Bab 01 | He is

442 41 9
                                    

Ada sebuah tragedi, yang membuatku harus kehilangan keluarga. Seluruh keluargaku maksudnya. Menjadikanku sebatang kara dengan beribu masalah. Bekerja seharian penuh tanpa ada waktu untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Rasanya, aku ingin sekali mengakhiri hidupku. Mengatakan pada Tuhan betapa lelahnya diriku.

Malam itu, merupakan batas dari kemampuan tubuhku. Aku sudah kelewat lelah. Aku tumbang, di depan banyak orang, di coffe shop tempatku bekerja. Aku hanya sedikit ingat, ada beberapa yang mengangkatku ke ambulan, aku benar-benar lemas saat itu.

Paginya, dokter memanggilku untuk memberi sebuah kejutan yang luar biasa berhasil membuatku ingin menangis dan menjerit ditempat. Saat itu pula, aku berpikir bahwa Tuhan sungguh tak adil, kejam, tak berpihak padaku. Aku marah sekali pada Tuhan.

"Jantung anda kembali bermasalah. Pemasangan implan tidak akan menjamin hidup Anda, Anda harus mengikut prosedur pengobatan lebih lanjut, jika tidak maka—"

"Aku akan mati dan meninggalkan dunia sialan ini, bukan begitu, dok? Aku benar kan?" Aku menatap mata si dokter dengan mataku yang akan siap melelehkan air mata.

Ah, kematian. Itulah kata yang aku tunggu-tunggu. Aku tak usah lelah melukai tanganku dengan pisau atau menjatuhkan diri dari atas gedung paling tinggi. Aku hanya tinggal menunggu tubuhku merusak bersama jiwaku yang juga sudah rusak. Mudah sekali bukan.

Penderitaanku mulai bertambah lebih banyak semenjak aku berpikir untuk mengambil prosedur pengobatan. Tiap hari hanya sakit yang kurasa, sungguh sesak dadaku. Tiap hari hanya bisa mengandalkan obat dan mengelus pelan dada, untuk meminimalisir sakit. Namun, ada yang lebih sedikit mengurangi penderitaanku selama aku mengikuti pengobatan.

Yaitu, seorang kawan. Namanya, Park Jimin. Dia penderita kanker otak. Tapi lihat dia sekarang, sangat antusias setiap bercerita denganku. Berbeda betul dengan diriku, tampak tak bersemangat untuk sembuh. Antara penyakit jantung dan kanker otak, tentu lebih mengerikan penyakit jantung, bukan. Detak ini bisa berhenti kapan saja.

"Tae, jangan patah semangat. Kita harus sembuh bersama dan bermain bersama di luar sana." Jimin menarik bibirnya hingga menghilangkan mata sabitnya. Eyesmilenya, sungguh menggemaskan, membuatku semangat.

"Tae, kemarin aku melihat ada anak kecil yang baru saja kehilangan penglihatan. Tuhan mengambil fungsi matanya, Tae. Tapi, dia tak patah semangat."

"Tae, kalau aku memberi mataku untuknya, apa aku akan menjadi pahlawan untuknya?"

"Jangan bodoh, Jim. Kau harus mati dulu untuk memberikan bola matamu itu." aku mendengar kesal, sedikit tidak terima bahwa dia ingin memberikan matanya.

"Aku rindu Tuhan, Tae. Aku ingin bertemu bunda, ingin memberitahu, bahwa aku akan menjadi pahlawan suatu hari nanti." Jimin menatap sendu langit jingga dengan semburat merah sore itu, dengan diriku yang ikut menatap langit sore.

"Kau sudah menjadi pahlawan setiap hari,Jim. Ayahmu, dia terlihat bangga padamu ketika kamu bisa melewati kemoterapi. Itu sungguh keren, bukan? Lebih keren dari pahlawan." aku menepuk pundak Jimin. Tepukan itu berhasil membuat matanya menatapku. Dapat terlihat, ada sebuah rindu yang mendalam.

"Tae, kau. Akan sembuh, jantungmu akan berdetak bersama-sama dengan milikku." Selesai mengatakan hal itu, Jimin tumbang di depan mataku. Darah mengalir deras lewat hidungnya. Jantungku berdetak dengan cepat, saat itu pula, aku merasa bahwa pahlawan penyemangatku ikut mengambil detak jantungku juga.

Dia, Park Jimin. Aku ikut tumbang, karenanya.[]

[√] EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang