Chapter 1.
Norman duduk termenung dalam ruangannya. Sendiri disana tanpa ada seorangpun yang menemaninya. Pandangannya kosong, menatap buku yang terbuka diatas pangkuannya. Beberapa jam ia hanya membuka dihalaman yang sama.
Pemuda itu. Bukan. Kini dia telah menjadi seorang gadis akibat operasi yang dijalaninya minggu lalu. Hidupnya serasa hancur saat mengetahui fakta itu. Ia tak mampu lagi berpikir saat kepalanya serasa dihantam batu besar, mengetahui fakta yang menghancurkan hidupnya.
Kejadian seperti mimpi yang dialaminya beberapa hari lalu tak bisa diterima akalnya. Membuatnya terus merenung bahkan setelah beberapa hari berlalu. Ia sangat terpukul.
"Ugh!" Norman memegang kepalanya saat ada denyutan dikepalanya.
Matanya sayu saat ia sadar dari lamunannya. Ia meneteskan air mata saat mengingat lagi kejadian itu. Sekilas bayangan saudaranya terlintas di kepalanya, membuat dadanya terasa sakit.
"Ray."
Tangannya semakin mencengkeram kain baju dibagian dadanya dengan erat, rasa sakit yang timbul di dadanya semakin menjalar dan semakin kuat. Isakan Norman pun semakin keras saat ia mengingat wajah manis yang mengantar kepergiannya dengan berurai air mata dan kemarahan.
"Emma."
.
.
.Lagi lagi hanya tes harian dan beberapa pengecekan kesehatan yang Norman jalani hari ini. Seperti biasa ia menjalaninya dengan tenang, semua hasil pengecekan kesehatan bagus dan tes hariannya mendapat nilai sempurnya lagi, meski soal yang dikerjakannya berlevel sangat tinggi.
Yang membedakan hari ini dengan hari yang lain hanyalah stamina Norman yang berkurang drastis. Ia tampak lebih lemah dan pucat dari biasanya. Mata sayunyanya juga membengkak dan memerah.
"Norman kau baik-baik saja?" dokter yang menemaninya hari ini bertanya saat melihat keadaan buruk Norman.
Dokter itu memegang dahi Norman, mengecek apa anak itu demam, tapi ia tak merasakan suhu yang tinggi.
"Aku baik-baik saja, dokter." Norman tersenyum seperti biasa. Menjawab lirih pertanyaan dokter disampingnya agar pria tinggi itu tak menatapnya dengan tatapan khawatir.
"Tapi kau lebih lemah dari biasanya." sanggah dokter itu lagi.
"Mungkin aku terlalu sering membaca buku dan tak beristirahat dengan teratur." Norman jelas-jelas berbohong pada pria itu.
Dokter itu tak bertanya lagi, ia membalas senyuman Norman yang menurutnya meyakinkan dengan anggukan singkat. Ia sebenarnya tak terlalu percaya dan ingin menanyakan penyebab Norman seperti itu. Ia ingin mendengar cerita anak kecil yang sepertinya sangat tertekan disini.
Ia tak sepenuhnya penasaran namun dokter itu hanya ingin memastikannya. Ia tahu apa yang membuat mantan pemuda yang berjalan dengan mata kosong disampingnya ini menangis sampai matanya membengkak. Ia tahu pasti Norman menangis berhari-hari karena hal yang berubah dari diri anak itu.
'Siapa juga yang ingin mengganti kelaminnya.' batin pria setengah baya itu dengan menatap Norman dengan mata yang sedih.
"Mungkin hanya orang-orang bodoh yang menginginkannya. Tapi kau tidak kan, Norman?"
Mata Norman mengerjap beberapa kali. Susah payah ia mencerna kalimat dari dokter yang biasa menjaganya. Ia tak terlalu fokus sejak ia keluar dari ruang tes, jadi ia tak sepenuhnya mendengar apa yang dikatakan dokter itu.
"Maaf, maksud anda apa?" dia melihat pria itu tersenyum manis kearahnya. Tangan besar itu tiba-tiba mengelus kepala Norman. Sedikit aneh dimata biru cerahnya. Dokter itu tak pernah melakukan ini sebelumnya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Apapun yang kau takutkan tak akan memperburukmu," ucap dokter itu.
"Baiklah kembali ke ruanganmu, Norman." pintu bercat putih di depan mereka terbuka. Norman masuk ke dalam sembari tetap menatap dokter itu dengan tatapan bertanya. Sedangkan yang ditatap seperti itu hanya tersenyum manis kearahnya.
"Dokter tahu apa yang saya risaukan?" pertanyaannya terhapus oleh udara sesak disekitarnya. Ia tak mendengar jawaban dari siapapun. Pintu terlebih dulu tertutup sebelum dokter itu selesai mendengar pertanyaan Norman.
Tubuh ringkihnya merosot kebawah. Tangannya dengan keras mencengkeram helaian putih dikepalanya, tanpa peduli perlakuannya akan menimbulkan pertanyaan besar oleh orang-orang yang mengawasinya dibalik kamera yang dipasang di ruangannyanya.
"APA ANDA TAHU SEBERAPA MENDERITANYA SAYA?"
Pada akhirnya ia tak mampu menahannya juga.
Pada akhirnya ia menunjukkan keadaannya yang sebenarnya.
Ia masih anak berusia 12 tahun.
Apapun yang dialaminya tak sebanding dengan seberapa besar hatinya mampu menahan rasa sesak dan sakit yang diterimanya.
Seseorang diluar sana. Yah, hanya seorang yang mengawasi Norman dari balik 6 monitor yang terpasang disana, menunjukkan keadaan Norman yang tertunduk. Dokter itu meneteskan air mata.
"Sebentar lagi. Sebentar lagi, Norman. Aku akan mengeluarkanmu dari sini. Tunggu sebentar lagi." tangan besar dokter itu menutup mic didepannya. Bergumam sendiri dengan isak yang menemani suasana heningnya.
Matanya tetap menatap gadis berhelaian putih pendek dimonitornya. Ia takbisa menebak seberapa besar kesedihan yang dialami anak asuhnya. Tapi ia sadar, penderitaan besar sedang menimpa anak itu.
"Aku ingin menemui anak manisku. Bisa kau beritahukan padanya." Matanya membelalak. Ia menghapus air matanya dengan kasar lalu memutar kursinya menghadap ke arah pria yang menepuk pelan bahunya. Matanya melihat pria dengan helain putih panjangnya.
"Baik, Ratri-Sama."
TBC.
"Aku hobi bikin penasaran."
Kalimat teman sesama penulis :D
Tapi emang seru juga bikin orang penasara :p
Aku juga penasaran dengan nasib dokter baiknya :')
Aku juga penasaran dengan nasib Onna no Norman kedepannya ^^
Kalau kalian baik. Jangan lupa kasih aku bintang ya ^^
See you next chapter :3
Norman, Peter Ratri dan semua karakter yang muncul milik Demiyu Posuka dan Kaiu Shirai.
Cerita ini milikku :D
Pict aku ambil dari Pinterest.
KAMU SEDANG MEMBACA
(fe)MALE.
FanfictionAku tak mampu lagi menatap diriku sendiri. Aku membenci diriku sendiri. Aku tidak ingin dilihat siapapun. Tapi aku merindukan Emma. Aku merindukan Ray. Aku ingin bertemu dengan mereka. Aku harus tetap berjuang. Yah.. Apapun diriku. Bagaimanapun wuj...