"Rima!"
Seseorang memanggilku. Aku menoleh ke arah suara. Prima, sahabatku sejak SMA, sedang mempercepat langkahnya dari arah parkiran kampus.
"Kau jalan, kok, cepat kali. Sama cepatnya kayak pas bicara." Ia mengomel. Aku menunggunya menyusul dan kemudian berjalan bersisian.
"Kau dapat salam balik," lanjutnya. Napasnya masih terdengar ngos-ngosan. Aku mengernyit, rasanya aku tak menitip salam pada siapapun melalui Prima.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Hendi," jawab Prima sambil menyerahkan tumpukan buku yang dipegangnya padaku. Ia membenahi rambutnya yang diikat ke belakang.
"Siapa Hendi?" tanyaku bingung.
"Kok siapa pulak kau bilang." Ia meraih kembali tumpukan bukunya dari genggamanku.
"Hendi kawan sekelasku yang kau titipin salam minggu lalu," ujarnya.
Kelasku di lantai tiga hari ini. Kami sudah sampai ujung tangga ke atas. Perkataannya barusan mendadak menghentikan langkahku. Samar-samar kuingat, apakah benar ada dialog itu minggu lalu, sungguh aku sudah lupa.
Ya ampun ... aku ingat sekarang.
"Jadi ... benar-benar kau sampaikan? Gila kau, Prim. Aku cuma main-main." Mendadak aku merasa panik.
"Cemana pula, mana pernah kau titip salam sama cowok sebelumnya. Pastilah serius." Prima tertawa senang sekali.
"Lagi pula sudah terlanjur. Dia ada di kelasku hari ini." Senyumnya membuatku ingin menarik ekor kuda di rambut ikalnya.
Kupandangi Prima sampai ia menjauh dan berhenti di salah satu ruang kelas di pojok kanan. Aku mulai menaiki anak tangga, sembari membenahi ingatanku. Berusaha merangkai apa sebenarnya yang terjadi minggu lalu sampai berakhir menjadi tragedi memalukan seperti ini.
***
Di kelas sudah ramai. Keni dan Grace sedang mengobrol di pojok belakang. Kulihat Keni menunjuk ke barisan kursi terdepan. Artinya dia sudah menyediakan tempat dudukku di sana. Pak Sinaga tak lama datang, dan pelajaran pun dimulai.
Rupanya namanya Hendi
Aku berusaha mengingat-ingat bagaimana wajahnya. Hari itu adalah pertama kali aku melihatnya.
***
Seminggu lalu
Sabtu adalah hari di mana kampus terlihat paling ramai. Hampir setiap ruang kelas terisi. Mahasiswa yang tidak ada jadwal kuliah pun biasanya datang untuk berkumpul dengan teman-teman.
Bangunan Kampus Ekonomi berbentuk Letter U, dengan lapangan luas di tengahnya. Entah sejak kapan aturan itu berlaku, siapapun yang berani jalan di tengah lapangan, akan mendapat sorakan dan tepuk tangan seisi kampus. Biasanya momen ramai di hari Sabtu dimanfaatkan oleh cowok-cowok yang iseng mencari perhatian karena Kampus Ekonomi mayoritas isinya wanita.
Kelasku dan Prima bersebelahan hari ini. Kami berdiri di luar sembari menunggu dosen datang, dan juga menunggu siapa tahu ada yang iseng jalan di tengah lapangan.
"Prim, aku pinjam catatan PA II ya."
Sebuah suara membuatku dan Prima menoleh bersamaan, karena nama kami yang terdengar hampir sama saat dilafalkan. Di sana berdiri seorang laki-laki dengan gaya yang tidak biasa. Aku tak kenal wajahnya. Rasanya tidak pernah beredar di Kampus Ekonomi. Saat Prima sibuk mencari buku di dalam tas, aku pun mulai menganalisa siapa dia.
Rambutnya agak keriting ikal, pakai kemeja flanel lengan panjang kotak-kotak warna hijau, dengan lengan baju yang digulung separuh. Celana panjangnya banyak kantong di kiri kanan. Sepatunya boot dengan tapak bergerigi. Dan dia pakai tas selempang yang unik, seperti kain berbahan dasar goni.
Saat pandanganku kembali ke wajahnya, ternyata dia sedang memandangiku. Cepat kupalingkan muka ke arah lain dan pura-pura tidak memperhatikan, sampai Prima memberikan bukunya dan ia pun masuk ke kelas.
"Siapa sih? Kok aku nggak pernah lihat?"
"Dia memang jarang masuk, banyakan naik gunung." Prima menjelaskan.
Oh, pantesan gayanya antik, gumamku dalam hati. Lalu kami pun mengobrol hal lain sampai dosen Prima datang dan ia pamit ke kelas.
"Prim, salam, ya, ke yang tadi."
***
How could I be so stupid. Aku menyesali omonganku minggu lalu. And how could Prima be so stupid either. Harusnya dia tahu kalau aku cuma bercanda
Lamunanku buyar saat Keni menegurku.
"Rim, aku lihat catatanmu ya." Dibolak-baliknya halaman buku. "Tumben kosong catatanmu," gumamnya.
Apa yang mau kucatat karena sepanjang Pak Sinaga mengajar, pikiranku melayang entah ke mana.
"Pulang yuk, Ken." Aku bangkit dan membereskan ranselku. Aku harus pulang lebih dulu, jangan sampai bertemu dia hari ini. Mau ditaruh di mana mukaku?
"Kau sakit perut?" Keni bingung.
"Nggak. Udah, yuk kita pulang."
"Aku mau ke Perpus dulu balikin buku," protes Keni.
Buru-buru kutarik tangannya. "Besok aja balikinnya."
"Besok udah denda."
"Nggak apa-apa denda sehari."
"Sayang, Rim. Bisa buat bayar ongkos angkot."
"Keniiii!!" Aku menatap gemas ke arahnya.
"Okay."
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Love Story is Beautiful (Completed)
RomanceRima seorang gadis pintar sekaligus pemalu jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Hendi, mahasiswa di kampusnya yang jarang masuk kuliah karena terlalu asyik beraktivitas di komunitas mapala. Sebuah kiriman salam yang dititipkan Rima melalui saha...