Deru ombak dan hembusan angin seolah sudah menjadi teman pagiku.
Kurentangkan tangan, menutup kedua mataku sambil menghirup dalam-dalam udara dermaga ini.
"Masih kebiasaan yang sama, hm?," tanya Peter dari belakangku."Menikmati hidup," kataku
"Dan masih jawaban yang sama," balasnya, kemudian duduk disebelahku sambil meregangkan kakinya.
"Dan kamu masih sama." Aku membuka mata dan tersenyum kearahnya.
"Apa?," dia bertanya sambil sedikit memiringkan kepalanya.
"Sahabatku." Aku kembali memandang hamparan samudera luas didepanku yang masih diterangi cahaya rembulan, karena ini masih pukul lima kurang tujuh menit.
"Kamu tidak berubah dari saat kita bertemu untuk pertama kalinya." Dia memegang bahuku. Bukan merangkul
"Ya. kamu terlihat sangat pemalu." Aku sangat ingat. Saat dimana dia pertama kali datang beribadah di Gereja. Saat aku mengajaknya berkenalan. Dan sejak saat itu aku mengaguminya.
"Lima tahun lalu, kalau aku tidak salah." Ya, kamu tidak pernah salah. Hanya saja kurang tepat.
"Enam tahun. Waktu yang cukup lama untuk membangun sebuah persahabatan, kan?." Setelah mengatakannya, aku berdiri. Berjalan kearah pintu keluar dermaga disusul olehnya.
"Hari ini kamu tidak boleh terlambat, mengerti?," ucapnya sambil mengacak lembut rambut hitamku yang sedikit kecoklatan ujungnya setelah kuberi pewarna rambut, kemudian ia berlari mendahuluiku sampai benar-benar hilang dari penglihatanku.
Aku tersenyum, sangat tulus.
Mencintainya hingga sekarang tidak membuatku benar-benar berkeinginan harus memilikinya.
Sejauh ini aku bahagia. Meskipun harus menanggung dosa berpura-pura tidak mengharapkannya.