Part 4 - The Love Letter

185 16 4
                                    

Aku meraih kertas putih yang terselip di dalam kayu pakis pemberian Hendi siang tadi. Ada rasa hangat menyelinap di relung dada saat menyentuhnya. Setelah sekian surat dari para penganut 'cinta monyet' yang dulu kubuang tanpa dibaca, baru kali ini aku membuka surat cinta dari seorang laki-laki. Laki-laki yang aku letakkan cintaku di hatinya.

Kubuka lipatan suratnya. Terlihat sobekan kertas notes bergaris abu-abu dengan sederet tulisan mengintip dari dalam. Dan juga, tiga tangkai bunga edelweiss. Bunga yang selalu menjadi dambaan perempuan manapun. Bunga yang konon butuh perjuangan keras untuk mendapatkannya sehingga kerap dilambangkan sebagai cinta abadi.

Dan bunga itu, sekarang ada di pangkuanku.

Kubaca perlahan deretan huruf di atas kertas notes itu. Kurasakan pipiku memerah saat menatap setiap goresan kata yang ditulisnya. Aku suka laki-laki ini. Dia puitis namun tidak pasaran.

Kalimat terakhir yang tercantum di bagian akhir surat membuat dadaku berdegup kencang.

"Maukah kamu mencoba denganku?"

Aku memandangi kalimat itu berkali kali. Itu bukan jenis pernyataan cinta umum yang sering aku dengar dari teman-teman di SMA. Aku tadinya menebak akan tertulis seperti 'Maukah kamu jadi pacarku?' atau 'Aku ingin kamu jadi pacarku'.

Namun ini, apa maksudnya? Apakah dia masih meragu? Akan perasaanku, atau akan perasaannya sendiri?

Aku melipat kertas surat itu dan memasukkan dalam salah satu halaman buku. Aku harus tunjukkan pada Keni besok di kampus. Aku butuh penerjemah ulung akan bahasa cinta ini.

Sudah pukul 21.30 WIB. Kugenggam si kayu pakis dan mendekapnya dalam pelukku.

Hendi, I've been missing you always since the day our eyes met and I really really really hope you feel the way I do.

Kucium aroma hutan dari kayu pakis itu sebelum memejamkan mata. Berharap mimpi bisa membawaku kepadanya.

----

"Mari aku lihat suratnya," ujar Keni.

Siang itu aku tidak langsung pulang ke rumah. Kami bermaksud menganalisa surat cinta Hendi di rumah Keni.

Aku serahkan surat itu padanya. Keni langsung mengenakan kacamata dan mulai membaca.

"Hancur 'kali tulisan tangannya Hendi, Rim," Keni spontan tergelak.

Jika dibandingkan tulisan tangan Reza pada helai puisi-puisi yang ditulisnya untuk Keni, memang tulisan Hendi tergolong parah. Banyak huruf yang tak bisa dibedakan.

"Isi suratnya boleh lah, Rim," Keni melirik dengan mata jahilnya.

"Dia juga suka sama kau. Tapi kalau kau tanya dia serius apa nggak? Baiknya kita kenalkan aja Hendi dan Reza. Kita lihat apa pendapat Reza tentang Hendi. Sesama lelaki biasanya lebih tahu." Keni menyangkutkan kacamatanya di kepala. Aku hanya diam, dalam hati menyetujui perkataan Keni.

"Kusarankan kau jangan dulu terlalu cinta sama dia, Rim. Anak Mapala itu kata Reza banyak pacarnya," lanjut Keni lagi.

Dan itu juga yang kemarin dikatakan kawan-kawannya tentang dia.

"Jadi aku harus gimana, Ken?" sedih sekali rasanya mendengar diagnosa yang sama dari Keni.

"Just let it flow and slow." Keni tertawa sembari jari tangannya menirukan gerakan gelombang.

"Time will let us know."

-----

Ini sudah hari ke empat. Harusnya dia sudah menelpon. Di kampus juga tadi dia tidak terlihat. Apa dia kehilangan nomernya, atau ... ah, bermacam ragam prasangka silih berganti meracuni pikiranku. Kata-kata Keni kemarin itu yang paling mengkhawatirkanku.

Every Love Story is Beautiful (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang