➖•eternity•➖Maniknya meneliti setiap bingkai foto yang dipasang hampir disepanjang jalur masuk setelah pintu depan. Rata-rata memuat foto dirinya, Jeongguk dan Woojoo. Pada barisan terakhir ia temukan dirinya dirangkul dan tersenyum hangat bersama Jeon Jeongguk. Hidungnya tiba-tiba berair.
Sayangnya, berapapun jajaran bingkai yamg dipasang, Jimin tetap tak menemukan lembar ingatannya.
➖•eternity•➖
Park Jimin telah bertekad, menemukan Jeon Jeongguk lalu mengembalikan bolpoin yang tertinggal dibuku kenangan. Butuh beberapa bulan hingga ia berani menelepon dan mengetahui universitas yang Jeongguk masuki.
Che, Park Jimin 'kan pemalu. Iya, malu tetapi tetap mengharapkan sekadar pertemuan biasa dengan Jeon Jeongguk.
“Jadi apa saya bisa bertemu Jeon Jeongguk?”
Jimin sudah merengut. Jauh-jauh dari Busan, mengapa harus berhadapan dan berdebat dengan paman penjaga begini.
“Bisa. Dari fakultas mana Jeon Jeonggukmu itu?”
Jimin mana tau!
“Baiklah saya akan kembali lagi besok!”
Jiminnya ngegas. Padahal tak sekalimatpun paman penjaga menyuruhnya angkat kaki. Hanya saja memang Jimin merasa bodoh, mencari orang tanpa tahu-menahu hal lainnya.
“Park Jimin?”
Dahi Jimin masih mengerut karena kesal. Ia berbalik pada suara yang terdengar asing.
“Kenapa?”
Pemuda itu tertawa. “Aku Jeon Jeongguk. Masih ingat?”
Kelopak Jimin membola bersama tarikan napas yang terdengar keras. Oke, wajah Jeongguk lumayan berubah hingga pemuda mungil itu tak menyadarinya.
.
.
.
Singkatnya, setelah kejadian pengembalian bolpoin itu, mereka jadi dekat. Apalagi semenjak keluarga Jimin pindah ke Seoul, bertemu Jeongguk sama mudahnya dengan memasak ramen kesukaan Jimin—maaf Park Jimin sedikit lapar.
Jeongguk kembali dari supermarket, membawakan Jimin sosis siap saji dan coklat batang. Mereka baru saja selesai menonton film dan sedang menunggu bis untuk pulang ke rumah.
“Tidakkah kau kedinginan, Jimin?”
Jimin menoleh sebentar lalu menggelang pelan. Masih terlalu malu untuk bercakap banyak dengan pemuda tinggi di sampingnya.
“Ah, baiklah.”
Jimin mengernyit mendengar helaan napas itu. Walau kurang jelas, tapi ia yakin ada sedikit kecewa terselip di sana. Ia melirik Jeongguk lalu menarik sudut bibir. Menemukan beberapa debaran pada bilik-bilk jantung.
Dalam diam, pemuda itu segera memasukkan tangannya ke saku jaket Jeon Jeongguk. Menahan senyum juga hangat yang menjalar dipipi.
Eh?
Jeongguk berkedip belum selesai mencerna. Ia lirik tangan mungil disakunya lalu pipi semu Park Jimin. Jeongguk segera berdecih senang, pipinya mengembang. Tunggu apalagi, sekejap tangannya ikut masuk ke saku, menggenggam tangan pujaannya dengan sedikit elusan ibu jari.
➖•eternity•➖
Walaupun Jeongguk mondar-mandir memindahkan barang di ruang tengah, Woojoo dan Jimin tak terganggu olehnya. Bocah enam tahun itu dengan nyaman berbaring menyamping sambil sang ibu membersihkan telinganya.
“Hm, jadi besok Woojoo ulang tahun?”
“Iya, aku mau ibu membuat sup rumput laut yang enak.”
Jimin tersenyum sambil mengiyakan dalam hati. Setengah fokus pada telinga Woojoo. Ah, Jimin rasa Jeon Woojoo masih begitu kecil. Pipinya masih merah gembil juga gigi-giginya yang kupak.
“Ayah, berhenti mondar-mandir. Kemari, telingamu juga harus bersih.”
Woojoo bangun dari pangkuan Jimin. Bersedekap, bergaya seperti sedang memarahi Jeongguk. Bibir merahnya mengerucut sedikit.
Jeongguk berhenti lalu menoleh. Saat hendak menolak, Woojoo sudah pasang muka garang. Menggeleng dua kali sambil meliriknya tajam. Terpaksa ia bawa langkahnya mendekat. Mengambil posisi semula Woojoo untuk berbaring dipangkuan Jimin.
“Tidak keberatan kan, Jimin-ssi?”
“A-hah, tidak apa Jeongguk-ssi.”
Jimin mengganti cotton bud-nya. Membawa anak rambut Jeongguk yang agak panjang ke belakang telinga. Gerakannya pelan sarat kecanggungan. Jeongguk berkedip-kedip dengan kepala menyamping.
“Aku serius tentang berlibur. Maksudku sekalian merayakan ulang tahun Woojoo.”
“Ah begitu,”
Jimin terlalu fokus, hanya menanggapi seadanya. Jeongguk semakin menelan ludah gugup.
“Itu ide bagus, Jeongguk-ssi. Kita akan pergi berlibur.”
Lalu bibir tipis Jeongguk mengurva manis.
.
.
.
Senyum lebar Jeon Woojoo belum luntur. Di musim ini senangnya seperti mendapat nilai bintang beruntun dari ibu guru. Tadi malam ia dan kedua orangtuanya—ayah ibu; lengkap, mengadakan pesta kecil nan hangat di rumah. Meniup lilin, memotong kue lalu berfoto bersama. Lalu saat pagi tiba, Woojoo menyadari bahwa ia tertidur dipelukan sang ibu.
“Nak, pakai sepatumu dengan benar.”
Sang ayah sudah bersiap. Ibunya masih sibuk mencari beberapa kantong plastik.
“Ayo bu! Jangan mau kalah dengan ayah!”
Mereka pergi menuju pantai. Woojoo berjalan diantara tubuh besar ayah ibunya. Menenteng tas punggung merah berisi handuk dan beberapa camilan. Setelah agak lama, bocah itu mengeluh pada ayahnya.
“Yah, capek. Gendong ya.”
Jeongguk menatap Woojoo lalu Jimin yang ikut berhenti. Ia tersenyum penuh arti.
“Oke, sinikan tasmu.”
Woojoo bersorak senang, memberikan tas kecilnya pada sang ayah. Jeongguk berkata lagi.
“Tenaga ayah sedang penuh. Jadi ayo Jimin-ssi! Naik juga ke punggungku!”
Senyum Jeongguk begitu lebar. Sekalipun punggungnya sudah dibebani seorang Jimin, lehernya juga dipeluk. Woojoo tak sabaran menggapai punggung ibunya.
“Angkat aku ibu! Aku juga ingin!”
Hup
Mereka seperti roti lapis. Jimin tertawa, Woojoo juga. Rasa bahagia Jeongguk tak bisa lebih dari ini. Kemudian Jeon Woojoo memulai perjalanan yang terhenti. Memeluk leher sang ibu sambil berteriak lantang.
“AYAH GO!”
.
.
.
To Be Continue
Pen nanges bayanginnya:(
jimpabo-
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity : A Limitless Time | kookmin
Fanfiction[COMPLETED] [ Family!, Drama! ] Dijebak antara ilusi dan kerinduan. Melihat bagaimana kemustahilan menjadi nyata kemudian membuatnya mundur --menyerukan keraguan. Tetapi hati itu sepenuhnya tau, sebab rasa hangat serupa senyum menyebar memberinya ke...