#Perempuan_Pilihan_Ibu
Kolab bareng Dwi Indrawati
#Pov_Senja✨✨✨
Namaku Senja, gadis berusia 28 tahun. Kata orang parasku manis, hanya saja aku terlalu tertutup hingga mereka menilaiku, sombong.
Aku seorang perempuan yang gila bekerja. Mampu menghabiskan seluruh waktu di depan laptop kecil yang selalu aku bawa ke mana pun.
Sudah banyak pria mendekati, tapi, tak ada sedikit hasrat untuk bisa mengenal mereka lebih dekat. Bagiku, tanpa makhluk bernama lelaki, aku bisa mandiri. Bisa mencukupi kebutuhanku sendiri.
Namun, alasan utama di balik semua itu. Adalah rasa sakit yang masih menyiksa hingga saat ini. Ketika kekasihku menikah dengan wanita lain, 6 tahun lalu.
Pria itu mengkhianati semua janji yang pernah ia ucapkan dulu. Nyatanya dengan mudah ia berpaling, hanya dengan satu kalimat yang terngiang hingga saat ini.
'Aku sudah tak mencintaimu ... aku mencintai orang lain, maaf.'Aku benci! Setiap kali mengingatnya hati ini sakit, ingin menjerit dan memaki. Sudah tak ada lagi keinginan untuk mencinta. Aku tak lagi percaya pada makhluk bernama lelaki, mereka semua sama, tak setia!
Aku baru pulang bekerja, saat ibu meminta aku duduk bersamanya di ruang tengah. Suatu hal yang jarang kami lakukan. Ibu tahu aku sibuk, tenggelam dalam dunia pekerjaan, dan ia tak pernah menganggu waktuku hanya untuk bersenda gurau dengannya.
"Ibu ingin bicara, Senja. Temani ibu sebentar ya?" pintanya dengan raut penuh kasih sayang.
Tentu saja permintaan sederhana itu tak akan aku tolak. Bagiku ia adalah segalanya, wanita yang berjasa dalam hidup. Hanya demi ibu aku rela bekerja siang, malam agar bisa mencukupi masa tuanya.
"Maafkan Senja jarang menemani ibu bicara." Aku mengusap bahu yang semakin menua.
Ibu menatap mataku, senyum bangga terukir di sana. "Ibu tahu, kamu sibuk bekerja untuk ibu dan adik-adikmu. Ibu sangat berterima kasih, Nak. Tapi, sekarang sudah saatnya kamu memikirkan masa depan. Usiamu sudah sangat matang untuk berumah tangga," ujar ibu lembut.
Deg. Aku tahu maksud perkataan ibu. Meminta aku menikah untuk kesekian kali. Menghela napas pelan, pertanyaan itu kujawab dengan enggan.
"Bu, sampai kapan ibu meminta aku menikah? Tanpa menikah pun aku sudah bahagia, Bu. Posisiku di kantor cukup tinggi, aku bisa menyekolahkan Dea dan Deri hingga perguruan tinggi. Aku tak butuh suami, Bu ...," lirihku, lelah menjawab pertanyaan ini berulang.
Ibu menarik tanganku, menggenggamnya erat. "Sekali ini saja, Senja. Ibu ingin kamu mengenal Fajar, dia pemuda baik, dia anak teman ibu. Tolong ibu, Senja. Sekali ini saja, bertemulah dengannya, kalian cocok atau tidak itu terserah kalian nantinya." Ibu tetap memaksa.
Matanya menyiratkan permohonan. Hati anak mana yang tak akan terenyuh menatapnya. Aku menarik napas dan menganggukkan kepala. Hanya untuk bertemu tidak lebih! Tekadku dalam hati.
✨✨✨
"Sudah selesai menilaiku?" tanyaku pada lelaki yang bernama Fajar.
Kami bertemu di parkiran, pria menyebalkan yang tak mau mengalah pada perempuan. Tak aku sangka ternyata ia Fajar, lelaki yang ibu harapkan berjodoh denganku.
Fajar hanya melirik sinis kearahku. Ia tak tersenyum atau mencoba bertanya. Dia pria paling menyebalkan yang aku temui di dunia. Bagaimana bisa ibu meminta aku menikah dengannya?
Pria itu tampak jauh lebih tua dari usiaku, bisa aku tebak alasan ia membujang hingga saat ini.
"Kamu nggak laku karena emang sifat kamu yang nyebelin. Mana ada cewek yang mau nikah sama cowok egois, macam kamu!" bentakku kesal mengingat kejadian di parkiran tadi.
Matanya menyalak tajam, ia pasti marah karena ucapanku. Tapi, maaf. Aku tak takut.
"Kamu bilang apa? Asal tahu aja ya, di luar sana banyak yang ngantri mau jadi istriku! Memang kamu! Perawan tua yang judes kayak nenek lampir!" Fajar balik menyerangku.
"Kamu bilang aku perawan tua? Kamu tuh yang bujang lapuk!" Aku tak mau kalah.
Fajar baru akan menyerbuku dengan ucapannya lagi, tapi terhenti ketika kami mendengar tawa para ibu-ibu yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran kami.
"Ibu kenapa ketawa?" tanyaku heran.
"Kalian cocok, Senja. Ibu yakin kalian memang berjodoh. Seperti pepatah yang bilang, awalnya benci ujungnya jatuh cinta ...." Ibu terkikik geli disambut teman seusia dengannya.
"Apa, Bu? Jatuh cinta? Ya Tuhan, Bu ... Senja masih waras, nggak mau menikah dengan bujang lapuk kayak dia," ucapku sambil menunjuk ke arah Fajar.
Lelaki itu melempar pandangan tajamnya padaku. Aku tak peduli, yang kini aku resahkan, ucapan ibu Fajar saat ini.
"Baiklah, Jeng. Kita tentukan tanggal pernikahan mereka. Insya Allah aku yakin, Senja jodoh terbaik untuk Fajar," ucapnya sambil tersenyum padaku.
Dadaku sakit, kepalaku tiba-tiba berputar. Apa mereka tidak salah? Aku menikah dengan lelaki ini? Sungguh, dia akan kubuat menyesal karena telah memilihku!