Hari minggu.
Hari dimana aku harus selalu bangun pukul empat pagi untuk mempersiapkan diri ke Gereja.
Dan hari ini aku bangun tepat jam empat setelah susah payah mengatur jam pengingatku semalam.
Ya, benar saja. Pagi ini mama awali dengan menatapku sambil berkata,
"Apa kamu bermimpi buruk, Juni?," tanya mama sedikit panik."Mama, ayolah. Aku tidak ingin menghancurkan semangat pagiku" kataku sedikit lesu sambil berpikir bahwa mama selalu saja meragukanku. Sebenarnya tidak salah, pasalnya aku selalu saja terlambat bangun tanpa mama yang membangunkanku dahulu. Hanya saja aku sedikit kesal dengan respon berlebihan mama tadi.
"Baiklah Juni. Mandilah kemudian sarapan lalu bersiap untuk ibadah pagi di Gereja." Aku hanya menganggukan kepala dan berjalan kearah kamar mandi.
Setelah semuanya sudah kukerjakan, aku langsung mengarah kekamar kakak laki-lakiku.
Oh ya, aku lupa mengenalkan kakakku padamu. Dia Valen, umurnya hanya terpaut 2 tahun diatasku, yang artinya saat ini dia berada di semester 2 jenjang perkuliahan. Dia seperti saudara laki-laki pada umumnya, suka menjahili, posesif bahkan aku merasa dia selalu memata-matai setiap pergerakanku.Setelah lima kali ketukan dan tiga kali teriakan, akhirnya Valen membuka pintu kamarnya sambil menampilkan wajah kesal.
"Bisakah suaramu yang nyaring kamu gunakan untuk bernyanyi saja?." Tidak bisa. Mana mungkin suara seorang Juni yang malah hampir terdengar seperti seekor kucing terjepit digunakan untuk bernyanyi?. Tidak masuk akal pikirku."Ayolah Valen, aku bisa terlambat hanya karena menunggumu menggunakan cat kuku, pewarna bibir dan sepatu kaca. Tolonglah cepat, kamu bukan Cinderella." Aku lebih kesal darimu Valen. Bisa-bisanya menunggu tiga puluh lima menit diatas motor sport-mu tapi kamu disini malah bersolek.
"Baiklah. Aku sudah selesai Juni kecil. Selalu saja cerewet" dia mengacak rambutku, lalu mengambil kunci motor didalam kamarnya kemudian mendahuluiku kearah motornya.
Tiga jam berlalu. Akhirnya ibadah pagi berakhir dan sekarang waktunya aku pulang dan beristirahat dirumah. Tidak bisa dibohongi, aku masih sedikit mengantuk.
"Syalom cantik." Astaga senyum itu. Senyum yang paling aku hindari hari ini."Syalom Peter," jawabku dengan sedikit tersenyum dan menjabat tangannya.
"Eh. Syalom Peter." Aku lupa, sedaritadi mama duduk disebelahku. Dan sekarang aku harus melihat penampakan mama dan Peter yang saling berjabatan tangan sambil melemparkan senyum.
"Apa kamu sibuk hari ini? Jika tidak, sempatkan datang kerumah Juni ya. Kita bisa makan siang bersama." Aku langsung memandang mama setengah melotot. Astaga mama, mengapa tidak mengerti situasiku. Disaat itu juga aku merasa seperti ingin berteriak dan mengatakan 'Tidak Boleh', tapi apa daya, bibirku kaku tak bisa berkata apapun.
"Baik ma. Aku pasti pergi." Setelah mengatakan itu Peter langsung menoleh kearahku dan mengedipkan sebelah matanya kemudian berpamitan pada mama dan berlalu begitu saja. Dan kamu tahu, aku masih kaku belum bisa menyerap apapun kedalam kepalaku sampai akhirnya Valen menepuk bahuku.
"Jika kamu ingin tidur disini tetaplah mematung disitu." Selesai mengatakan itu dia meninggalkanku kearah parkiran Gereja untuk menyalakan mesin motornya, aku lantas berlari kecil membuntutinya.
****
Saat itu sekitar pukul sebelas siang.
Dan aku masih dikamarku sejak pulang dari Gereja sambil memikirkan tentang penbicaraan mama dan Peterku tadi. Setelah cukup lama, akhirnya kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu, setelah itu memilih-milih pakaian apa yang harus kugunakan nanti. Akhirnya pilihanku jatuh pada kaos putih dengan gambar bunga ditengahnya yang kukombinasikan dengan celana high-waisted berwarna pink pastel dan karena ini hanya acara makan siang dirumah, aku hanya akan menggunakan sendal beruang berbuluku.
Setelah mengoleskan sedikit gincu merah muda dibibirku, akupun siap. Siap menghadapi senyumannya, Siap memulai dosa kepura-puraanku dan siap menahan debaran jantungku.