#Perempuan_Pilihan_Ibu
Kolaborasi Tania Noer AnissatyaPart 4
Pov Fajar
Aku ingin sekali terkekeh geli. Baru kali ini aku bertemu perempuan dengan karakter seperti Senja. Galak tapi manis. Biasanya, para gadis lah yang akan berebut-rebut mencari perhatianku. Terlebih pasca aku gagal nikah kemarin. Buatku itu adalah bencana, tapi bagi mereka hal itu seakan anugerah.
Kupandangi dengan jeli perempuan di sebelahku ini. Matanya melotot garang, seakan ia juga dalam keadaan terpaksa berada di sini. Lain lagi reaksi ibuku dan ibunya Senja, Tante Tati. Mereka berdua terus saja cekikikan geli seolah aku dan Senja adalah tontonan parodi konyol.
"Jangan terlalu galak, nanti kamu malu kalau tau-tau kamu yang naksir aku duluan." Seketika mata Senja melebar lagi.
"Idih, ke-pede an kamu! Udah hopeless ya, sampai mau dijodohin segala?" tukasnya.
"Lalu apa bedanya dengan kamu? Takut ya, jadi perawan tua, makanya mau dijodohin?" Aku menjawab santai, tapi telak membalas ucapan tajamnya sesaat tadi."Dengar ya, aku terpaksa...!" Ia membisik dengan nada geram. Kutanggapi dengan senyuman tipis.
"Kamu pikir aku enggak? Berada di sini cuma karena ibuku yang memaksa. Kupikir kau secantik Luna Maya, ternyata...ah, sudahlah! Kalau tau wujudmu seperti ini, aku lebih memilih menghabiskan waktuku dengan bekerja. Lebih berfaedah rasanya.""Duh, ribut melulu. Ayo dimakan dulu itu makanannya, Senja, Fajar..." perintah Ibuku tiba-tiba. Memutuskan adu debat yang kian panas di antara aku dan Senja. Kami pun akhirnya menyantap hidangan yang kami pesan tanpa suara.
Aku berusaha rileks. Padahal dalam hati ini mulai muncul bibit-bibit rasa yang tak hendak kuijinkan hadir. Tidak secepat ini, apalagi terhadap gadis yang baru satu jam lalu kukenal.
Selesai makan, ibuku serta Tante Tati tampaknya masih enggan berpisah. Ada saja bahan obrolan di antara mereka. Berkebalikan sekali dengan situasi aku dan Senja yang hanya diam seribu bahasa. Aku mengutak-atik ponsel untuk menghilangkan jenuh. Begitu pun Senja. Dia asik dengan ponselnya, tapi aku tahu dia jenuh, tampak dari ekspresi wajahnya yang cemberut.
Ingin sekali aku mengajak ibuku untuk menyudahi pertemuan ini. Tapi aku sungkan dan takut dianggap tak sopan. Jalan satu-satunya ya, aku harus bersabar sampai kedua sahabat lama itu puas menuntaskan rindu karena lama tak jumpa.
"Ya sudah, Ti, kalau begitu. Kamu yang atur ya, acara selanjutnya." Ibuku berkata. Beliau dan Tante Tati serempak berdiri. Aku dan Senja buru-buru ikutan berdiri juga.
Setelah mereka cipika-cipiki ala mamak-mamak arisan jaman now, kami pun bubar. Tentunya bill makanan kami ibu suruh aku yang bayar.
*****
"Gimana, Jar?" tanya ibuku dengan sumringah. Aku masih fokus pada kemudi.
"Duh anak ini, ditanyain kok malah diem sih?" desak ibu lagi."Apanya sih, Bu?" sahutku sekenanya.
"Ya si Senja itu, Jar? Cantik, ya?"
"Rata-rata," ujarku asal. Ibu mendelik tak suka.
"Yang serius loh, le..." protesnya lagi.
"Ya emang rata-rata, Bu. Buat Fajar dia gadis biasa saja. Dan lagi, apa Ibu nggak takut punya menantu jutekny kayak gitu?"Ibu terkekeh geli sebelum berkata,
"Kalau menurut Ibu sih, dia bukannya jutek. Dia itu perempuan tangguh. Kamu tahu nggak, dia itu tulang punggung keluarga, lho. Di usianya yang masih muda, dia sudah mandiri dan bisa mengayomi adik-adiknya."Agak kaget juga aku dengan penjelasan ibu yang menyatakan bahwa Senja adalah tulang punggung keluarga. Kupikir dia hanyalah gadis egois, judes, dan manja yang selalu superior.
"Ibu berharap kamu dan Senja bisa berlanjut sampai ke pelaminan." Kali ini aku yang terkekeh.
"Ibu, kami baru satu kali ketemu. Itu juga dari awal dia sudah ngajak ribut. Lihat nanti lah, Fajar belum memikirkan ke arah sana.""Lah gimana, toh? Umurmu itu sudah tiga-tiga, tiga puluh tiga."
"Ya memang kenapa, kan Fajar ini laki-laki. Usia bukan masalah, Ibuku sayang...."
Ibu merengut mendengar ucapanku.
"Bagi kamu ndak masalah. Tapi bagi Ibu dan bapak, gimana? Kapan kami akan menimang cucu, Jar?" ujarnya dengan wajah murung."Ibu kebanyakan nonton sinetron, nih." Aku berusaha mengajaknya bercanda. Tapi bibir ibu masih saja mengerucut cemberut.
"Ibu nesu, nih. Jangan ajak bercanda terus." ketusnya. Kugenggam tangan ibu di pangkuannya.
"Ibu, jodoh rejeki dan maut itu rahasia Allah. Jangan terlalu berharap juga sama manusia, nanti mengecewakan. Fajar tidak ingin Ibu terlalu berharap. Doakan saja yang terbaik. Kalau Fajar dan Senja memang berjodoh, insya Allah akan Allah satukan dalam tali pernikahan seperti harapan Ibu," ucapku sungguh-sungguh.Wajah ibuku berubah agak sedikit cerah. Berangsur-angsur ekspresi cemberut di wajahnya pun menghilang.
"Ya sudah, tapi janji ya, jalani dulu yang ini. Jangan buru-buru kamu tolak seperti sebelum-sebelumnya." ujar Ibu. Aku mengangguk mengiyakannya. Tak ingin membuat wanita hebat di sampingku ini merajuk lagi.
Kami pun akhirnya sampai di halaman rumah kami yang luas dan asri.
"Kamu langsung ke meubel?" tanya Ibu sebelum turun."Iya, ada janji sama klien yang mau memesan kursi jati dalam jumlah banyak di meubel kita, Bu." jawabku.
"Ya sudah, kamu hati-hati, ya?" pesan Ibu. Aku mengangguk lalu tancap gas lagi setelah beliau turun dari mobil.
Sampai di meubel, seperti biasa para pekerja kami tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Bisa dibilang, usaha turun temurun milik keluarga kami ini sudah punya nama dan memiliki banyak pelanggan.
Selain harga terjangkau yang kami tawarkan, kami juga selalu menjaga kualitas bahan yang kami pakai. Maka tak heran, jika beberapa pengusaha jati juga mengambil barang dari meubel kami untuk dijual lagi ke pasaran.
Aku terus berjalan menuju ruanganku di dalam. Beberapa pekerja yang berpapasan denganku mengangguk hormat. Aku menanggapi mereka dengan tersenyum.
"Permisi, Mas Fajar, ada orang dari Blora yang ingin bertemu dengan Mas." Mas Mitro, salah satu anak buah andalan di meubel kami berbicara padaku.
"Oh iya, Mas. Suruh langsung ke ruangan saya, ya." Mas Mitro mengangguk sopan. Aku pun melanjutkan langkah menuju ruanganku yang jaraknya hanya sepuluh meter lagi.
"Mbak Hani, tolong buatkan minum ya untuk tamu saya. Ada dua orang." Aku berkata pada Mbak Hani, dia bekerja di sini sebagai petugas bersih-bersih. Mbak Hani mengangguk lalu dengan cepat ia menuju pantry untuk mengerjakan apa yang kuperintahkan.
Aku masuk ke dalam kantorku dan langsung menyalakan pendingin ruangan.
Sambil menunggu tamuku datang, aku rapikan beberapa alat tulis yang sedikit berantakan di atas meja kerjaku.
Tok...tok...tok...!
"Masuk," ucapku begitu mendengar pintu diketuk dari luar. Tak lama, pintu langsung terbuka. Dua orang, tepatnya sepasang pria dan wanita berdiri di depan pintu.
Aku berdiri untuk menyambut mereka, tapi seketika darahku rasanya tersirap ke atas begitu melihat sosok perempuan yang berdiri bersebelahan dengan pria berusia lima puluhan.
Dia adalah Nia, wanita yang dulu sangat aku cintai hingga sanggup kuberikan seisi dunia untuknya. Tapi dia juga yang tega menghempasku dalam jurang kehancuran.
Aku serasa mimpi melihat wanita itu muncul lagi, setelah lima tahun ia menghilang tanpa jejak....
