[iii] Terasa Seperti Rumah

951 175 21
                                    


➖•eternity•➖

“Oi Jeongguk!”

Pergantian pelajaran membuat isi kelas bernapas lega dan mulai bersuara. Taehyung mengetuk dua kali meja dibelakangnya. Menepati janji membangunkan si atlet jika sudah masuk pukul tiga.

“Jeongguk,”

Pada panggilan kedua, pemuda itu terbangun, menegakkan punggung sedikit kaget.

“Kau akan dipanggang Pelatih Hwang jika tak sampai dalam dua menit.”

Taehyung tertawa puas. Jeongguk melirik jam di atas papan tulis lalu membelalak tak tanggung. Padahal ia menyuruh Taehyung untuk membangunkannya sepuluh menit sebelum latihan.

“Taehyung sialan! Akan kupotong rambutmu hingga tak bersisa!”

Sementara dimeja depan, Park Jimin serius mengerjakan ujian susulannya.

➖•eternity•➖

Jimin selesai mengantar Woojoo ke sekolah. Karena berjalan kaki ia dan Woojoo harus bangun pagi-pagi. Belum genap seminggu, tetapi Jimin sudah nyaman dan akrab dengan Woojoo. Ia jadi semakin yakin tentang hubungannya dengan keluarga kecil ini.

“Jeongguk-ssi, apa kau punya buah selain pir?”

Jeongguk sedang kewalahan memperbaiki saluran air yang pampat. Lalu ia berpikir sejenak. Ia hanya punya buah pir, itu juga kalau Kwak Ahjumma memberinya satu plastik.

“Kurasa tidak.” Jeongguk menyahut lagi. “Apa kau sedang butuh sesuatu, Jimin-ssi?”

Aniyo, aku hanya berpikir membuatkan Woojoo sup buah.”

Jimin menggaruk pelipisnya. Meneliti setiap tatanan lemari pendingin milik Jeongguk. Isinya tak banyak, hanya telur, air mineral, sarden kaleng, brokoli, daun bawang, susu kotak, keju parut dan beberapa makanan basah.

“Mari kuantar ke swalayan.”

Jeongguk itu diam-diam sama antusiasnya dengan Jeon Woojoo.

Sepeda Jeongguk berwarna biru tua. Didepannya ada keranjang besi yang catnya sedikit mengelupas. Walau begitu, benda itu masih layak untuk ditumpangi dua orang dewasa.

“Jangan lupa pegangan diturunan depan kedai.”

Merasakan bagaimana lengan Jimin melingkar diperut serta pekikan kecil yang terdengar, Jeongguk menemukan lagi rasa senangnya. Jeongguk tau dimana letak debarannya.

“Menurutmu kita perlu membeli banyak susu, Jeongguk-ssi?”

“Hm?”

Mereka dalam jarak yang cukup dekat, Jimin bisa melihat tahi lalat dibawah bibir Jeongguk dengan jelas. Kemudian Jimin merasa hilang ditengah tatapan lelaki itu. Semburat merah jambu segera terlihat dipipi.

“Susu.”

“A-h, ya.”

Jeongguk mengalihkan atensi pada akuarium besar. Mengamati ikan yang meliuk-liuk diair.

“Menurutmu apa berlibur bersama terdengar bagus?”

➖•eternity•➖

Hari masih pagi tetapi hujan sudah turun dengan deras. Park Jimin menepuk sebentar celana seragamnya sebelum berangkat sekolah dan melawan deraian air sepanjang jalan.

Jalanan tentu menjadi basah dan becek. Jimin seperti diajak menari untuk melompat kesana kemari demi menghindari kubangan air. Ia tertawa juga lelah sendiri. Ah, tenaganya terkuras sedikit lebih banyak.

Jimin berbelok melewati jalan pintas menuju sekolah. Gang itu sempit, apalagi jika dilewati dua orang berpayung secara bersamaan. Jimin hendak berhenti saat siswa di depannya melakukannya duluan. Maka ia lanjutkan langkah sambil mengintip dibalik payung.

Pemuda itu menepi pada dinding setelah menurunkan payungnya. Jimin tau itu atlet sekolahnya—dari bordiran pada baju. Wajahnya tak asing. Lalu ada gemuruh didada Jimin, ia tersenyum samar.

Jimin mengenalnya, dia Jeongguk.

.

.

.

Pada hari-hari lainnya, dimana hari kelulusan akan tiba, Park Jimin membuat jalinan takdir berikutnya.

Masih segar diingatan, ketika ia dan Jeongguk dipasangkan untuk pelajaran menari. Ia malu, tapi tak bisa mengabaikan tugasnya sebagai panitia buku tahunan sekolah.

“J-jeongguk,” Jimin menghampiri saat Jeongguk ribut-ribut dengan Taehyung. “Hanya kau yang belum mengisi.”

Jimin menyodorkan buku besar itu. Melihat Jeongguk mengulas senyum dan mengeluarkan bolpoin dari saku seragam.

“Terima kasih.”

Itu lebih terlihat seperti merebut buku dari tangan Jeongguk. Jimin berbalik, melangkah cepat keluar kelas dan bersembunyi dibalik dinding. Jantungnya menggila.

Terimakasih untuk tiga tahun yang luar biasa, kkk.

Tertulis rapi dengan bolpoin Jeongguk yang tertinggal disela buku.

➖•eternity•➖

Woojoo menandaskan suapan terakhir. Tersenyum lebar pada Jimin yang telah membuat sup buah. Sambil menunggu ibunya selesai dengan cucian piring, bocah laki-laki itu menata beberapa buku tulis untuk sekolahnya besok.

“Ayo kita tidur bersama!”

Woojoo paling antusias. Tak menyadari bahwa Jimin sudah mengusap tengkuk sedangkan sang ayah menggaruk kecil hidungnya.

Kasur itu tidak terlalu besar, cukup untuk diisi tiga orang. Woojoo ditengah, rambutnya bergerak ditiup kipas angin. Jeongguk berkedip-kedip lama, tak tau tujuannya. Mungkin mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya mendaratkan lengan dibahu Jimin.

Telapak besarnya bergerak pelan mengelus bahu yang sempat menegang. Woojoo terkikik senang. Berpindah posisi ikut-ikutan memeluk pinggang ibunya.

“Kami sayang ibu. Tidak perlu pergi jauh lagi, ya.”

Jimin tersenyum haru. Sebuah pelukan selalu terasa seperti sambutan hangat. Hatinya bergemuruh—seperti saat itu, merasakan lagi rasanya pulang ke rumah.

.

.

.

To be continue

Semoga bisa buat nemenin kalian yang #dirumahaja

Stay safe yorobuuuun~

-jimpabo

Eternity : A Limitless Time | kookminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang