Bagian-4: Awal

108 8 0
                                    

"Nih, aku buatin bekal buat kak Abel," Zeline menyodorkan kotak nasi kepada Abel yang sibuk merias wajahnya.

"Ayamnya sudah digoreng dengan sempurna belum?" tanya Abel tanpa melirik Zeline yang berdiri disampingnya sedikitpun.

"Hmm," balas Zeline kesal.

"Oke keluar sana," perintah Abel yang membuat Zeline ingin sekali menendang kakaknya yang sangat menjengkelkan itu.

Zeline tersenyum masam dan menghela nafas berat. "Iya kakakku sayang," balasnya menuruti perintah kakaknya.

Belum sampai Zeline diambang pintu kamar kakaknya.Dia tiba-tiba memberhentikan langkahnya dan melirik kearah lemari kakaknya yang terbuka. Ia melihat kakaknya sekilas lalu dengan secepat kilat dia langsung menyeruput sweater merah muda milik kakaknya.

"Kak Abel, aku pinjam sweater ini ya."

Teriakan Zeline membuat wajah Abel berubah menjadi merah padam. Abel segera berdiri tegak dan menarik nafasnya dalam-dalam.

"ZELINE! KEMBALIKAN SWETERKU SEKARANG!" Abel berteriak dengan suara yang hampir mencapai 7 oktaf. Ia langsuung mengejar Zeline yang sudah lenyap dar hadapannya.

Zeline berlari menuruni anak tangga rumahnya, dengan kecepatan sangat tinggi ia langsung menuju ke arah dimana Keano sedang membantu Papanya menyiapkan sarapan pagi.

"Tolong selamatkan aku sekarang, adikku yang gantengnya bukan main," teriak Zeline berlindung dibelakang punggung Keano.

Keano langsung membentangkan kedua tangannya dan menyumputkan Zeline dibelakangnya. " Tidak ada yang bisa menyentuh kakak perempuanku yang baik ini," seru Keano dengan muka sok berani.

Abel berdecih dan menghampiri Keano dengan tatapan mematikan.

"Jangan ikut campur!" Abel menarik tangan Zeline yaang bersembunyi dibelakang Keano. Membuat tubuh Keano berbalik arah dan menampakan tubuh Zeline yang mungil.

Zeline menunduk ketakutan dan menggenggam sweater merah muda itu dengan erat. Ia menggigit bibir bawahnya, Zeline tidak berani menatap mata Abel yang mungkin sangat tajam sekarang.

"Kembalikan."

Zeline menggelengkan kepalanya.

"Satu," Abel mulai menghitung.

Zeline tetap menggelengkan kepalanya.

"Dua."

Dengan sigap Zeline menghampiri Papanya dan langsung bersembunyi dibalik tubuh pria paruh baya itu. Melihat Zeline ketakutan, pria itu mengangkat tangannya yang memberikan isyarat untuk Abel agar berhenti memarahi Zeline.

Abel mengerutkan dahinya dan memijit kepalanya sebentar, lalu tersenyum kearah Papanya. " Baiklah, sekali ini saja," lanjut Abel menatap Zeline lekat.

Zeline mengangguk mengerti dan berlari pergi.

"Pa, aku berangkat dah!" teriak Zeline tersenyum bahagia.

"Menyebalkan," bisik Abel kesal.

Papanya hanya tertawa kecil melihat tingkah anak-anaknya yang hampir setiap hari membuat rusuh itu. Pasti ada saja yang akan diributkan oleh mereka, dari hal kecil sampai hal yang tidak sama sekali masuk akal. Tapi hal itulah yang membuat dia tidak terasa hampa, setelah kepergian isterinya ia takut sekali tidak bisa menjalankan hidup dengan baik. Namun, dia berusaha untuk menjadi figur seorang Ayah yang berguna untuk anaknya. Bahkan dia rela membagi waktu kerjanya sebagai CEO disalah satu perusahan besar di kota ini untuk belajar menggantikan peran isterinya sebagai seorang Ibu.

KINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang