Chapter 3.
Disarankan baca chapter ini sambil dengerin Norman/21194 theme. Kalian akan merasakan sensasinya.
Cekidot.
.
.
."Tuan Ratri. Sejak kapan anda ada dibelakang saya?" Pria dengan setelah jas putih itu menatap tajam dokter didepannya dengan mata dingin.
"Turuti permintaanku," ucapnya dengan penekanan di setiap katanya.
Dokter itu menundukkan kepalanya dalam. Tak berani lagi menatap orang yang sangat berpengaruh di tempat ini.
"Baik akan saya suruh Norma-" ucapan dokter itu terpotong. Bahunya di tepuk pelan lagi oleh Peter.
"Bawa saja dia keruanganku." dengan itu Peter keluar dari ruang pengawasan. Meninggalkan dokter yang pucat karena tak bisa menebak apa yang akan pria itu lakukan pada Norman.
Meskipun dalam batinnya, dokter itu membenci keinginan Peter, namun nyatanya ia tak bisa menolak permintaan itu.
Dia disini bekerja. Dia sudah pernah mempertaruhkan nyawanya hanya untuk bersikukuh menjadi pengawas Norman. Karena ia yang menjemput anak itu dari pantinya, ia juga tahu semenderita apa Norman saat dibawa ke tempat penelitian ini. Ia bisa menebak bahwa Norman sudah tahu apa yang ada dibalik peternskan itu. Karena hanya ia yang selamat saat bawahan James lainnya terbantai, ia merasa hanya dirinya lah yang bisa membantu Norman yang kebetulan ada di sisinya.
Keinginan terbesarnya tak mampu ia wujudkan dalam waktu setahun terakhir karena ia harus memperjuangkan hidupnya demi kepercayaan Peter Ratri terhadapnya. Yang ia bisa hanya berjalan patuh seperti ini.
Dokter itu membuka pintu ruangan Norman tanpa pemberitahuan seperti biasa. Ia melihat Norman yang terduduk di lantai.
"Apa yang terjadi padamu, Norman?" itu lah yang ia bisa. Berpura-pura tak tahu keadaan anak manisnya dan mencoba menolong Norman yang berada dalam keadaan terburuk.
"Aku baik, dokter." Norman mengangkat kepalanya. Senyum getir disunggingkannya pada seseorang yang menatapnya khawatir.
"Kau baru saja terjatuh?" tanya dokter itu. Ia membantu mantan pemuda itu berdiri. Pertanyaannya di sambut dengan anggukan kecil setelah Norman berhasil berdiri.
"Tuan Ratri memanggilmu. Beliau ingin kau ke ruangannya. Akan ku antar." dokter itu berbalik. Ingin segera berjalan.
Namun belum sampai ia melangkah, lengan jas labnya ditarik oleh seseorang yang ada dibelakangnya, "Kenapa Tuan Ratri memanggilku ke ruangannya." Norman menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Ikutlah denganku, Nak. Aku juga tidak tau. Tiba-tiba saja beliau memberiku perintah." jelas pria paruh baya itu dengan tetap mempertahankan wajah tenangnya. Dia melepas cengkeraman tangan yang bergetar di lengan jasnya lalu berjalan dan diikuti Norman di belakangnya.
"B-Baru kali ini beliau memanggilku." tentu saja Norman heran. Ia tak pernah sekalipun bertemu Peter Ratri di ruangannya. Ia hanya sesekali berbicara di area penelitian ini.
Ia cukup takut? Jelas saja ia takut. Baru beberapa hari yang lalu kehidupannya berubah akibat orang itu. Dengan mudahnya pria itu memberikannya selamat sembari tersenyum lebar. Lekas apalagi yang akan pria gila itu lakukan padanya kali ini.
"Tenang saja beliau orang yang baik. Mungkin ia ingin berbicara lama dengan anak kesayangannya." Norman mengangkat alisnya. Rasa tidak terima meraung di dadanya saat ia mendengar apa yang baru saja Dokter itu ucapkan.
'Baik katanya? Aku tidak akan sefrustasi ini jika memang Peter Ratri orang baik.' Norman memegang kepalanya tanpa sepengetahuan pria di depannya. Lekas menurunkan tangannya saat dokter itu berputar balik.
"Itu ruangannya. Masuklah! Beliau sudah menunggumu."
Norman tak lagi menjawab atau menyahuti ucapan Dokter itu. Kini matanya terfokus ke arah pintu berdesain elegan berwarna putih di depannya. Ia masih mencoba berpikir apa yang akan terjadi jika ia masuk sembari memutar kenop pintu bulat dengan tangan dinginnya.
Ia masuk. Ruangan itu terang dengan cahaya lampu mengisi seluruh sudut ruangan. Ia melangkah pelan, tak ada yang menyambutnya, ruangan ini sepi. Norman meliarkan tatapannya menyusuri seluruh ruangan. Benar. Tidak ada Peter Ratri disini.
Saat sudah masuk cukup dalam, ia melihat sebuah pintu sederhana di belakang kursi besar diujung ruangan. Pintu itu sedikit terbuka, Norman bisa melihat keadaan ruangan yang terbalik dari ruangan ini. Gelap sekali disana.
"Masuklah kesini Norman." detak jantung Norman spontan berdetak dengan cepat saat ia mendengar suara serak dari ruangan itu. Ia mengenali jika itu suara Peter, hanya lebih berat dari biasanya.
"Baik." jawab Norman.
Kakinya melangkah pelan ke ruangan itu.
'Tuhan, dimanapun kau berada. Kumohon lindungilah aku.'
Norman masuk ke dalamnya dan menemui pria yang menatapnya dengan segelas wine ditangannya.
"Mendekatlah. Aku ingin melihatmu lebih jelas." tangan besar itu menarik pergelangan tangannya, memaksanya untuk mendekat ke arah pria itu. Bau menyengat minuman beralkohol seketika membuatnya mual dan menutup mulutnya.
"Kau kenapa? Baru mencium aroma wine?" Norman mengangguk dan memberi jarak sebagai jawaban.
"Aku baru saja ingin menawarimu." kembali pria itu menarik Norman hingga ia terduduk disamping Peter.
"Maaf, Tuan Ratri. Saya masih dibawah umur." Norman mendorong tangan besar yang semakin mendekat ke arahnye dengan segelas wine tergenggam.
"Kau bebas disini, Norman. Aku tidak seperti Isabella yang memberimu banyak peraturan." pria itu tetap bersikukuh ingin ia meminumnya.
"Maaf, saya tidak menyukainya."
Tiba-tiba suara gelas yang pecah memenuhi gendang telinga Norman. Cairan merah kental membasahi pelipisnya, mengalir melewati pipi dan dagunya, hingga menetes di telapak tangannya.
"T-Tuan." tanpa sadar bibirnya yang bergetar berucap pelan.
"Aku tengah berbaik hati padamu, Norman." Norman mengangkat kepalanya. Tatapannya kini membalas mata lebar yang menatapnya dengan nyalang.
"Apa maksud anda--" ucapannya tak selesai. Dagunya sudah dicengkeram dengan erat dan dipaksa mendongak oleh tangan yang tadi menghantamkan gelas berisi wine ke pelipisnya.
"Kubilang. Kau harus menghargai kebaikanku, Norman." Gadis itu tak lagi mencoba membalas ucapan Peter yang kini tengan diselimuti kabut emosi.
"Aku sudah berbaik hati menyelamatkanmu dari kematian!" Norman menutup kelopak matanya saat tangan yang berada di dagunya terlepas dengan paksa lalu menampar pipinya dengan keras hingga darah mengalir dari ujung bibirnya.
"KAU KINI BUDAKKU, NORMAN!" dengan teriakan itu tubuh Norman terdorong ke belakang dan jatuh terlentang di atas ranjang.
"Norman." bisik pelan Peter sembari mengangkat sebelah kaki Norman.
"Norman." tubuhnya mendekat ke arah anak yang dipanggilnya.
"Norman." sebelah tangan Ratri merai pipinya.
"NORMAN!" satu tamparan keras mendarat lagi di pipi itu.
Tatapan Norman berubah menjadi datar saat lehernya di tekan oleh tangan Peter.
'Aku salah. Tuhan tidak pernah ada di dunia iblis yang terkutuk ini.'
To Be Continued.
Pesan dari Author-chan:
Maafkan aku :")
.
.
.Pict aku ngambil di twitter.
Norman dan Peter Ratri milik Kaiu Shirai dan Demizu Posuka.
Cerita aku yang buat dan aku yang mikir.
Bintangnya jangan lupa yak :D
KAMU SEDANG MEMBACA
(fe)MALE.
Hayran KurguAku tak mampu lagi menatap diriku sendiri. Aku membenci diriku sendiri. Aku tidak ingin dilihat siapapun. Tapi aku merindukan Emma. Aku merindukan Ray. Aku ingin bertemu dengan mereka. Aku harus tetap berjuang. Yah.. Apapun diriku. Bagaimanapun wuj...