Chapter 4

720 33 0
                                    

Aku kini berada di mobil putih Johan. Mobil pilihanku. Aku masih ingat, saat dia mengitari mobil-mobil yang ada di showroom. Dia tidak datang dengan pilihannya. Alhasil, dia bingung sendiri melihat mobil yang akan dia beli. Dia bertanya padaku, mobil warna apa yang kusukai.

"Itu mobilmu, pilihlah sesuai seleramu."

"Tapi aku akan membawa kekasihku dengan mobil itu. Jadi, itu harus sesuai dengan kesukaan kekasihku." Ujarnya yang membuat senyumku mengambang.

"Aku suka putih. Terlihat berkelas. Dan itu menunjukkan kewibawaanmu."

"Baiklah, jika itu yang kekasihku inginkan."

Aku masih ingat semua itu. Dan dua tahun setelah membeli mobil itu, aku tak pernah lagi menaikinya lagi. Dan kali ini, untuk pertama kalinya setelah satu tahun. Setelah dia mencampakkanku tanpa alasan yang jelas.

Hubunganku dengannya berjalan tiga tahun saat itu. Sebulan setelah anniversary untuk hubungan ketiga tahun kami, dia memutuskanku. Aku tak tahu alasan jelasnya. Dia hanya bilang, tak mau menggangguku lagi. Dan terakhir, yang disebutnya di pesan whatsapp itu, "kita sudah tidak punya hubungan lagi sekarang!" Aku terus bertanya, tapi dia selalu menjawab, "seharusnya lu lebih paham alasannya daripada gw."

Aku tak pernah mempermasalahkannya. Jika dia ingin ini diakhiri, ya sudah. Meski aku harus menahan sakit di hati. Dadaku rasa dililit. Sakit tak karuan. Tapi aku harus terima.

Dan kini, setelah satu tahun dia tak pernah menghubungi dan bertemu, dia datang. Seperti tidak ada masalah sebelumnya. Seperti kami tidak pernah punya hubungan yang mesra. Seperti kami tidak pernah menghabiskan malam-malam di kamar, tanpa ada rasa ingin keluar. Bahkan saat ingin makan, kami memesan makanan untuk diantarkan ke kamar. Yap, itu saat libur ke Bali. Kami menghabiskan 3 hari di kamar tanpa ingin keluar. Setelah tiga hari, aku baru menyadari telah melewatkan waktu untuk mengelilingi Bali. Jika aku tidak menariknya untuk keluar hotel hari itu. Mungkin 7 hari, kami cuma berada di kamar hotel. Sepertinya dia tidak pernah ingat itu lagi.

Aku menarik nafas dan menghebuskannya keras saat mengingat itu.

"Ada apa?" Tanya Johan saat melihatku seperti itu.

"Tak ada apa-apa," jawabku sambil tersenyum kepadanya.

"Senyummu masih semanis dulu," ujarnya lagi.

Aku langsung berpaling darinya. Melihat keluar. Senyumku langsung menghilang.

"Kamu ingat, saat kita liburan dibali?" Tanya Johan.

Pandanganku langsung beralih padanya yang sedang menyetir. "Apakah dia sedang membaca pikiranku?" Bathinku. Aku baru saja mengingat hal itu dan tiba-tiba dia membahasnya.

"Kamu ingat? Jika saja kamu gak menarikku keluar hotel, mungkin kita bakal seminggu di kamar. Kita seperti lupa, menikmati bali waktu itu. Jika dipikir-pikir, kita seperti orang bodoh saja."

"Kenapa mesti mengingat masa lalu? Aku tidak pernah memikirkannya lagi." Tentu saja ini teramat bohong. Aku baru saja mengingatnya sebelum dia membahas itu.

Johan hanya terkekeh. Dia tertawa seakan-akan ada hal lucu yang benar-benar mengocok perutnya.

"Ada yang lucu?" Tanyaku

"Kamu. Kamu masih lucu seperti dulu, Damar."

Aku hanya diam. Tak ingin membahas ini lebih jauh. Dan dia pun akhirnya diam. Dia kini kembali fokus menyetir.

Aku yang sedari tadi mengarahkan pandangan ke luar, entah mengapa mengalihkan pandangan pada Johan. Dia masih sama, pikirku. Ya, kecuali rambutnya. Bahkan badannya makin terbentuk. Dadanya makin bidang, tercetak dibalik baju kaosnya yang ketat. Dan pastinya warna gelap. Kali ini dia menggunakan kaos dongker. Kontras dengan kulitnya yang putih. Otot lengannya pun kini makin kokoh menurutku. Mungkin dia semakin rajin ngegym setelah putus denganku.
Garis rahangnya yang tegas, itu membuatnya sangat tampan. Aku ingin dia menumbuhkan jambangnya, dulu. Agar dia makin tampak gagah. Tapi dia tak mau. Dia ingin wajahnya selalu bersih. Sampai sekarang, wajahnya memang bersih. Aku suka sekali mengelus pipinya yang bersih itu dulunya. Matanya kecoklatan, dibingkai dengan alis yg tebal. Bibirnya tebal, berwarna pink. Aku tak tahu kenapa bibirnya berwarna seperti itu. Padahal dia selalu merokok. Aku pikir, bibir perokok selalu hitam. Tapi, yang paling kusuka, ketika dia selesai merokok. Melumat bibirnya, yang ranum itu setelah merokok, kenikmatan tersendiri bagiku. Manis. Ditambah keliahaiannya memainkan lidahnya, membuatku semakin bergairah. Aku tertawa kecil mengingat itu.

"Ada apa lagi? Kamu menatapku, dan tertawa. Ada apa? Kau tajub melihat ketampananku?'

"Kamu terlalu percaya diri, honey"

"What?" Johan langsung mengarahkan pandangannya padaku.

"Maaf, salah ngomong." Aku berasa malu sekali dengan itu. Bagaimana bisa aku memanggilnya dengab sebutan itu lagi.

"Tak apa. Aku suka dengan panggilan itu," ujar Johan sambil melempar senyum kepadaku.

Sekarang, aku kembali diam. Aku tak ingin berkata apa-apa lagi. Aku takut salah ucap lagi.

Mobil terus melaju. Dan kami sampai di gedung tempat pertemuan. Aku turun terlebih dahulu. Dan berjalan ke dalam ruangan. Aku menjaga jarak dengan Johan. Takut ada yang melihat kami. Bagaimanapun, hubunganku dengan Johan sudah diketahui oleh teman-teman seprofesi dengan kami. Terutama lagi, Johan sangat terkenal. Koleganya sampai ke ibu kota. Artis-artis dan para istri pejabat, adalah clientnya. Aku akui, Johan salah seorang designer yg hebat di negeri ini. Bahkan aku, masih jauh dibawahnya. Dengan perawakannya yang tinggi dan wajahnya yang tampan, serta kepribadiannya yang baik, bukan hal aneh jika dia memiliki banyak kolega serta kenalan. Mungkin bagi sebagian orang, jika memikirkan seorang lelaki berprofesi sebagai fashion designer, pasti berpikiran pria ngondek. Tapi ini dipatahkan oleh Johan. Dia teramat maskulin jika dikatakan ngondek. Akupun seperti itu. Aku tak ingin terlihat seperti yang dibayangkan oleh orang-orang di luar sana, meski dengan badanku yang kecil ini.

Ah, badan kecil. Proporsi tubuhku jauh berbeda dengan Johan. Aku mungkin cuma setinggi telinganya saja. Meski aku sudah mencapai 170 cm, tapi aku masih setinggi itu jika disamping Johan. Tapi itulah yang disuka Johan. Badan kecilku ini, nyaman untuk dipeluk katanya. Mudah untuk digendong. Aku masih ingat dia selalu merunduk saat ingin menciumku. Bahkan dia terpaksa menggendongku, jika ingin menciumku. Itu teramat mesra bagiku.

Aku menggelengkan kepalaku. Aku kembali tersadar. Mengapa sedari tadi aku masih saja memikirkan hubungan lama yang telah berakhir. "Aku tak boleh memikirkan ini lagi," gumamku.

"Memikirkan apa?' Johan mengagetkanku. Dia berada tepat dibelakangku.

"Sejak kapan kamu di sini?" Tanyaku.

"Sedari tadi." Jawabnya singkat.
"Kamu mengikutiku, Johan".

"Ayolah damar. Kita pergi bersama dengan tujuan yang sama. Bagaimana itu bisa disebut mengikuti?"

Aku hanya diam, menarik nafas dalam dan membuangnya secara kasar.

"Hai, kalian udah balikan?" Itu suara Oki. Aku tau pasti dan benar, dia menghampiri kami. Dia salah satu designer perempuan yang saat ini sedang naik daun. Dan, benar seperti yang kubilang. Orang-orang mengetahui hubungan kami. Padahal, aku tak pernah cerita apa-apa pada Oki.

"Beneran kalian balikan?" Tanya Oki lagi memastikan.

Tiba-tiba Johan menarikku ke dalam pelukannya. Dan melempar senyum pada Oki. Entah apa maksudnya.

Muse: Design, Love & CatwalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang