To Go.

252 28 8
                                    

Norman/21194 themenya di putar lagi sayang, biar feelnya dapet ><

Douzo.

Saat aku yakin hidupku akan berakhir disini. Berakhir dengan keadaan paling buruk, paling hina dan paling memuakkan.

Saat aku yakin Tuhan tak bisa lagi mendengar doaku selama aku berada di dunia terkutuk ini. Saat aku yakin bahwa Tuhan tak memperdulikan makhluknya yang berada di dunia dimana makhluk paling ia benci berada.

Secercah harapan masih kudapat.

Emma.

Mungkin hanya dialah wujud dari kebaikan Tuhan yang diberikan padaku. Dialah cahaya hidupku selama ini. Dialah alasan mengapa aku bertahan hingga sejauh ini. Dialah pemberi semangat dalam hidup menyedihkanku meski hanya lewat bayangan semu senyum manis dan suara lembut yang terus mengatakan 'semangat' dengan nada yang ceria.

Hanya hayalanku.

Ya.

Dalam batinku sekalipun, aku sudah berharap dibunuh saja. Aku sudah mengikhlaskan semua perjuanganku selama dua tahun ini. Aku sudah menyerah akan semua mimpiku bertemu kembali dengan saudara-saudariku dan memeluk Emma.

Dengan tubuh penuh luka lebam. Dengan baju yang tak lagi utuh melekat di tubuhku. Dengan rasa dingin yang kini menjalar di seluruh tubuhku dan membekukan hatiku. Aku tak lagi berharap semua itu akan menjadi nyata.

Aku berharap tubuh lemahku tak lagi punya tenaga untuk menahan obat-obatan yang selama ini masuk kedalam tubuhku, menghentikan detak jantungku, menyumbat denyut nadiku dan mengakhiri hidupku.

Tapi tidak. Meski aku berharap penuh. Semua itu tak terjadi padaku.

Nyatanya di lubuk hatiku yang paling dalam. Aku tak pernah menyerah. Mungkin hanya itulah yang bisa didengar Tuhan. Mungkin bagi Yang Maha Kuasa itulah keinginan sejatiku.

Ya. Memang hanya itu yang dikabulkan selama ini. Aku yang kuat menjalani semua ini. Tubuh lemah yang tak pernah tumbang menerima siksaan. Dan batin yang tak pernah lelah berharap. Tuhan begitu baik bukan? Memang tak seharusnya aku menyalahkanNYA maupun Takdir yang ditulis untukku.

"Norman, kau bisa kembali keruanganmu." aku mendongak saat suara serak itu memanggil namaku dan memberikan perintah normalnya lagi.

Aku tak menjawabnya. Mulutku bahkan tak bisa kugerakkan meski keinginan itu ada.

Aku tak lagi memiliki sisa tenaga setelah siksaat yang kuterima darinya selama semalaman.

Tidak. Bukan hal pelecehan seksual yang kuterima dari Peter Ratri meski itulah yang ku takutkan saat sadar berada di tempat buruk dengan keadaan tubuhku yang bukan lagi seperti yang ditakdirkan saat aku lahir.

Aku yakin dia berniat melakukannya meski ia urungkan bahkan saat baru saja mencoba menjalankan keinginannya.

Aku tak tahu pasti. Tapi dalam keadaan mabuknya ia terus menerus menggumamkan nama kakaknya. Hingga membuatnya merasa bersalah sendiri.

Aku sangat ingin berterimakasih pada James Ratri. Meskipun ia sudah tiada. Bahkan sampai saat ini ia masih membantuku. Meski hanya berwujud ingatan menyakitkan di dalam kepala Peter Ratri.

"Norman, kau dengar aku?" aku tak sadar bahwa aku kembali menundukkan kepalaku tadi.

"Kembali ke ruanganmu!"

Sesuai perintah. Aku kembali. Berjalan pelan sembari tertatih. Melewati ruangan cerah yang tak tersentuh kegelapan. Membuka pintu putih tanpa noda. Aku disambut dengan wajah khawatir seorang dokter yang selalu menemaniku. Aku mengulas sebuah senyum kecil untuk meredakan rasa khawatir di dada orang itu meski aku tak tahu maksudnya. Dia menghela nafas sembari menepuk bahuku.

"Kau baik-baik saja nak?" mungkin aku salah dengar atau memang pendengaranku rusak akibat hantaman botol minuman keras dan gelas berkali-kali. Aku mendengarnya memagggilku dengan sebutan yang kuharapkan.

Aku merindukan tatapan khawatir dan nada lembut yang menanyakan keadaanku.

"Norman, kau demam lagi?"

"Norman, badanmu sangat panas nak."

"Tidurlah sebentar, Mama akan membawakanmu obat."

Sekilas aku bisa mendengar dan merasakan hangatnya wanita itu lagi.

"Norman, kau baik-baik saja?" dia menggoyang-goyangkan bahuku saat aku tak kunjung menjawabnya dan hanya bisa terpaku dengan mata berkaca-kaca menatapnya.

"Aku baik-baik saja, dokter," jawabku pelan.

"Baiklah, kita keruanganku sebentar. Akan kuobati seluruh lukamu." dia menggandeng tanganku. Membawaku berjalan dengan cepat. Menyeretku dengan terburu-buru.

"Dokter, aku diminta kembali ke ruanganku." aku mencoba menghentikan langkah tapi tak sanggup.

"Tapi lukamu." dia makin mempercepat langkahnya.

"Jika aku tidak menurut--"

"Sekali saja!" aku membelalakkan mataku saat dokter itu memotong ucapanku. Dia berhenti dari kegiatannya menyeretku. Dia membalikkan badannya sepenuhnya dan memegang pundakku. Dia menunjukkan ekspresi sedihnya. Tatapannya padaku, seperti seorang ayah yang mengkhawatirkan putranya yang terlalu keras berusaha.

"Sekali saja anggap aku bukan orang lain dan ceritakan bebanmu. Sekali saja, lepaskan semuanya. Sekali saja, aku ingin menjadi orang yang baik dimatamu."

Aku sepenuhnya terkejut mendengar semua yang ia katakan. Aku tak terlalu yakin. Tapi, baru kali ini aku melihat orang dewasa disini sekhawatir ini padaku. Aku bersyukur. Bisakah aku melepas semunya sekali lagi dan mengurai bebanku?

"Ijinkan aku menebus semuanya yang telah kurenggut karena ikut menjemputmu dari sana, nak." dokter itu berlutut di depanku. Menangis sesenggukan mengiringi air mataku yang mengalir.

"Dokter,"

"Katakan apapun yang kau risaukan dan kau inginkan." ucapnya, kembali menatap mataku.

"Bantu aku menghancurkan tempat ini dan membebaskan semuanya."

.
.
.

Meski aku dalam keadaan memuakkan.
Aku akan keluar dari tempat ini.

Meski menjijikkan.
Aku akan tetap membawa tubuh ini.

Meski dibenci oleh orang yang kucinta sekalipun nanti.
Aku akan menemuinya.

Pasti.

Emma.

Tunggu aku.

To Be Continued.

Yah chap ini pendek karena Author buntu ide :"D mohon dimaafkan ya ><

Masih ada hawa lebaran kan ya, jadi mohon maaf lahir dan batin. Ehe :D

Telat banget. Buangeut serius :")

Chapter ini buat ngobatin kalian yang rindu dengan onna no Norman.

Authornya juga rindu sih :(

Stay tune sayang ><
Jangan bosen nunggu yak :D

(fe)MALE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang