang. Jadi mana mungkin bisa terperosok ke dalam jurang itu, kalau tidak ada sebabnya. Dan lagi, di tubuhnya penuh luka bekas penyiksaan," kata Pandan Wangi pelan setengah berbisik.
"Kalau memang benar, lalu...?"
"Apa salahnya kalau kita mencoba menolong, Kakang."
"Tapi, Gora sendiri seperti enggan ditolong orang lain. Sedangkan kita..., tidak mungkin bisa berbuat sesuatu kalau orangnya sendiri tidak menginginkannya."
"Barangkali dia masih sulit mengungkapkannya, Kakang. Tunggu saja sampai besok pagi," kata Pandan Wangi bersabar.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Kemudian tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun yang tetap menyala besar. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap duduk sambil memeluk lutut memperhatikan Gora yang sejak tadi sudah mendengkur. Matanya melirik sedikit pada Rangga yang sudah memejamkan matanya. Terlihat gerakan di dadanya begitu halus dan teratur.
"Hhh...!" Pandan Wangi menghembuskan nafasnya yang berat sekali.
Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau pemuda yang ditemuinya berada di balik batu harus ditolong. Tapi dia sama sekali tidak tahu, persoalan apa yang sedang dihadapi pemuda itu sehingga hampir saja tercebur ke dalam jurang sangat dalam. Sedangkan untuk menanyakannya, sudah tidak mungkin lagi. Gora memang tidak menginginkan bantuan siapa pun juga, seperti yang dikatakan Rangga tadi. Dan tampaknya, pemuda itu merahasiakan persoalannya.
Pandan Wangi melihat kalau tidur pemuda itu gelisah sekali. Entah, sudah berapa kali Gora menggelimpangkan tubuhnya. Dan, beberapa kali pula terdengar hembusan nafasnya yang begitu berat dan keras.
"Akh...!"
"Oh...?!" Pandan Wangi jadi terkejut. Dan gadis itu langsung terlompat bangkit berdiri, begitu tiba-tiba saja Gora memekik seraya terbangun duduk dari tidurnya. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di depan pemuda itu. Tampak seluruh wajah dan tubuh Gora bersimbah keringat dengan napas tersengal-sengal tak beraturan.
"Ada apa, Gora...?" tanya Pandan Wangi, dengan kelopak mata agak menyipit memperhatikan wajah pemuda yang bersimbah keringat itu.
"Ohhh...," Gora hanya menghembuskan napas panjang-panjang saja. Sebentar Gora seperti baru terjaga dari tidur dan mimpi buruknya, kemudian pandangannya ditujukan lurus ke wajah cantik Pandan Wangi. Beberapa kali nafasnya ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan rongga dadanya yang mendadak saja jadi terasa sesak ingin dilonggarkan.
Sementara Pandan Wangi masih bersabar menunggu, seraya memperhatikan wajah yang berkeringat itu.
"Ada apa, Gora? Kau bermimpi...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Hhh...!"

***

95. Pendekar Rajawali Sakti : Pangeran IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang