Perempuan Pilihan Ibu

125 6 1
                                    

#Perempuan_Pilihan_Ibu

Kuamati wajah dalam selembar foto yang diserahkan Ibu. Seraut wajah yang menurutku biasa saja, yang kuberi nilai 6 dari 10.
Sama sekali tak menghadirkan getar dalam dada ini meski berulang kali memandang fotonya.

"Gimana, le? Ayu, kan? Namanya Senja. Anaknya Bu Tatik teman sekolah Ibu dulu." Kutilik wajah Ibu yang tampak sumringah, bersemangat mempromosikan 'calon' pilihannya untukku.

"Masih jauh sih Bu, kalau dibandingkan dengan Nia." Ucapan yang terlontar barusan, seketika membuat Ibu beku.

"Masih saja kamu mengingat perempuan itu, Jar. Perempuan murahan yang bisa-bisanya hamil dengan lelaki lain, tepat seminggu sebelum acara pernikahan kalian!" ketus Ibu.

Ekspresi sumringah tadi seketika lenyap. Menguap, berganti bara di matanya. Ah, aku salah bicara. Kenapa pula kuangkat kembali subjek yang telah meninggalkan jejak luka dalam keluargaku itu?

Aku pun seperti terlempar pada kejadian lima tahun silam....

Namaku Fajar Renjana. Usiaku kini sudah tiga puluh tiga tahun. Pertama kali mengenal Nia, adalah saat kami sama-sama duduk di bangku kuliah. Rambut yang terurai panjang bak mayang, serta fisiknya yang nyaris sempurna, seketika menghipnotisku dalam keterpukauan. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dibuatnya.

Perasaanku pun disambut oleh Nia, hingga tali asmara kami terajut indah. Hingga sama-sama lulus kuliah, kami berdua tetap saling setia.
Setelah lulus, aku ikut terjun dalam usaha meubeul milik orang tuaku. Dengan ilmu yang kudapat selama empat tahun di bangku kuliah, hingga mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi, ditambah arahan Ayahku yang merupakan seorang bisnisman handal, menjadi bekalku untuk membuat usaha keluarga kami semakin maju.Menjadikanku mapan sebelum usia 30. Sementara Nia, bekerja di sebuah kantor kontraktor, karena dulunya ia mengambil jurusan teknik sipil ketika berkuliah.

Nia berasal dari keluarga rata-rata. Dalam arti, berasal dari keluarga sederhana yang biasa saja. Ayahnya adalah seorang pensiunan ASN, sedang ibunya seorang ibu rumah tangga biasa.

Namun, itu tak menjadi masalah bagi keluargaku. Meski masih memegang adat jawa yang lumayan kental, tapi orang tuaku bukanlah orang tua kolot yang menetapkan bibit bebet bobot sebagai standard untuk mencari mantu.

Rencana pernikahan pun terancang indah. Aku mantap meminang gadis yang menjadi belahan jiwa selama bertahun-tahun terikat dalam jalinan asmara.
Persiapan sudah hampir 95%. Undangan sudah kami sebar kepada para kerabat serta handai taulan. Bahkan Ayah juga turut mengundang rekan-rekan bisnisnya.

Gedung, catering, Wedding Organizer, semua sudah fix dan dibayar. Begitu pun mas kawin, cincin pernikahan bertahtahkan berlian, dan seserahan. Semua nyaris sempurna. Hanya tinggal selangkah kami menuju hari H.

Tapi malang tak dapat ditolak. Saat itu aku dan Nia baru saja bertemu dengan pihak Wedding Organizer untuk memastikan bahwa segala sesuatunya telah sesuai dengan konsep yang Nia inginkan. Ibu meneleponku dan meminta untuk membawa Nia pulang ke rumah kami sebentar, karena penjahit kebaya ingin Nia mencoba kebaya yang akan dikenakan dalam acara sakral kami nantinya.

Kebaya putih itu sungguh pas melekat ditubuh Nia yang ramping. Membuat keindahan ciptaan Tuhan itu semakin tampak paripurna kecantikannya. Tanpa cela, hingga membuatku menelan ludah beberapa kali, dan disambut ledekan dari para sepupu dan saudaraku yang lain.

Setelah memastikan segalanya aman, Nia tiba-tiba mengeluhkan sakit perut. Dia bahkan sampai jatuh terduduk, meringis menahan sakit. Semua yang melihat turut panik. Terlebih aku, sang calon suami.

"Kamu kenapa, Yang? Kok mendadak sakit? Tadi kamu pasti belum sarapan, ya?"
Aku bertanya seperti itu karena Nia beberapa kali mengaku sedang menjalani diet ketat agar tubuhnya makin ramping saat perhelatan pesta pernikahan kami nantinya.

Nia tak menjawab, hanya ber-aduh ria sambil mencengkeram perutnya yang rata. Tiba-tiba, darah muncul dari balik rok selutut yang dikenakan Nia. Mengaliri sepanjang betisnya.

Ibuku dengan panik menyuruhku membawa Nia ke rumah sakit. Perasaanku tiba-tiba tak enak. Ada sesuatu yang mengganjal, tapi entah apa. Tapi teriakan panik orang-orang memaksaku menepis 'sesuatu' itu. Kugendong Nia buru-buru menuju mobil. Dengan kecepatan tinggi kukebut mobil menuju rumah sakit terdekat.

Nia kularikan ke UGD. Disambut para medis, ia dibaringkan disalah satu ranjang yang kemudian dilindungi dengan gorden berwarna hijau. Aku tak bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Lalu kuputuskan menunggu di luar.

Tak berapa lama, seorang Dokter mendatangiku lalu mengajakku bicara.

"Maaf, Mas. Istri anda mengalami keguguran. Kami harus melakukan tindakan kuret untuk membersihkan janin di dalam rahimnya."

Aku seperti dihantam dengan sebuah godam besar yang menghancurkan dengan seketika. Keguguran? Bagaimana bisa? Aku bahkan tak pernah menyentuh Nia sejauh itu. Lalu dengan siapa calon istriku itu hamil? Beragam tanya berkelibat dalam benak. Tapi tak ada yang bisa kuucap. Mungkin ini mimpi, atau ini cuma prank, kalau istilah anak jaman sekarang, hanya untuk mengerjaiku. Biasanya begitu, bukan? Calon pengantin dikerjai habis-habisan menjelang hari pernikahan. Iya, kan?

Tapi air mata di wajah Nia, menegaskan bahwa ini semua nyata. Ini bukan jebakan, bukan pula prank semata.

"Maafkan aku, Jar!" seru Nia tertahan disela isak tangisnya. Bahunya berguncang karena tangisnya yang berderai. Ingin kutanyakan banyak hal, tetapi tenggorokan ini terasa kering, tak mampu mengeluarkan suara apapun.

Aku berbalik pergi dan berlari keluar dari ruangan itu, diikuti tatapan heran orang-orang yang ada di sana. Aku tak perduli. Aku hanya ingin berlari. Nafasku tersengal kala aku sudah duduk di balik kemudi. Dengan tangan gemetar, kuraih ponsel dan kutelepon Ibu.

"Bu, maafkan Fajar. Pernikahan Fajar dan Nia, batal..."
Tak kudengar lagi sahutan Ibu diseberang sana. Kulempar ponsel ke jok kursi sebelah, lalu menunduk dalam, bertopang setir mobil.

Dan sejak kejadian itu, aku menutup diri. Kulampiaskan kekecewaan dengan bekerja dan bekerja. Beberapa menatapku dengan sorot kasihan juga iba. Tapi aku berusaha acuh. Biar hanya hatiku yang tau betapa sakitnya dikhianati.

Beberapa kali Nia berusaha menghubungiku. Tapi tak pernah kutanggapi. Ayah dan Ibu yang murka, tentu tak mau diam begitu saja. Mereka menyambangi orang tua Nia dan menceritakan semua yang telah terjadi. Ibunya Nia hanya bisa menangis dan meminta maaf. Anaknya yang bersalah, tapi orang tuanya yang meminta maaf.

Dengan keputusanku yang menutup diri dan menjadi seorang workaholic, membuat Ibu khawatir. Berkali-kali beliau menyatakan takut aku akan menjadi perjaka tua, lalu berusaha menjodohkan aku dengan gadis-gadis lain untuk menyembuhkan trauma, namun kutolak mentah-mentah.

Biasanya Ibu akan pasrah, tapi kali ini berbeda. Gadis bernama Senja itu, gigih ia sodorkan padaku untuk kukenal lebih lanjut. Entah apa yang istimewa pada gadis yang jika kulihat dari fotonya terkesan biasa saja itu.

❤❤❤❤❤

Perempuan Pilihan IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang