➖•eternity•➖Busan, 2008
Jeon Jeongguk memukul keras bola yang dilempar kearahnya. Telak membuat timnya mendapat tiga poin dan memenangkan pertandingan baseball minggu ini.
Pada permainan bola kecil lainnya, anak laki-laki itu bisa dibilang handal. Tapi ia tak pernah puas sekalipun. Ingin dirinya handal dalam bermain basket sebab sang pujaan hati penggila permainan bola besar itu. Tapi bahkan untuk memasukkan satu bola ke ring, Jeongguk butuh tujuh kali percobaan.
Jeongguk mengganti pakaiannya setelah ia nekat mandi di sekolah dengan modal sampo yang Taehyung bawa. Diantara anak laki-laki dikelasnya, Jeongguk memang peraih gelar bau badan wangi dan enak nomor satu.
Ia menarik training yang tersampir di pundak, membuntalnya lalu dimasukkan asal ke dalam tas. Kemudian seperti hari-hari biasa, ia akan menunggu pujaannya masuk kelas dan memandanginya sepanjang pelajaran.
➖•eternity•➖
Seoul, 2020
Seorang bocah sedang menyimak teve—ramalan cuaca, sore ini. Terlalu serius hingga kadang matanya terasa pedas karena ia tak berkedip lama. Biskuit bulatnya masih utuh digenggamannya yang mungil.
“Woojoo-ya, mundur sedikit nak. Tevenya akan lari jika kau melototinya seperti itu.”
Bocah enam tahun itu menarik mundur pantatnya. Menuruti sang ayah tanpa suara.
“Prakiraan cuaca hari ini, Seoul berpotensi memasuki musim hujan mulai besok dengan—”
“Ayah! Musim hujannya sudah tiba!”
Jeon Woojoo memekik terlewat girang. Pipi gembilnya memerah dengan sedikit remahan biskuit yang menempel. Ia berlari kecil menghampiri sang ayah yang berkutat di dapur.
“Ayah, ayah! Besok sudah hujan, aku akan ke stasiun menjemput ibu!”
Jeon Jeongguk menunduk demi melihat raut antusias anaknya. Ia lepas sarung tangannya lalu menyejajarkan tinggi.
“Joo-ya, ibu tidak akan pulang.”
Bibir Woojoo membusur ke bawah. Jeongguk sedikit tak tega melihatnya. Ia elus surai kecoklatan anaknya, lalu tersenyum simpul.
“Tapi dongengnya berkata seperti itu. Ibu beruang akan kembali saat hujan turun.”
Jeongguk tau, anaknya sudah lama mempercayai dongeng sebelum tidur yang satu itu. Dan Jeongguk juga tau semua alur ceritanya. Tapi Jeongguk bukan anak kecil, jadi Jeongguk tak mempercayainya.
“Itu hanya dongeng nak.”
“Tidak ayah. Besok aku akan tetap menjemput ibu. Kasihan kalau ibu sampai kehujanan.”
Woojoo kembali pada tekadnya, kembali ia pasang sorot keyakinan dan senyum manisnya. Satu langkah lalu ia berbalik.
“Kalau ayah tidak ikut tidak apa-apa. Ibu pasti tau kalau ayah sibuk mengurus rumah.”
Woojoo berusaha memberi sebelah kedipan—walau semua kelopaknya mengedip, pada Jeongguk yang masih berjongkok di atas lantai. Jeongguk menggeleng tak mengerti tapi tetap membiarkan anaknya melakukan apa yang menjadi keyakinannya.
.
.
.
Ini sudah jam pulang seorang Jeon Woojoo. Setelah menunggu satu jam di teras, Jeongguk tak menemui figur mungil anaknya. Padahal hari ini hujan belum turun, seharusnya Woojoo tak pergi ke stasiun.
Baskara turun sedikit menyimpan cahaya. Belum gelap, hanya saja angin sedikit menggigit saat Jeongguk mencoba mencari Woojoo ke sekolahnya. Nihil, maka sudah pasti bocah mungil itu pergi ke stasiun.
Keras kepala sekali.
Jeongguk menggeleng pelan sambil terus mengayuh sepeda melewati tanjakan.
“Jeon Woojoo! Kena kau.”
“Ayah!”
Jeongguk menggendongnya, suara tas Woojoo terdengar berbenturan. Mata Woojoo sayu, telinganya memerah.
“Joo-ya, kenapa pergi ke stasiun padahal tidak hujan?”
Jeongguk mengamati raut sedih anaknya. Mendekapnya sebentar agar Woojoo sedikit hangat.
“Woojoo pikir ibu sama rindunya dengan Woojoo. Makanya tidak usah menunggu hujan.”
Jeongguk menghela napas tak kentara. Mendudukkan Woojoo di kursi bonceng dan mulai mengayuh sepeda untuk pulang.
“Ibu rindu Woojoo kok. Tapi mungkin tidak bisa bertemu.”
Mereka sampai rumah. Woojoo membuka pagar dengan gerakan lesu. Tas punggungnya semakin terlihat berat. Bocah laki-laki itu melepas sepatu lalu segera masuk kamar.
Jeongguk menghela napas lagi. Tak habis pikir dengan Woojoo yang begitu mempercayai sebuah dongeng. Sejenak ia juga merasa sedih, ada sepercik—sedikit sekali, keinginan yang sama dengan Woojoo untuk bertemu kembali dengan sang istri.
Langit berkelip sekilas disusul suara gemuruh petir.
Srash
Hujannya turun begitu saja.
“Hujah, yah! Hujan! Kubilang 'kan, ibu juga rindu sekali denganku!”
Setengah mengabaikan sang ayah, dengan gerakan cepat ia mengambil mantel dan payung lalu memakai sepatu sandal miliknya.
“Woojoo! Mau kemana?!”
Sang ayah berlari mengekor anaknya yang sudah melompat girang di depan.
.
.
To be continue
Setelah hibernasi, setelah puas dengan cheesy, aku pengen buat drama yang agak melow:(
Visualnya Jeon Woojoo.
Hehe, dia Kang Chanhee dari SF9, versi kecil. Aku ga ngikutin bb nya, cuma sering liat doi dibanyak drama. Mukanya ada miripnya sama jeka, i think:')
Ini bapak jeka:')
jimpabo-
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity : A Limitless Time | kookmin
Fanfiction[COMPLETED] [ Family!, Drama! ] Dijebak antara ilusi dan kerinduan. Melihat bagaimana kemustahilan menjadi nyata kemudian membuatnya mundur --menyerukan keraguan. Tetapi hati itu sepenuhnya tau, sebab rasa hangat serupa senyum menyebar memberinya ke...