Kikan.

59 8 4
                                    


Dia begitu membenci cermin.

Tahu kenapa? Karena ia membenci dirinya sendiri.
Dia tidak mau melihat refleksi yang dipantulkan dari arah cermin, terlalu muak dengan dirinya sendiri.



°
°
----------
°
°

Tatapan kelam, selalu tampil di antara seperdua malam, dia tidak mau bicara, dan tak mau melakukan apa-apa, apalagi melihat dirinya. Ia hanya mampu menumpu dagu di malam hari, berharap hal yang semestinya ada, namun sayang itu tidak pernah muncul di dalam dirinya.

Dia begitu membenci cermin, namun kenapa setiap hari ia selalu memaki dirinya di depan cermin? Seakan kata-kata itu, selalu melekat pada birainya. selalu dilontarkan, kepada tubuhnya yang menjadi viktim perkataan itu.

Dia begitu membenci cermin. Dan sekarang, ia melihat dirinya di depan cermin, satu cermin besar yang seakan mengoloknya setiap hari. Ia duduk. Diam. Tak melontarkan apa-apa, tatapannya kosong, namun tersirat kebencian di dalamnya.

Seringkali ia kembali diingatkan oleh ucapan-ucapan kasar yang tertuju untuknya. Sudah biasa, memang. Tapi siapa yang tahu, itu menimbulkan tekanan untuknya?

Wanita itu, bahkan mampu menghabiskan 13 jam untuk menangis dan meluapkan emosinya di dalam kamar apartment. Ditutup rapat-rapat pintunya, dikunci.

Tidak ada makan. Tidak ada pelukan. Tidak ada.. kehangatan.

Hampa. Ia merasa begitu takut, yang akhirnya menjadi benci. Benar-benar tersiksa oleh hinaan mereka, penindasan yang tak seharusnya ada, hingga berdirilah tegak-tegak sisi lemahnya yang berbahaya.. depresi.

Muncul pemikiran-pemikiran tak masuk akal, pemikiran yang seakan memusuhi dirinya sendiri. Benar-benar tidak diizinkan tenang.

Tekanan batin itu menakutkan.



°
°
----------
°
°

Hari sudah malam. Jendela apartment itu banyak yang sudah tertutup, menyisakan segelintir cahaya yang hanya keluar dari beberapa ruang.

Salah satu pemilik cahaya ruangan itu adalah seorang wanita bersweater abu-abu dengan rok mini sepaha berwarna hitam lebat dengan corak yang bergaris. Dia duduk di meja depan jendela, menumpu dagu pada tangannya, menatap ke arah bintang-bintang. Mungkin angannya sedang melayang jauh ke sana, bergelantung di antara ribuan bintang yang berpendar.

Mata hitamnya begitu lentik, namun selalu menampikkan gelap tak berharap. Teleponnya berdering di sebelah sikunya. Ia menoleh, lantas mengambil benda pipih yang memanggilnya untuk dihiraukan.

'Hu<3'

Itu adalah telepon dari kekasihnya, Haru. Ah, betapa ia merindukan suara berat Haru. Sesegera mungkin ia mengangkatnya.

'Hai, Kikan. Kau mau keluar denganku? Sudah 3 hari ini kita tak bertemu. Kumohon pergilah bersamaku.'

'Baik, Tuan,' Kikan terkekeh lembut. Ia melihat jam yang bergantung di dinding, menunjukkan pukul 19:45, yah, mungkin masih sempat untuknya pergi keluar.

'Siap, Puan. Aku akan menjemputmu sepuluh menit lagi. jangan kaget oleh ketampananku, hahaha'

'Kamu yang jangan terpana oleh parasku!'

Have You Eaten Yet? || AnorxaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang