[02] Kisah Teman Sepermainan

28 3 0
                                    

Salju turun sudah tak selebat kemarin dan kini meninggalkan tumpukan salju yang cukup tebal. Bahkan kini pohon cemara yang tumbuh sudah tak nampak seperti pohon lagi, hanya seperti kerucut putih yang lucu. Setidaknya itu pikiran Elle.

Pagi itu Alan belum juga bangun. Ia tengah tertidur lelap dibalik selimut hangatnya. Namun, itu tak berlangsung lama.

Ibu dengan berkacak pingang berdiri di sebelah kasur anaknya itu dan memandanginya heran. Mungkin yang Ibu pikirkan adalah, “Haduh, anak ini,” sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dengan suara lembut Ibu berkata, “Bangun Alan. Sudah pagi.”

Tapi, Alan yang tak ingin diganggu hanya membuka matanya sekejap dan malah menarik selimutnya ke atas hingga seluruh tubuhnya tertutup rapat.

Ibu yang gemas kemudian menarik selimut itu dari Alan. Sayangnya, usahanya itu sia-sia. Alan masih tertidur dan tak peduli dengan selimutnya walaupun udara dingin kini menusuk tulangnya.

Ibu menyerah. Ia pun meninggalkan Alan.

Tak lama setelah Ibu pergi, Alan terbangun. Ia terduduk dan menguap. Rambutnya masih acak-acakan dan matanya masih tertutup. Nyawanya belumlah terkumpul seutuhnya. Ia seperti orang linglung yang tengah mengajukan pertanyaan seperti, aku siapa? Aku dimana? Sekarang hari apa?

“Aku maih mau tidur,” ucapnya sambil menggaruk lehernya.

Di ruang tamu, tiidak, itu sebenarnya hanyalah sebuah ruangan tak bersekat yang diberi kursi dan meja saja dan dari sana dapur saja bisa terlihat. Elle bersama mainan-mainannya tengah menggelar pesta teh(?). Katanya hal itu yang sering dilakukan anak-anak seusianya.

“Pagi, Bu,” ucap Alan yang tengah menuruni anak tangga dengan muka bantalnya.

“Pagi,” jawab Ibu. "Akhirnya kau bangun juga."

Alan tak terlalu mendengarkan ucapan Ibu nya itu. Ia lalu memilih untuk duduk di kusi makan. Ia menaruh kepalanya dan berencana untuk tidur lagi, tapi bau masakan Ibu yang harum membuatnya terjaga.

Alan rasa dirinya lapar. Sambil menunggu masakan Ibu matang, Alan meyapa Elle, namun hanya dijawab dehaman ringan.

“Ah, salju sudah berhenti yah?” tanyanya yang baru enyadari itu.

“Sudah sejak tadi. Dasar Alan bodoh,” jawab Elle sinis.

Alan diam. Dia tak menjawab bukan karena ia mengalah pada adiknya atau benar-benar, tapi karena Alan tak ingin ribut dengan mood paginya yang agak buruk.

Bisa-bisa mereka bertengakar lagi dan andai kalian tahu, bertengkar dengan Elle sangat buang-buang tenaga, kata Alan sebagai alasan. Padahal ia juga bahkan sering meladeni adiknya seperti kemarin.

Kini Alan melihat Ayahnya. Sepertinya ia tengah mengeruk tumpukan salju dari pintu rumah untuk membua jalan. Bergegas Alan keluar rumah dengan menggunakan pakaian hangat untuk membantu Ayahnya itu.

“Ayah,” panggil Alan.

“Ya? Ah, kau sudah bangun?”

“Sudah.”

“Tadi Ibu mu becerita pada Ayah kalau kau tadi susah sekali untuk bangun.”

Mendengar itu Alan hanya tertawa.

“Ayah, apa kali ini mau aku bantu?”

Ayah tertawa mengusap kepala Alan kemudian berkata, “Jadi, anak Ayah ini pendendam yah?”

“Tidak, kok. Aku Cuma mau menjadi lelaki seperti Ayah yang melakukan pekerjaan berat.” Pipi Alan terasa panas karena menahan malu atas ucapanya barusan.

“Tapi-” Ayah mengantung ucapanya. Alan kembali menatap Ayahnya itu. “-apa kau kuat melakukan ini?” goda Ayahnya.

Dengan bibir mengerucut Alan berkata, “Tentu saja kuat. Ayah jangan meremehkan kekuatan anaknya ini—Ah, bukan. Lelaki ini maksudku.” Alan kemudian mengangkat sebelah tanganya dan menunjukkan otot-ototnya yang sebenarnya tak ada.

Ayah hanya tertawa.

🐺🐺🐺

“Hiyahhh!” teriak Alan yang tengah sekuat tenaga menyekop salju.

Sudah empat puluh lima menit berlalu, namun yang mampu Alan bersihkan hanya sebagian kecil jalan saja. Padahal Ayahnya sudah mengeruk cukup banyak salju. Disitulah Ayahnya mulai memberikan ejekan seperti, “Mana yang katanya anak kuat—bukan, lelaki sejati?” untuk membuat anaknya sebal.

Yah, coba bayangkan andai seluruh jalan dibersihkan oleh Alan. Bisa sepuluh hari baru bersih semua.

“Hahaha… Alan payah,” tawa Elle dari balik jendela rumah mereka.

“Berisik kau!” Alan kesal.

“Alan payah dan bodoh.”

Sungguh. Sungguh Alan ingin melempar beberapa bola salju pada adiknya. Andai saja ia keluar rumah, bukannya di dalam.

“Ayo masuk. Ibu tadi membuat coklat panas untuk kalian,” ajak Ibu.

Elle dengan antusias berkata, “Hah, coklat? Aku mau. Aku mau dua gelas.”

“Tidak ada! Ibu sudah buatkan untuk kalian masing-masing satu.”

“Kalau begitu, berikan saja punya Alan padaku. Biarkan dia tak usah meminumnya.” Elle mengucapkan itu dengan entengnya. Ia tak peduli tatapan tajam yang diberkan kakaknya pada dirinya.

Saat semuanya Alan masuk ke dalam rumah agar suhu tubuh mereka tak rendah, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil nama Alan. Secara refleks Alan menengok ke arah sumber suara yang memanggil namanya itu.

“Ah, Jack,” ucap Alan dengan wajah gembira pada teman bermainnya itu.

“Hai,” sapa Jack pada Alan. Tak lupa ia juga mneyapa seluruh anggota rumah yang nampak dari pintu yang terbuka itu.

“Ayah, Ibu. Aku mau main dulu, boleh?” tanyanya penuh harap dan itu tak sia-sia, keduanya mengijinkan.

Mungkin Alan jenuh berada di rumah. Selama beberapa hari ia tak bertemu dan bermain dengan teman-temannya, jadi mungkin tak apa membiarkannya. Pikir salah satu orangtua Alan.

“Kalau begitu aku pergi dulu. Dah ayah, dah ibu, dah bocah bakpau.” Alan menjulurkan lidahnya setelah mengatai adiknya itu bakpau.

Tak tinggal diam, Elle berteriak, “Aku bukan bakpau!”

To be continued....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Black ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang