02

24 3 2
                                    

Suara Ban mobil yang bergesekan dengan kerikil membuat Siwi menatap keluar jendela kaca di samping ruang Tv yang langsung menembus Garasi.

Suaminya pulang lebih cepat dari jam-jam biasanya.

"Mungkin sedang tidak terlalu banyak pasien." Monolognya.

Tanpa aba-aba Siwi langsung membuka pintu. Suaminya dengan penampilan wajah kusut berdiri di hadapannya.

"Kamu pulang cepat, Mas?"

"Kenapa? nggak suka?"

Siwi membantu suaminya membuka jas putih miliknya, Aroma parfum perempuan menguar, mengusik indera penciumannya. Bukan hanya satu.

"Bukan, Mas. Ayolah masuk dulu. Aku akan menyiapkan air panas dan makanan."

"Kenapa kalau aku tidak pulang, kamu tidak pernah menyediakan makanan?"

"Kalau mau melihat makanan basi cobalah buka kulkas, atau pulanglah setiap pagi, dan coba mas jumlahkan banyaknya makanan terbuang karena perutku tidak mampu menampungnya sendiri," sarkas Siwi, sembari menyiapkan beberapa sajian sederhana.

Suaminya hanya mendengus sembari membuka dua kancing kemejanya dan juga kancing di lengannya lalu menggulungnya sebatas siku.

Air panas sudah disiapkan, dan dua puluh menit kemudian suaminya itu selesai mandi. Turun dengan Celana boxer dan kaos oblong putih yang hampir sama dengan kulitnya, dan juga handuk yang masih berada di kepalanya yang ia gunakan untuk menggosok mengeringkan rambutnya.

"Maaf, aku hanya menyiapkan ini." tutur Siwi.

"Tidak apa-apa aku tahu kemampuan memasakmu," jawabnya sarkas.

"Baiklah." Siwi tidak terlalu peduli dengan itu. Dia sibuk memainkan ponselnya. Karena tidak tahu harus melakukan apa untuk menunggu suaminya selesai makan.

"Apa ponselmu sangat penting?" tanyanya lagi.

"Tidak. Hanya saja aku tidak tahu harus melakukan apa, Mas. Aku akan kebosanan dan juga kamu akan risih jika aku memandangimu makan, Mas." jawab Siwi jujur.

"Baiklah, sibuklah dengan duniamu."

"Maaf." Siwi menyimpan poselnya di atas meja, lalu memperhatikan suaminya yang sedang makan.

Sepuluh menit berlalu, Makanan di atas meja hampir tandas semua, hanya tersisa sedikit. Siwi tersenyum puas.

Setelahnya Siwi merapikan semua piring kotor dan mencucinya, Suaminya sudah kembali ke kamar sejak tadi.

"Mas ... Mas Putra ... Aku boleh masuk?" tanya Siwi hati-hati , takut suaminya sedang mengerjakan pekerjaan penting atau tidur karena lelah.

"Masuklah," jawabnya dari dalam.

"Mas ... maaf aku mengganggu waktu istirahatmu, Mas."

"Masuklah dulu. Duduk di sini." Putra menepuk tempat kosong di sofa.

"Aku hanya ingin bertanya, bagaimana dengan tawaranku tadi sore? Apa Mas bisa? maksudku kan kita tidak pernah berlibur semenjak kita menikah," tanya Siwi.

"Tapi--"

"Kalau Mas tidak bisa tidak apa-apa," sanggah Siwi.

"Bukan itu ...."

"Oh atau kau mau membawanya bersama, Aku tidak akan kenapa-napa, Mas. Aku hanya memintamu menemaniku pergi, jika perlu berjauhan aku tidak akan mendekat. Aku hanya takut sendirian Mas, apalagi daerah itu baru bagiku," sanggah Siwi lagi dengan entengnya.

"Bukan itu. Aa--aku sibuk." Tiba-tiba mood Putra berubah hancur.

"Ooh, Baiklah. Kalau begitu biar aku mengajak Ranita saja. Dia pasti akan senang bisa berlibur." Siwi bermonolog.

Wajah dingin putra sedikit melongo.

"Aku minta maaf, ya, Mas sudah mengganggu waktumu. Selamat beristirahat."  Siwi merampas ponsel di tangan suaminya pelan. Putra hanya menurut.

"Banyak-banyaklah beristirahat, Dokter yang sakit tidak akan bisa menangani pasiennya." Siwi menyimpan ponsel suaminya di atas nakas. "Lagi pula bilang pada mereka, kalau Mas juga harus istirahat, jangan terus menghubungi saat larut. Mereka kan bisa menemui mas besok di Rumah Sakit." Siwi tersenyum mematikan lampu lalu keluar kamar.

"Cemburu? mungkin bukan bagian dari perasaanmu." batin Putra sebelum tidur.

Pagi pukul 5.30, Siwi sudah bersiap-siap membangunkan suaminya. Sudah sibuk dengan dapurnya lagi untuk menyiapkan sarapan dan bekal.

Setelah mandi dan bersiap rapi dengan kemejanya, dan juga tidak lupa jas putihnya yang sudah Siwi cuci semalam, karena bau parfum yang sangat menyengat membuat kepalanya pusing.

"Mau aku antar?" tawar Putra.

"Tidak perlu, Mas. Aku bisa menggunakan bus saja. lagipula Rumah sakit dan tempat kerjaku 'kan berlawanan arah."

"Aku akan mengantarmu." Final putra.

Ini kedua kalinya setelah menikah dua tahun lalu Siwi menyetujui untuk diantar. Siwi tidak terlalu terbuka pada orang-orang perihal hubungan asmaranya, belum ada yang tahu kalau dia sudah menikah semenjak 2 tahun lalu. Pernikahan rahasia yang hanya keluarga besar yang tahu, demi menghormati privasi suaminya.

KITA?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang