"Kejujuran terkadang menyakitkan, tetapi mengetahui kebohongan itu lebih menyakitkan"
Suara rintikan air hujan terdengar parau, mengisi gendang telinga yang mulai bosan mendengarnya. Langit terlihat tidak terlalu gelap namun hujan turun deras sekali. Bahkan sepasang mentari seakan bisa saja mengintip saat ini karena langit mendung benar benar tidak terlihat dengan begitu jelas.
Ecah mendesah kasar ketika dia menyadari kalau sekarang sudah pukul 8 pagi, dan dia masih sendiri di kelas. Dia sudah datang jam setengah 7, di saat gerimis mengundang masih menyapa kota Jakarta di pagi hari. Sekarang memang sudah memasuki musim penghujan dan rasa cemas akan banjir kembali memenuhi lubuk hati ibukota tercinta.
"Belum ada yang datang apa?"
Ecah berdiri dari bangkunya lalu melirik keluar jendelanya, memandang halaman sekolah yang terlihat begitu sepi, bahkan di parkiran hanya ada beberapa motor yang sepertinya itu adalah motor guru. Ecah berdecak kesal karena dia tidak tau harus berbuat apa sekarang, seorang diri di kelas yang kosong dan hampa. Di tambah lagi bunyi hujan semakin membuat jiwa penakutnya keluar.
Di saat air hujan berhantaman dengan genting sekolah, seakan akan Ecah bisa mendengar suara seseorang yang memanggilnya dan hal itu membuat Ecah merasa takut sekarang. Dia mengigit bibirnya dengan cemas sembari memainkan kakinya, mencoba mengeluarkan buku lalu membacanya berharap rasa takut bisa hilang dengan cepat dari pikirannya.
Entah apa yang terjadi hujan malah semakin deras, membuat bulu tangan Ecah kini mulai berdiri dan detak jantungnya semakin cepat. Matanya melirik pelan melihat keadaan kelas yang benar benar sunyi, dia menutup bukunya lalu memutuskan untuk keluar dari kelas barangkali dia bisa menemukan seseorang yang sudah datang, siapa saja asalkan bisa membuat rasa takutnya hilang.
Kaki Ecah melangkah dengan perlahan, menyusuri koridor kelas yang benar benar sepi sekali. Bahkan rasanya seperti berjalan di sekolah yang sedang libur.
"Masa gak ada orang yang udah Dateng selain aku?"
Mata Ecah terus melirik mencoba mencari orang di sekolah yang terbilang besar itu. Langkah kakinya terhenti ketika dia melihat sebuah kelas yang terlihat sunyi, di pojok kanan bagian depan Ecah akhirnya bisa melihat seorang siswa duduk berbalut jaket hijau muda miliknya. Akhirnya Ecah bisa menghela nafas lega, sebenarnya dia sangat malu untuk menegur siswa yang sama sekali tidak dia kenal itu. Namun, mau bagaimana lagi dia tidak mungkin diam di kelas yang kosong dengan rasa takut yang semakin detik malah semakin menjadi jadi.
Tangan Ecah bergerak ragu mengetuk pintu kelas tersebut dengan perlahan. Namun setelah beberapa kali Ecah mengetuk pintu tersebut siswa yang duduk di pojokan kelas tak juga menolehkan kepalanya walau hanya sekedar untuk melirik ke arah Ecah.
Helaan nafas kasar terdengar lembut dari hidung Ecah ketika dia melihat seutas kabel putih terlihat di dekat tangan siswa tersebut, menunjukkan kalau dia tengah memakai earphone.Ecah akhirnya memutuskan untuk mendekati siswa tersebut, menyentuh bahu itu dengan lembut dan tangan yang sedikit bergetar karena ini adalah pertama kalinya dia menyapa orang yang tidak dia kenal. Sedetik sesaat Ecah menyentuh bahu lebar tersebut, siswa tersebut segera mencabut earphone dari telinganya lalu menolehkan kepalanya ke belakang, dimana Ecah berdiri dengan wajah kosongnya.
Kedua mata Ecah membulat dengan sempurna kalau ternyata siswa yang kini duduk di depannya itu adalah Madan. Dengan kaki seribu dia membalikan tubuhnya lalu melangkah pergi. Namun, tangan Madan sudah menahan lengannya ketika dia sampai di luar kelas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euphoria
Teen FictionEcah, seorang gadis manis berambut kecoklatan yang mengawali hidup barunya di ibukota yang dipenuhi oleh kemewahan. Dia mengikuti ayahnya yang pindah ke Jakarta semenjak ayah dan ibunya berpisah. Ecah harus bisa menyamankan dirinya di ibukota denga...