#Perempuan_Pilihan_Ibu
Part 2
"Nah, di situ Jar, restonya." Ibu menunjuk ke sebuah restoran masakan sunda di antara deretan restoran yang ada di jalan Sudirman. Jam makan siang begini, hampir semua restoran ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin menikmati kuliner. Aku jadi agak sedikit kesulitan mencari tempat parkir.
Seorang juru parkir datang sambil meniupkan peluit dan memberi arahan. Aku pun mengikuti instruksinya sambil mengemudi dengan perlahan. Sang juru parkir melambai-lambaikan tangan, menyuruhku membelokkan setir ke kanan, terlihat memang ada yang kosong di situ.
Tiiinnnn....!!!!
Klakson dibunyikan dengan nyaring oleh sebuah mobil yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan.
"Apa-apaan sih? Kan kita yang dapat duluan." Aku menggerutu kesal, jelas kutujukan pada pengemudi di depan, meskipun ia tak bisa mendengarnya."Sabar, Fajar. Itu kayaknya perempuan yang nyetir." ujar Ibu.
"Perempuan memang begitu, apalagi kalau emak-emak yang nyetir. Jadi raja jalanan, deh."
Ibu tertawa geli mendengar rungutanku.
"Ah, nggak semua, lho. Ibu gak gitu, ah!" Ibu masih tertawa kecil. Kucebikkan bibir ke arahnya lalu tersenyum.Sang juru parkir kembali meniup peluitnya kencang. Memintaku untuk mengikuti instruksinya lagi. Tapi sepertinya mobil di depan itu juga ingin menempati parkiran yang kami tuju, dan ia tampaknya tak mau mengalah. Aku maju, dia juga ikut maju. Dasar sinting. Aku mulai beneran kesal.
Tak lama, seorang perempuan berambut panjang turun dari mobil tersebut dan bicara kepada si juru parkir. Mereka berdua tampak berdebat. Aku putuskan untuk turun juga dari mobil. Meskipun perempuan, bukan berarti dia bisa seenaknya.
"Maaf, permisi. Mbak, ada masalah?" sapaku dengan nada yang kubuat terdengar sopan.
"Iya, ada. Saya mau parkir di sini, tapi Mas-nya dan Mas parkir ini malah mau nyerobot."
Wow, ternyata perempuan ini jenis perempuan dalam kategori galak.
"Maaf? Saya nyerobot?" ulangku.
"Iya, saya sudah melihat tempat ini lebih dulu daripada situ. Saya yang lebih berhak dong, parkir di sini."
Tawaku nyaris pecah mendengar ucapannya. Dasar wanita, selalu merasa paling benar."Mundur dong mobilnya. Saya mau parkir. Saya dan mama saya buru-buru. Kami ada janji di dalam sama orang penting, dan kami hampir terlambat." Perempuan yang sebenarnya punya wajah manis itu tampak gusar. Saat kuperhatikan, sepertinya wajah itu tak asing. Tapi aku lupa, di mana aku pernah berjumpa dengannya.
"Mas?! Helloow....?"
Aku tersentak saat tangan wanita itu melambai-lambai di depan wajahku."Maaf, Mbak. Sebaiknya Mbak cari tempat lain. Mbak boleh bilang kalau Mbak yang melihat tempat kosong ini lebih dulu. Bahkan Mbak juga boleh kok, declare bahwa Mbak sudah melihatnya dari radius jarak satu kilometer. Tapi, saya yang duluan sampai di sini. Jadi, Mbak nya yang harus mundur dan silahkan mencari tempat lain untuk parkir. Masih luas kok, di sebelah sana...." Aku berkata sopan sambil menunjuk areal lain yang agak jauh.
Perempuan itu menggeleng tegas. "Nggak. Pokoknya saya mau parkir di sini. Mas nya kan laki-laki, masa gak mau ngalah sih, sama perempuan?"
"Waduh, Mbak. Bukannya sekarang banyak perempuan yang mendukung feminisme, ya? Ingin disetarakan dengan pria?"
Perempuan dengan pipi chubby itu mendecak kesal. "Ya ampun, Mas nya nyolot, ya?" kesalnya. Tak lama, seorang perempuan yang lebih tua turun dari mobilnya.
"Kenapa, Nja? Kok jadi ribut-ribut?" Wanita itu berbicara pada perempuan yang berdiri di depanku.
"Ini, Ma. Mas ini nggak mau ngalah. Padahal kan kita yang duluan nemu tempat ini!""Fajar, ada apa sih, ini? Kok jadi panjang?" Ibuku ternyata juga ikut-ikutan turun dari mobil dan mendekati kami.
"Loh, Tatik?" Ibu berkata kepada wanita baya yang berdiri di sebelah perempuan yang dari tadi mengajakku adu debat.
"Rima?" balas wanita itu. Ibuku dan wanita itu saling mendekat dengan langkah tergesa."Ya Allah, malah ketemu di sini duluan. Ha ha ha!" Ibu memeluk wanita yang ternyata temannya itu.
"Iya, eh. Padahal janjiannya di dalam, malah ketemu di parkiran." Tawa keduanya berderai renyah, seakan tak peduli padaku dan perempuan di depanku itu yang kebingungan."Eh, ini pasti Senja, ya?" Ibu tiba-tiba beralih pada perempuan itu.
"Eh, iya, Tante. Saya Senja..."
"Wah, ternyata lebih cantik aslinya ya, daripada fotonya!" seru Ibu.
"Senja, salam dulu ini, Tante Rima. Orang yang mau kita temui."
Astaga...! Aku ingin sekali menepuk jidat. Ternyata ini Senja, perempuan yang hendak dijodohkan denganku. Sampai-sampai Ibu rela mencak-mencak di siang bolong, memaksaku agar mau diajak bertemu dengan gadis ini.
Padahal aku sendiri sedang sibuk di meubeul, mengurus pesanan beberapa pelanggan."Itu Fajar?" teman Ibu yang bernama Tati itu berkata seraya menunjuk ke arahku.
"Iya, itu Fajar," sahut Ibu. "Fajar, ayo sini. Ini teman Ibu, Tante Tati. Dan ini anaknya, Senja." Lambaian Ibu memaksaku. Mau tak mau, aku pun maju. Kucium punggung tangan Tante Tati. Lalu menyapanya dengan sopan."Wah, cucok ya, mereka! Nggak salah nih, niat kita menjodohkan mereka, ya?" Ucapan Ibu membuatku menelan ludah karena malu. Kulirik perempuan bernama Senja, wajahnya juga merona merah. Sepertinya, dia juga merasakan seperti apa yang kurasakan.
"Satunya cantik, satunya ganteng. Ya cocok lah...." seloroh Tante Tati. Kedua wanita baya itu kembali pecah tawanya, mereka seakan lupa daratan. Serasa dunia hanya milik berdua. Heleh!
"Eh, Fajar, biar mobil Senja parkir di sini. Kamu cari tempat lain saja, ya? Tuh, di sana masih banyak yang kosong." titah Ibu. Kulihat Senja menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
Ah dasar, kalau sudah begini mana mungkin aku menang melawan mereka.Aku dan Senja sama-sama kembali ke mobil kami masing-masing. Aku pun lalu memundurkan mobil agar mobil Senja bisa masuk ke tempat parkir yang tadi menjadi rebutan.
Akhirnya kutemukan lahan parkir kosong. Setelahnya, aku pun menuju resto yang tadi ditunjukkan oleh Ibu. Sepertinya, mereka bertiga sudah mendahului aku masuk ke dalam.Kusapukan pandangan ke segala penjuru ruangan di restoran untuk menemukan keberadaan ibuku dan temannya. Sebuah lambaian tertangkap oleh netraku. Terlihat Ibu, Tante Tati serta Senja duduk di mengelilingi sebuah meja. Ibu dan temannya itu duduk bersebelahan, mau tak mau aku mengambil tempat di sebelah Senja.
Melihat kedatanganku, Senja hanya memasang wajah acuh, seakan tak mempedulikanku. Ah, jual mahal rupanya.
Baiklah, akan kuikuti permainannya. Tapi kalau dilihat-lihat, wajah Senja memang lebih cantik dari fotonya ternyata.Kulitnya tidak terlalu putih, tapi terlihat bersih terawat. Kedua alisnya terbentuk sempurna, rapi bak semut beriring, kata orang. Bulu matanya lentik, menaungi dua kelopak dengan bola mata indah namun dilengkapi sorot tegas. Hidungnya lumayan bangir. Bibirnya sedikit tebal sensual, namun tidak lebar, disempurnakan dengan dagu lancip.
"Udah puas, nilainya?"
Shit, ternyata dia sadar aku sedang memperhatikan wajahnya. Kepergok terang-terangan begini, tentunya menurunkan harga diriku. Kupasang wajah cool andalanku.
"Tuh, pilih mau pesen apa. Kasihan tuh, Mbaknya, nungguin dari tadi sambil berdiri."
Senja menggeser buku menu di atas meja ke arahku.
Sialan. Gadis ini selain judes, sepertinya ia juga cenderung blak-blakan kalau berbicara. Hmm, lawan yang sulit tentu akan jadi tantangan, bukan?
Baiklah, Senja. Kita akan lihat, siapa yang akan lebih dulu jatuh cinta....🍀🍀🍀🍀