A Wound that Last Forever

22 1 0
                                    



Langit malam tampak memerah. Bulan terselimuti kepulan asap hitam. Orang-orang kalang kabut berusaha menyelamatkan diri dari jilatan api yang terus membara. Si jago merah mengungkung hampir seluruh ibukota Eruditio, kota teknologi modern itu sejak siang hari tadi. Dalang dibalik peristiwa pembakaran dan pengeboman kota yang terjadi 6 bulan belakangan belum juga diketahui. Bahkan S.A.B.E.R squad yang sudah diterjunkan ke lapangan pun belum mampu menemukan titik terang kasus berapi ini. Orang-orang terus bertanya kemana perginya pemimpin pertahanan kota Eruditio. Dia seolah hilang ditelan bumi. Hilang tanpa kabar begitu saja. Sudah hapir seminggu belum ada kabar pasti dimana sang pimpinan berada. Belasan truk pemadam kebakaran yang dikerahkan tak kunjung menyurutkan lautan api.

Sementara itu, di sebuah ruangan bawah tanah yang dindingnya terbuat dari besi-besi berkarat, seseorang berbaju besi tengah berbicara dengan antusias.

"Dasar bodoh." Sosok itu membenarkan helaian rambutnya yang turun menutupi matanya sambil bergaya. "Khehehee... kau tau B? Tidak ada yang lebih nikmat daripada balas dendam yang disajikan panas-panas, sangat panas sampai berapi. Hahaaa." Sosok yang diajaknya bicara hanya diam.

"Kau tau? Aku punya alasan tersendiri untuk melakukan ini, lebih hebat dari alasan klasik melankolismu! Cih, kau dan aku tidak sama, tidak akan pernah. Aku jijik disama samakan denganmu, cuih."

Laki-laki lawan bicaranya itu masih tetap diam, "Heh! Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa aku lebih sempurna darimu?! Beraninya kau mengabaikanku!" Kipas yang terpasang di dada pria itu berputar lebih kencang, mencegah overheat akibat emosi penggunanya yang melonjak. Setelah mengatur nafas dan emosinya kembali, laki-laki itu melanjutkan perkataannya, "Kau mau dengar alasanku, dan juga masa laluku yang menyedihkan?" ia menopang dahu menggunakan tangan robotnya, menunggu respon dari si lawan bicara. Seringai menyeramkan tak terlepas dari wajahnya.

"Aih? Diam saja? Baiklah, kuanggap diam itu sebagai iya. Mari kita dengarkan, kisah 'si anak malang' ini."


**** 

flashback

Eruditio, kota futuristik dengan aneka gadget dan teknologi tercanggih. Negeri para penemu julukan lainnya. Semua impianmu menjadi mungkin disini. Setidaknya, begitulah yang dikatakan oleh para pengembara dan yang tertulis di brosur-brosur promosi. Kota ini didominasi oleh para manusia, cyborg, dan robot. Sebuah simbol kecerdasan intelektual tertinggi ras manusia.

Seorang pemuda berambut biru terlihat tergesa merapihkan barangnya dan memasukkannya cepat-cepat ke dalam tas. Ia berencana menemui seseorang hari ini.

"Nak makan dulu, nanti kamu sakit kalau telat makan." Teriak ibunya dari dapur. Anak itu terlalu bersemangat hingga melupakan sarapannya.

"Baik bu, sebentar." Si rambut biru menyampirkan tas lusuhnya ke pundak kanan. Ia menghela nafas. Mengamati sekeliling kamarnya yang penuh tempelan poster tentang Eruditio, cetak biru, sketsa gadget, dan juga poster lomba inovasi teknologi. Pemuda itu bergegas menuju dapur setelah menutup pintu kamarnya.

"Hari ini ibu masak apa?" Tanyanya sambil duduk di kursi.

Ibunya yang sedang mengembalikan peralatan masak ke tempatnya tersenyum lalu menjawab, "Kesukaanmu sayangku, grilled chicken fillet with melted mozza cheese and fries."

Si rambut biru seketika terdiam. Ditelannya kembali ludah yang hampir menetes keluar. "Tapi bu, bagaimana dengan-"

Ucapannya dipotong oleh ibunya yang kini mengelus bahunya. "Sshhh, tidak apa. Uang kita masih cukup. Lagipula ayam ini pemberian paman Frans. Dia membagikan ayam dari peternakannya ke penduduk desa karena harga jualnya anjlok di pasaran. Makanlah sekarang, keburu kejunya dingin jadi al-"

Mobile Legends : Heroes ChronicleWhere stories live. Discover now