03 || Tell Me to Leave

639 97 24
                                    

"So tell me to leave
I'll pack my bags get on the road
Find someone that loves you
Better than I do, darling, I know."

.
|
,

Lucas bisa mendengar dengan jelas kata-kata yang Mark ucapkan.

"Aku ingin jadi artis rekaman dan menyanyikan laguku sendiri."

Ia juga bisa melihat bagaimana cerahnya wajah Mark kala mengungkapkan impian itu. Bagaimana rasanya ketika ia memandang wajah mungil yang merona itu. Bagaimana salju ikut turun untuk pertama kalinya di malam bulan Desember.

"Bagaimana denganmu?" singgung Mark. "Mimpimu sudah terkabul 'kan, Penulis Wong?"

Lucas tertawa lepas mendengar pertanyaan dari kekasihnya itu. Wajahnya ikut memerah, tersipu malu sebelum menyanggah, "Apa maksudmu? Aku bukan penulis yang seperti itu!"

"Loh, bukannya kamu mulai bekerja minggu depan?" Raut muka Mark menampilkan kebingungan.

"Betul."

"Jadi benar! Mimpimu sudah terwujud!" ucap Mark dengan semangat.

"Ah, belum. Mimpiku ingin jadi penulis buku, bukan screenwriter yang seperti itu," sesal Lucas.

"Hei! Setidaknya kamu sudah bekerja. Mungkin mimpimu yang sebenarnya bisa dicicil dari sini," hibur Mark guna membangkitkan semangatnya. "Ah, bukankah artinya kamu akan jadi lebih sibuk?"

Lucas mengangguk tanda setuju. "Tapi sepertinya tidak sesibuk yang dibayangkan," katanya.

"Rasanya jadi iri," sahut Mark lirih. Kedua telapak tangannya dimasukkan dalam-dalam ke kantung hoodie tipisnya. Pandangannya berpaling ke bawah, menatap aspal kelabu yang dihiasi corak putih selagi kakinya melangkah dengan cepat.

"Jangan pesimis begitu," sela lelaki yang sedari tadi ikut berjalan di sampingnya. "Aku yakin mimpimu juga akan segera terwujud." Yang Lucas lihat, Mark hanya tersenyum mendengar motivasi darinya. Mungkin memang benar, kata-kata biasa yang sering kita dengar bisa jadi lebih spesial saat diucapkan oleh orang yang disayang.

"Ah, seharusnya aku pakai baju tiga lapis tadi," gerutu yang lebih kecil sambil mengedikkan bahu. Sungguh, tubuhnya kedinginan sampai menggigil. Sesekali tangannya bergerak cepat guna mengusir lapisan es tipis yang tersangkut di surai kecoklatan miliknya. Sekarang yang ada dalam pikirannya hanya ingin segera sampai rumah dan menyalakan penghangat. 

Lucas mengubah tempo langkah kakinya sejenak, membiarkan si bayi singa berjalan di depannya. "Sini," katanya. Kedua lengan panjang itu dibentangkan, lalu dengan erat dilingkarkan mengelilingi leher beku Mark dari belakang.

Hangat.

"Luke, aku kesulitan berjalan." Langkah yang di depan berhenti, maka yang belakang mengikuti.

"Tapi kamu suka?" Si kecil hanya mengangguk. "Ayo! Jalan!" perintah yang lebih besar dengan riang.

"Kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan." Dua pasang kaki itu bergerak seirama aba-aba yang dikomandokan. Dari jalanan yang semula lebar, sampai ke gang sempit, dan tiap-tiap tikungan mereka lewati bersama sampai di kediaman sewaan si Lee.

Di dalamnya masih dingin karena heater baru dinyalakan. Sedari sore rumah sudah ditinggal kosong oleh penghuninya untuk makan angin bersama si pacar. Tak ada yang mengira suhu udara akan turun melewati titik beku celsius malam ini.

Keduanya masih saling berbagi panas tubuh. Bedanya, sekarang dengan bantuan selimut dalam kamar. Mereka berpelukan dalam sunyi. Sepi. Yang bisa ditangkap telinga hanya suara hembusan angin dengan rintikan salju yang sesekali mengetuk kaca jendela.

JULYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang