Jaman sekarang semua serba mahal, dari cabai di pasar sampai cabe-cabean pakai celana gemas naik notor bertiga sore-sore buat pamer lutut hitam di jalan raya.
Delfano Chaeris, anak mahasiswa semester enam jurusan biologi di salah satu universitas terbaik di Indonesia yang masuk jajaran tiga besar sedang meracau frustasi. Merantau dari Bangka ke Jakarta, nyatanya tidak membuat hidup merasa bebas seperti mahasiswa rantau lain. Himpitan ekonomi dan banyaknya biaya hidup membuat Fano harus putar otak agar uang kiriman bisa sampai akhir bulan yang ternyata masih dua minggu lagi. Sial, uang dalam dompet tinggal tiga ratus ribu.
Di kelas Mikrobiologi Industri, Fano malah melamun. Mencari kerja susah sekali. Banyak lowongan tapi pasti selalu banyak juga pelamar. Fano kalau mau ikutan pasti pakai ijasah SMA dan itu enggak worth it banget buat bersaing sama mereka yang pakai ijazah sarjana.
Kelas pertemuan awal di semester baru ini cuma diisi pembahasan kontrak belajar, penjabaran singkat materi satu semester, dan lainnya yang Fano tidak begitu dengar karena sibuk mikirin nasib. Matanya menatap kosong papan tulis namun pikirannya keluar menembus dinding kelas.
Lagi mengemut ujung pulpen, tiba-tiba pundak Fano ditepuk dari sisi kanan. Menoleh lalu mendapati wajah super dempul dari Faros —teman yang ia kenal hanya saat belajar di kelas atau lab karena lelaki itu seringnya nongkrong di tempat berkelas dibanding warung kopi seperti Fano.
Fano menaikkan alis sebagai respon. Faros terkikik manja yang jatuhnya menyeramkan. Bayangkan, laki-laki dengan kulit putih hasil perawatan mahal, bibir berpoles lip gloss merah mengkilap, serta sapuan rona merah di pipi yang tidak nampak natural itu membuat Fano sakit mata. Namun demi sopan santun, Fano menanggapi teman satu kelasnya meski tanpa mengeluarkan suara.
"Kamu pusing banget aku liatin. Kenapa? Ini baru hari pertama di awal semester loh." Faros dengan lancang menggerus ujung kuku yang diberi kutek pink pastel ke lengan atas Fano. Seketika itu juga rambut halus di tengkuk Fano meremang.
Karena tidak begitu dekat, Fano lagi-lagi hanya memberi respon dengan gestur tubuh gelengan kepala. Tidak ada untungnya ia menceritakan keluh pada orang yang hanya ingin tahu, bukan sebenar-benarnya peduli.
Faros malah mendekatkan kursi mereka sampai bahu keduanya bertemu. Berbisik pelan namun masih bisa ditangkap oleh rungu Fano. "Aku tau kamu. Butuh kerjaan? Hubungin aku aja. Dijamin kerjanya enak dan gampang. Fiuh~" Diakhiri dengan tiupan di belakang telinga Fano, ia bergidik.
Sepanjang dosen berbicara di depan, selama itu pula Faros mengajaknya berbicara. Ia menjelaskan sesuatu yang Fano tidak pahami seperti; papa gula, kontrak, barang mewah, dan ranjang. Enggan menanggapi karena ia rasa itu tidak penting, Fano pikir Faros sedang meracau karena mabuk AC ruangan.
Kelas selesai, semua mahasiswa memasukkan buku serta alat tulis ke dalam tas. Faros mengedipkan sebelah mata sambil menjilat bibir bawah sensual ditambah gigitan kecil, Faros memberikan kartu nama yang diletakkan di atas buku. "Telepon aku kalau kamu mau dapet pekerjaan cepat. Cuma sampai malam ini loh penawaranya." mencolek dagu Fano, Faros lalu berjalan dua langkah sampai kembali berbalik. "Aku suka cara kamu ngemut pulpen tadi. Engh~ banget."
Di tempatnya, Fano kehilangan kontrol akan diri. "Barusan apa?" gumam pelan yang tidak didengar siapapun.
.
.
.Membuka pintu kosan yang terbilang kecil. Dua petak yang terdiri ruang utama dan kamar mandi. Udara lembab karena seharian jendela serta pintu tidak terbuka langsung terendus hidung bangir Fano. Sekarang pukul empat sore dan ia belum makan apapun dari pagi sebab terlalu sibuk mencari pekerjaan di beberapa cafe dekat kampus. Hasilnya nol besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be A Good Daddy | FaYok vers ✔
FanficYodha Prasetya, lelaki awal tiga puluh tahun yang kaya namun menolak menikah. Membutuhkan seseorang yang bisa ia manja dan menghangatkan ranjang. Namun, bagaimana jika akhirnya justru ia yang menghangatkan ranjang bagi bayi gula polos yang sebenarny...