02 || We Stay the Same

726 118 14
                                    

"You know, I
I'm afraid of change
Guess that's why
We stay the same,"

.
|
,

Malam akan diterjang subuh. Langit masih gelap dengan lampu-lampu yang juga belum padam. Suara serangga malam masih terdengar—walau jarang. Tidak ada alasan bagi Mark untuk terbangun dari tidurnya, karena kenyataannya ia tidak tertidur sepanjang malam ini.

Tubuhnya masih di atas kasur dan terlindung selimut—dari ujung kaki hingga ujung rambut. Di dalam sana matanya terpejam menunjukkan kedamaian. Siapa sangka hatinya masih diterjang badai. Pikirannya kalut. Tidak banyak yang bisa hinggap dalam benaknya selain Lucas.

Padahal baru kemarin lusa peristiwa itu terjadi, tapi waktu serasa berjalan makin lambat. Entah kenapa bagi Mark rasanya sudah seperti seminggu penuh—dengan rasa sakit yang tak kian sembuh.

Mark mendudukkan dirinya di tengah ranjang. Kepalanya berpaling dari satu sisi ke sisi yang lain, memandangi kamarnya dengan tatapan kosong.

Kosong; setiap dinding dan sudut ruang, tatapannya, begitu pula hatinya. Kini ia mempertanyakan sehampa inikah hidup yang perlu dijalani. Kepalanya tertunduk dan suara isakan sendu dapat terdengar samar.

Ada sejuta alasan bagi Mark untuk mendapatkan yang lebih baik. Ada sejuta alasan bagi Mark untuk merasakan kebahagiaan. Ada sejuta alasan bagi Mark untuk mengakhiri hubungan ini. Ada sejuta alasan bagi Mark untuk meninggalkan Lucas.

Ada alasan bagi Mark untuk tetap bertahan; cinta dan rasa takut akan kehilangan.

Kalau dipikir-pikir, bodoh sekali seorang Mark hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Mengapa ia hanya diam dan menerima semua ini sangatlah kelabu, karena ia sendiri juga tidak tahu pasti mengapa. Kalau saja itu orang lain, pasti mereka akan memberontak, melawan, dan mencoba untuk memulai kisah baru.

"Apa yang Mark Lee pikirkan?"

Sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak tiap-tiap orang yang mengenalnya. Namun akhir-akhir ini jadi pertanyaan dalam pikirannya sendiri.

.

Pemuda bermarga Lee itu sekarang sudah duduk di sebuah sofa sambil menonton tv. Bukan di rumahnya sendiri, melainkan di ruang tengah rumah Jaemin. Tidak salah jika ia mencari hiburan dan suasana baru. Mengurung diri di rumahnya sendiri pasti terasa sesak dan membuatnya bosan. Bertemu dengan teman mungkin bisa dicoba agar tidak merasa bingung harus melakukan apa di rumah.

Mark duduk dengan kaki bersila tepat di tengah-tengah sofa panjang berwarna maroon kala memeluk cushion berwarna senada. Jaemin bersila di lantai dengan alas karpet rasfur sambil mengunyah makanan ringan. Pengelihatan mereka terfokuskan pada layar yang menampilkan adegan laga.

"Tidak berangkat kerja?" tanya Mark.

"Nanti saja," matanya masih fokus dengan scene baku hantam. Orang yang duduk di atas kemudian mengambil remote dan menekan tombol berwanra merah membuat layar tv berubah hitam. "Aaah!" teriak yang di bawah, "pengkhianatan macam apa ini?" lanjutnya seraya memalingkan pandangannya menuju sang pelaku.

"Kenapa lagi?" Jaemin mendapati Mark membenamkan wajahnya pada cushion yang sedari tadi ada di pangkuannya. Ia kemudian berdiri tepat di depan Mark. "Masih sedih?"

"Hmm," sahutan suara yang tertahan bantal sofa.

"Sampai kapan mau begini?" tanya Jaemin yang kemudian tidak mendapat jawaban, meski dalam hati sebenarnya dia juga sudah tahu.

Sampai kapanpun Mark tidak akan bisa berubah; dalam kutip, jika dia tidak mau untuk memulainya.

Ponsel Mark berdering keras. Kedua lelaki itu terdiam sejenak lalu menoleh pada sumber suara. Jelas terlihat sebuah panggilan mencoba masuk.

JULYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang