[3] Emerald's Daddy

3.1K 382 66
                                    

"Semalam kau pulang jam berapa?" tanya Sharon, istri Kevin yang sedang memotong sayuran di counter dapur.

"Lupa," jawab Kevin sekenanya. Nyatanya setelah hampir sepuluh tahun lamanya bersama, mereka tetaplah orang asing dalam rumah tangga keduanya.

"Kemarin aku ikut program kehamilan—"

"Ya, ya, ya, aku tahu. Urusi saja. Aku mau berangkat," sela Kevin dengan cuek. Ia malas mendengarkan suara istrinya itu. Karena sungguh, ia tak mau tahu. Ia hanya menginginkan anak dari wanita itu.

"Kau tak ingin sarapan?" tanya perempuan cantik itu sambil melirik jam yang menempel di dinding rumah mereka. "Masih terlalu pagi untuk pergi bekerja. Duduklah dulu, kita sarapan."

"Tidak," Kevin langsung menolak, "aku ingin sarapan bersama temanku."

"Siapa?"

"Kenapa kau ingin tahu?" Sial, kalimat itu langsung dicuri oleh Kevin dari sepasang ayah dan anak itu.

"Karena aku istrimu," respons Sharon dengan dahi mengerut. Ia tak menyukai kalimat yang Kevin lontarkan, terkesan tidak sopan dan tentu saja, ia berhak bertanya karena demi Tuhan! Sharon adalah istrinya. "Aku berhak bertanya dengan siapa suamiku pergi."

"Itu bukan urusanmu," ketus si kepala rumah tangga. "Aku akan pergi. Jangan menerorku dengan telepon-telepon bodohmu seperti semalam."

Dan Kevin pun berlalu, meninggalkan Sharon yang meremas dadanya pelan. Kesakitan dari dalam.

-

"Eh? Kevin?" Eren mengerutkan dahinya bingung ketika pagi-pagi Kevin sudah memencet bel apartemennya, bertamu entah untuk apa. "Masuklah."

Dengan senyum tipisnya Kevin berjalan masuk, "Di mana Emer?" tanyanya sambil menatap wajah Eren yang sudah menawan bahkan dengan wajah bangun tidurnya.

"Emer belum bangun," tukas lelaki mungil tersebut. "Untuk apa kau datang pagi-pagi sekali? Bahkan kau datang sebelum Emer bangun."

"Hanya berkunjung."

"Pasti kau ingin sarapan 'kan? Apalagi Emer semalam berkata bahwa ia ingin nasi goreng kesukaan kalian. Hahaha," tawa itu memasuki pendengaran Kevin pelan, menulari dirinya hingga timbul menjadi senyuman lebar.

"Kau memang sangat mengetahui aku."

"Baiklah, aku akan memasak dulu. Kau tunggulah di meja makan," titahnya.

Si pria tinggi itu menurut, ia langsung terduduk dengan anteng. Mengamati punggung kecil Eren dalam diam, menahan diri ingin melingkarkan tangannya pada pinggang ramping itu.

Pikirannya kembali terlempar pada sepuluh tahun lalu, ketika ia tak perlu berpikir seperti sekarang untuk memeluk Eren, bahkan untuk menciumnya sekali pun.

"Aku ada buah pisang. Ingin jus pisang?" tanya Eren yang sedang berjongkok di depan lemari esnya, meniti bahan lain yang ingin ia ambil.

"Kalau kau tak keberatan." Kevin masih senantiasa mengikuti pergerakan Eren yang sibuk berkutat dengan masakannya. "Emer tak kau bangunkan?"

"Oh? Apa ini sudah pukul tujuh?"

Kevin melihat arlojinya dan berkata, "Ya, tujuh lewat lima."

"Astaga! Sebentar, akan kubangun—"

"Biar aku saja!" Pria berjas itu menahan lelaki yang menggunakan apron cokelat polosnya. Ia memegang pergelangan Eren lembut hingga mata keduanya bersibobrok. "Ah, maaf," sesal—tak benar-benar menyesal—Kevin sambil melepas posisi tangannya yang dilihati oleh Eren.

AMETHYSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang