[01] Kisah tentang Kakak-Beradik

24 3 0
                                    

Di sebuah lereng gunung pasif, hiduplah sepasang suami-istri. Mereka memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Keduanya terpaut usia lima tahun.

Sang kakak yang bernama Alan berusia 13 tahun, sedangkan sang adik yang bernama Elle berusia 8 tahun. Keluarga mereka cukup bahagia dan harmonis, hanya saja kadang terjadi pertengkaran kecil antara kakak beradik itu.

Alan yang saat ini sudah menyadari posisinya sebagai kakak mulai paham apa perannya untuk sang adik. Alan akan selalu  melindungi Elle apapun yang terjadi. Ia rela memasang badan agar Elle tidak terluka, cukup hanya dirinya saja yang meangalaminya.

Alan tahu bahkan paham betul ketika ia babak belur, Elle akan merasa sedih bahkan ia pernah menangis kencang seharian yang justru Alan anggap hal ini menggemaskan hingga ia lupa akan rasa sakit pada tubuhnya.

Ketika kedua orrang tuanya menasehati perihal itu, Alan akan berkata,“Aku kan kakaknya, aku tak mungkin diam saja melihat ia terluka. Nanti kalau dia sudah besar, pria mana yang mau dengan gadis penuh luka.”

Sungguh, apa benar kalimat itu keluar dari mulut bocah yang baru berusia 13 tahun? Bahkan orang tuanya hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya ucapan yang anak mereka katakan.

Hari ini adalah hari kelima menuju musim semi menurut surat kabar dan berita dari radio. Walaupun sebentar lagi musim semi, namun salju masih saja turun agak lebat. Kau bahkan bisa melihat pohon setinggi 1 meter yang hampir tenggelam setengahnya.

Suhu memanglah cukup dingin. Walaupun mereka hanya memiliki perapian ala kadarnya, tetapi mereka masih memiliki kehangatan keluarga di dalam rumah tersebut.

Saat itu, Elle tengah berdiri di atas kursi memperhatikan tiap-tiap butir salju yang turun dari balik jendela. Wajah gadis kecil itu bahkan sampai membekas di kaca saking asiknya. Apa tak cukup ia melihatnya selama beberapa bulan ini? Atau itu memanglah hobinya.

Dari arah dapur dapat tercium bau harum masakan. Alan yang baru saja selesai merapikan kamarnya segera berlari menuju dapur untuk membantu Ibunya. Tidak, sebenarnya ia ingin segera makan karena sudah merasa sangat lapar.

“Ibu, Ayah kemana?” tanya Alan.

Ibu yang tengah mencicipi sup tanpa mengalihkan pandangannya menjawab, “Ayah? Sepertinya tadi sedang membersihkan loteng. Mungkin sebentar lagi selesai.”

Panjang umur. Baru saja dibicarakan, pria itu muncul dari pintu loteng dengan pakaian yang kotor penuh debu dan beberapa noda hitam entah apa itu.

“Ayah, apa yang Ayah lakukan di loteng?” tanya Alan sambil menghampiri sang Ayah.

“Hmm? Oh, Ayah tadi sedikit membersihkannya. Ayah rasa sudah cukup lama loteng itu tidak dibersihkan. Dan benar saja disana berdebu dan berantakan.”

“Apa Ayah butuh bantuan?”

Ayah mengacak rambut Alan hingga berantakan. “Tak usah. Sudah hampir selesai. Ah, Ibu mu masak apa? Sepertinya enak.”

“Ibu memasak sup hangat kesukaan ku. Katanya itu hadiah ku karena membantu Ayah mencari kayu hingga demam minggu lalu.”

“Oh ya? Kalau begitu Ayah berganti pakaian dulu. Rasanya tak enak menggunakan ini.”
Ayah pergi melewati Alan.

Saat ia akan kembali membantu Ibunya, ia melihat Elle di dekat jendela. Awalnya Alan tak begitu menghiraukannya, namun karena ia terabaikan setelah memanggil nama adiknya berulang kali, ide-ide jahil terbesit di pikirannya.

Dengan perlahan ia mendekat ke arah adiknya itu. Alan mencubit dengan gemas pipi tembam milik adiknya itu. Sontak Elle mengaduh kesakitan dan meminta Alan untuk melepas cubitan itu.

“Ibu, Alan jahat pada ku. Dia tak mau melepas cubitannya dari pipiku,” adu Elle sambil berteriak.

“Siapa dulu yang memulainya, hah? Sejak tadi aku terus memanggil mu, tapi kau malah asik melihat keluar.”

“Terserah pada ku dong. Cepat lepaskan Alan!”

Semakin meronta, semakin gencar juga ia mengunyel-unyel pipi yang bak bakpau itu. Jujur ia sangat senang melihat adiknya marah-marah dan memelas seperti ini. Tentunya ini adalah kesenangan tersendiri bagi seorang kakak.

“Aaa… Ayah, tolong buat dia menjauh dari ku.” Kini Elle mencoba meminta bantuan dari Ayah.

Namun, seketika ia nampak sangat malang ketika permintaan tolongnya tak dihiraukan. Ayah hanya duduk di meja makan sambil tertawa melihat tingkah mereka.

“Sudah, sudah. Ayo makan,” lerai Ibu sambil membawa sepanci sup hangat lezat.
Karna memang sudah lapar, terpaksa kejahilan yang lakukan Alan terhenti. Padahal itu sangat seru. Yah, masih ada banyak waktu untuk melakukannya lagi, pikir Alan.

Keempat orang itu kini sudah berada di meja makan sambil menunduk membaca doa atas makanan yang bisa mereka santap hari ini. Selesai berdoa, Alan dapat melihat pipi kemerahan adiknya karena mereka duduk berhadapan.

“Apa lihat-lihat?!” Elle berubah jadi galak.

“Tidak, hanya saja… pipi mu kini seperti tomat. Hahaha…”

Seketika itu juga, hampir saja sebuah sendok akan melayang ke arah Alan jika Ibunya tidak mencegah Elle.

🐺🐺🐺

Saat itu Alan tengah berjalan-jalan di rumahnya. Kemudian ia tak sengaja sampai di kamar adiknya. Dari dalam sana dapat terdengar suara-suara kecil. Entah apa itu sama sekali tak dapat terdengar. Jadi, Alan mencoba mendekatkan telinganya ke arah pintu.

“Aku benci Alan.” Kalimat itu terdengar begitu jelas.

Hatinya tiba-tiba sakit mengetahui adiknya sebegitu benci pada dirinya. Beberapa pertanyaan pun muncul seperti, apa perilakuku salah? Apa ia benar-benar merasa terganggu? Dan lain sebagainya.

Alan kembali mendekatkan telinganya. Ia penasaran sekaligus takut dengan apa yang akan adiknya ucapkan. Sunyi, tak terdengar suara apapun. Alan yang merasa ada yang kurang beres meraih gagang pintu dan hendak membukanya.

Tepat ketika ia akan membukanya, pintu itu sudah terbuka dan menampakkan sesosok gadis kecil dengan mata sembab tengah memeluk sebuah boneka beruang coklah kecil dari dalam kamar itu.

“Alan,” panggil adiknya dengan sesenggukan.

“Y-ya?” Alan yang kaget sekaligus bingung itu tiba-tiba tergagap. Tingkahnya ini sepeti maling yang tertangkap basah mencuri. Yah, memang Alan habis mencuri. Mencur-curi apa yang adiknya umpatkan tadi.

Diam. Keduanya tak ada yang bersuara. Elle yang merasa telah melakukan hal sia-sia—berdiri lama dihadapan Alan—memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan menutup pintu.

Sebelum pintu tertutup rapat, Alan angkat suara. “Apa kau benra-benar benci padaku?”

Elle menghentikan gerakanya. Ia menatap wajah kakaknya dengan mata bulat coklat yang menggemaskan itu. “Entahlah,” jawabnya.

Pintu pun tertutup rapat dengan bantingan yang keras. Alan pun sampai terlonjak kaget sambil memejamkan salah satu matanya.

Sebenarnya pertengkaran ini sudahlah biasa, mereka akan berbaikan esoknya. Namun, kali Alan merasa pertengkaran ini berbeda. Memang Elle ketika marah kepadanya akan mengumpat sejadi-jadinya dan itu hal yang biasa terjadi. Tapi, Alan merasa pertengkaran hari ini sungguhlah berbeda.

To be continued...

Black ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang