[1] First Meet After a Long Time

6K 501 65
                                    

"Bagaimana hasilnya?" tanya lelaki bergaya perlente yang sedang berbicara dengan bluetooth handsfree yang terpasang apik di telinganya. "Apakah mual-mualmu pagi ini karena positif?"

Bisa didengar olehnya seseorang di seberang panggilan sana menghela napasnya pelan, "Tidak, hasilnya negatif."

Hening.

Si lelaki yang sedang berkutat dengan berkas-berkasnya justru fokus ke pekerjaannya ketimbang meladeni istrinya yang masih tersambung dengannya.

"Kevin, maafkan aku, oke?" Wanita itu berusaha untuk menghibur suaminya. Ia tahu ia harus memiliki anak untuk menjadikannya penerus perusahaan, mungkin tidak sekarang. Tapi, ia yakin ia mampu memberikannya. "Aku akan mengikuti program kehamilan."

"Lakukan sesukamu. Aku hanya ingin kau hamil secepatnya."

Dan tanpa berperasaan, Kevin mematikan sambungan teleponnya.

-

Satu suap.

Tatap.

Satu suap lagi.

Tatap lagi.

Kevin menggeram tertahan. Ia ingin pura-pura tak peduli dengan anak kecil berumur sekitar tujuh tahunan yang berada di balik kaca transparan dekat tempatnya makan, tapi ia merasa kerisihan sebab anak itu menatapnya—lebih tepatnya ke arah makanan dan sendokan makanannya—dengan sangat intens. Sendok turun, mata itu ikut turun. Sendok naik, mata itu ikut naik. Bagaimana Kevin bisa makan dengan tenang?

Diliriknya sang anak kecil yang menatapnya dengan penuh harapan bak anjing kecil yang minta dibawa di tengah hujan dengan mata bulatnya yang berkaca-kaca. Kevin meniliknya, agaknya jika membawa anak itu masuk rasanya tak akan membuatnya malu. Karena alih-alih terlihat seperti gembel kelaparan, anak ini justru terlihat menggemaskan dengan kulitnya yang putih bersih dan pipi gembilnya yang seperti buah persik. Sangat imut.

Tidak, jangan pikir Kevin pedofil. Ia hanya kagum dengan bocah di luar restoran yang mungkin tengah tersesat dan kelaparan.

Lagipula ia memang menyukai anak-anak, tolong dicatat. Ia tidak pedofil.

Akhirnya lelaki perlente itu berdiri dari duduknya, membuat si lelaki kecil cemberut karena paman yang di dalam restoran justru pergi bukannya memanggilnya untuk masuk—padahal dia sudah mengeluarkan jurus sok imutnya.

"Hey, apa yang kau lakukan melihati orang makan seperti itu, Bocah? Tak tahukah bahwa itu tak sopan?"

Anak berjubah cokelat itu tersentak. Matanya melotot melihat paman yang tadinya di dalam malah sekarang sudah berada di sampingnya dengan tubuh menjulang itu.

"M-maaf, Emer lapar." lelaki tujuh tahun itu menunduk sambil memainkan ujung jubahnya takut-takut. Sebuah kebiasaan yang tak asing bagi Kevin.

"Jadi namamu Emer?" tanya Kevin sembari mengacak surai halus Emer pelan. "Kalau begitu, ayo makan bersamaku."

Mata itu mendongak menatap uluran tangan di depannya, berbinar dengan senyum lebarnya pula. Ia mengangguk bersemangat sambil menyambut tangan besar itu. Bergandengan menuju restoran dengan makanan yang ia inginkan.

-

"Lalu, kenapa kau berjalan sendirian begini?" tanya Kevin dengan tangan bersedekap menatap sang anak yang tengah lahap menyantap makanannya.

Emer mengunyah makanannya cepat, menelannya dengan susah payah untuk kemudian menjawab, "Aku mengejar kucing yang kutemui dekat day care, tanpa sadar aku sudah jauh hingga tersesat seperti sekarang. Ayahku pasti sedang panik mencariku."

"Kau tahu alamat rumahmu?"

Pria kecil itu mengangguk, ia mengetahui alamatnya tapi tak mengetahui di mana ia sekarang. Ia merogoh tas ranselnya dan mengambil buku tulis yang berisikan sedikit biodata yang tentu saja ada alamat tempat tinggalnya. "Ini alamatku, Paman."

"Oh, namamu Emerald Markley, ya? Baiklah, akan kuantar kau ke apartemenmu untuk bertemu ayah dan ibumu."

"Aku tak punya ibu," jawab anak itu santai, ia mengunyah makanannya dengan perlahan, menikmati dessert es krim yang lumer di mulutnya.

"Ibumu ke mana?" Kevin bertanya lagi.

"Kenapa Paman ingin tahu?"

Lelaki berumur tiga puluh dua tahun di depan Emer hanya mengangkat bahunya enteng, "Hanya bertanya."

-

"Papa! Buka pintunya!" Emer menggedor pintu dengan brutal setelah memencet bel namun tiada respons yang didapatkan. "Emer pulang!"

"Mungkin ayahmu sedang mencarimu sekarang," sahut Kevin menunduk guna menatap Emer yang balik menatapnya dengan kernyitan di dahi.

"Lalu, aku harus bagaimana, Paman? Yang pegang kunci apartemen hanya ayahk—"

"EMER!" teriakan nyaring seketika menggema di sekitaran lorong disertai dengan derap langkah yang cepat menyusul kedua lelaki yang berbeda usia ini.

"Papa?"

"Emer! Emerald-ku, akhirnya kau pulang! Syukurlah Tuhan memberkatimu hingga ...." Pria mungil itu berjongkok guna memeluk buah hatinya seraya mulutnya terus memanjatkan rasa syukur pada Tuhan yang mengembalikan anaknya setelah hilang selama empat jam.

"Ehem." Kevin berdeham pelan.

Setelah mendrama dengan menatap anaknya, ia tersadar bahwa mereka tak hanya berdua tatkala melihat sepatu hitam mengkilap di belakang Emer. "Kau pulang dengan siapa?"

"Ah!" Seolah tersadar, Emer langsung mendongak. Diikuti dengan sang ayah yang menatap wajah si penolong. "Aku bersama—"

"Kevin?"

"Eren?!"

-

"Bagaimana kabarmu?"

"Kau semakin manis." Bukannya menjawab pertanyaan Eren, Kevin justru menyuarakan pikirannya yang sangat jauh dari ekspektasi Eren.

Wajah itu merona, agaknya terkejut dengan gombalan dadakan yang Kevin lontarkan. "Kev?"

"A-ah!" Lelaki menjulang itu tiba-tiba tergagap sendiri. Ia terlalu mengagumi teman lamanya, masa lalunya dan juga ...

... kekasihnya sepuluh tahun lalu.






—Bersambung

AMETHYSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang