“Dirimu akan menjadi ribuan kata jika kuterjemahkan dalam kamusku.”
T E M U K E M B A L I
—
Triingg Triinngg!!
Bahu Nayana tiba-tiba terdorong ke belakang karena banyaknya murid yang hendak masuk. Posisi Nayana berada di depan gerbang sekolah, posisi yang benar-benar tak elit ketika bel pertama berbunyi lantang.
Mata anak itu ke sana kemari mencari sosok cowok tadi. Namun nihil, banyak murid yang menyerobot masuk membuatnya susah mencari cowok itu.
Setelah kehilangan cowok tadi, mata Nayana tertunduk ke bawah. Bola matanya berkaca dan langsung menitikkan beberapa buliran kristal bening tanpa malu.
Nayana menyekanya segera. Ia tahu, ia sedang berhalusinasi. Ia tahu, cowok tadi hanyalah halusinasinya. Tidak jarang Nayana seperti itu, sudah sangat sering. Sehingga ia susah membedakan yang mana asli dan palsu. Hatinya benar-benar tertutup oleh satu nama yang akhir-akhir ini membuat Nayana kembali menangis dalam diam.
Nayana kembali melebarkan matanya saat menatap sekelilingnya sudah sangat sepi, bahkan tak ada murid sekalipun. Anak itu menepuk jidatnya keras sembari meringis.
Segera saja anak itu berlari masuk ke dalam sekolah, membelah siapa saja di depannya. Seingatnya, kelas mereka sedang masuk pelajaran guru killer, Pak Genbo. Bisa babak belur Nayana jika ketahuan terlambat masuk seperti ini.
Kakinya berhenti di depan kelas X Ipa 1, dengan embel-embel keringat dan napas tidak teratur. Serta hijab yang sudah tak karuan bentuknya.
Bibir Nayana melengkung lebar saat melihat meja guru depannya kosong. Nayana sedikit membenahi hijabnya lalu mengelap beberapa keringat yang nampak begitu banyak di bagian pelipis.
Masuk ke dalam kelas, Nayana masih menampakkan senyum lebarnya. Namun, tak tertahan lama karena suara lantang menggelegar keras seketika. "DOORRRRR!!"
Sontak Nayana memegang dadanya, seolah-olah jantung anak itu akan meloncat keluar jika tak ditahan. Serta mata lebarnya tak lepas dari wajah kaku itu.
Sosok yang ia takut-takuti semenjak sekolah di situ kini muncul dengan seringaian aneh. "Pak... Genbo," gumam Nayana gemetar. Tidak hanya Pak Genbo, murid X Ipa 1 lainnya juga sedang menatapnya.
"Eumm... Pak, sayaa minta—"
"Hahahaha... Ketawa semua untuk Nayana!" Rautnya melemas seiring tawa, tawa seram.
Para murid di kelas itu diam, tak ada yang tertawa mengikuti perintah Pak Genbo.
"SAYA BILANG SEMUA KETAWA!"
Sontak semua murid gelagapan dan langsung tertawa, tentu terpaksa. Terkecuali Samuel, anak datar berotak cerdas. Untung Pak Genbo tidak melihatnya, jika tidak, sudah dipastikan semua murid akan mendapat sapaan rotan yang tergenggam manis di tangan kiri Pak Genbo.
Nayana sendiri gelagapan. Ia tahu akan ada bencana menimpanya.
"DIAM!"
Pak Genbo memelototi semua anak murid di sana yang terdiam kaku setelah perintah itu terdengar nyaring. Matanya beralih pada Nayana yang sudah benar-benar seperti mayat hidup.
"Sini kamu!"
Gemetar, Nayana berjalan pelan ke hadapan Pak Genbo. Kepalanya tak berani mendongak, menatap wajah berkepala blontos itu.
"Kamu ini anak baik, ya. Gak salah perwalian kamu ngasih kamu peringkat 10 besar."
Setahu Nayana, kalimat itu terlontar dengan sinis namun diiringi senyuman aneh.
PLAK!
Begitu keras rotan batang itu menyapa betis Nayana. Entah harus berucap apa, Nayana merasakan kakinya lemas saat ini. Tenaganya yang terkuras saat berlari dari gerbang ke kelas bukanlah sedikit, ditambah Pak Genbo kini memukul betisnya sadis.
Benar-benar, betis Nayana rasanya sangat sakit. Hingga dia tidak sadar bahwa posisinya kini sudah berlutut saking lemas kakinya.
Tersadar, Nayana segera berdiri dan menyeka air matanya yang baru keluar. Pak Genbo benar-benar tidak melihat siapa lawannya.
"Saya gak mau tau, pokoknya hari ini, seluruh lapangan sudah harus bersih. Semuanya! Jika sampai waktu bel pulang berbunyi kamu belum menyelesaikannya, habis kamu di tangan saya! Mengerti?"
Nayana menunduk. "Iya, Pak."
"Pergi sana!"
"Iya, Pak."
Nayana menghela, lalu beranjak meninggalkan kelas itu. Hampir semua murid menatapnya iba, termasuk lima temannya yang hanya diam beku di tempat masing-masing.
Di koridor, Nayana mendapat banyak tatapan bermacam dari anak yang mungkin sedang ada tugas di luar kelas, atau sedang jam kosong. Tapi, Nayana tidak mempedulikannya. Dari tadi, anak itu terus mengucapkan sumpah serapah teruntuk Pak Genbo seorang. Ia benar-benar tak habis pikir kejamnya guru laknat itu.
Nayana bersumpah, ia sangat keberatan dengan hukuman kali ini. Lebih baik ia disuruh membersihkan seluruh toilet daripada seluruh lapangan. Bisa mati terbakar anak itu membersihkan seluruh lapangan di cuaca terik pagi menjelang siang ini.
Pasrah, Nayana mula-mula memungut beberapa sampah kecil di lapangan basket. Sebenarnya ada kelas yang memakai lapangan itu, namun Nayana lagi-lagi tidak menghiraukan. Hingga kesadarannya beralih pada bola yang baru saja menyapa kepalanya kuat, membuat Nayana sedikit terdorong ke belakang.
Nayana mendengus, ia sangat kesal. Berlari di pagi hari, di pukul keras kemudian, lalu kini bola berwarna oranye itu berhasil menyapa keras kepalanya. Kini matanya berkaca sendiri.
Sekali lagi Nayana mendengus. Ia mengambil bola oranye itu lalu menatap ke depan. Menghadap seorang cowok memakai baju basket dengan banyak tetes keringat di pelipisnya.
Deg!
Jantung Nayana rasanya berhenti seketika. Bukan, bukan Pak Genbo yang kini di hadapannya. Bukan juga Valak yang menatapnya tajam. Tetapi seorang cowok yang pernah ada di riwayat hidup Nayana, bahkan hingga kini masih bersemayam di hatinya.
"Maaf, ya. Gue gak sengaja lempar bolanya." Cowok itu memasang senyum simpul. Membuat mata Nayana yang awalnya berkaca kini menumpahkan semuanya.
Cowok itu panik. "Eh ... sakit, ya? Kok sampe nangis? Gue minta maaf."
Nayana menyeka air matanya. Kini, menatap cowok di depannya dengan tatapan campur aduk. Rindu, kesal, sedih, tak percaya dan bingung.
Merasa diacuhkan, cowok tadi hanya diam memperhatikan Nayana yang juga sedang memperhatikannya. Terjadilah acara tatap-tatapan dalam durasi yang lumayan lama. Hingga akhirnya terbuyar karena salah satu pemain basket meneriaki cowok tadi. "RIAN WOY! CEPETAN AMBIL BOLANYA!"
Nayana kembali menitikkan air matanya. Andai mereka tidak sedang berada di sekolah, sudah dipastikan Nayana akan memeluk erat cowok yang dipanggil 'Rian' itu.
"Gue ambil bolanya, ya. See you, Niy."
Damn it!
***
Hargai karya penulis dengan vote dan comment. Aku berterimakasih banyak buat kalian yang selalu ngevote. Luvyu♥
K a i S i R a t u K u m b a n g
~♥~
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR
Teen FictionIni tentang kisahku. Dimana aku bisa mendeskripsikan cinta dengan artian sebenarnya. Aku, Nayana Subhan, sebelum mencintai seorang Riandra Assegaf, aku akan selalu mencintai diriku. Selamat datang di duniaku!