😀

66 1 0
                                        


"Alin, malam minggu kita berdua nginep di rumah lo, ya ...," kata Dira sambil ngunyah permen karet dalam mulutnya.

Sekarang aku lagi duduk bersama kedua sahabatku di sebuah meja yang ada di kantin.

"Iya, Lin. Kangen juga nih sama masakkan Nenek lo," tambah Karin.

Aku langgsung menggeleng. "Enggak bisa. Kami ada acara pas malam minggu nanti." Aku berkilat seperti itu. Sebenarnya aku lagi berbohong. Kan aku udah enggak tinggal di rumah Nenek. Masa iya aku bawa mereka berdua nginep di apartemen bareng Bagas. Ketauan dong nanti rahasia kami berdua.

"Ooh, ya udah deh. Lain kali aja. Lo liburan sebulan ke mana sih? Kok susah dihubungi gitu." Karin mengerutkan dahinya.

"Sebenarnya, Kakek gue meninggal sebulan yang lalu. Kalian taukan kalau Kakek gue emang udah sakit dari dulu. Cuma sebulan yang lalu udah parah banget."

Dira memasang wajah terkejut. Mungkin dia kaget kenapa baru tahu sekarang. "Lah, lo kok enggak bilang sih?"

"Gue cuma enggak mau ganggu waktu liburan kalian."

"Apaan si lo, Njirr. Gila lo yaa enggak kasih tau kita. Kitakan sahabat lo. Harusnya lo hubungin kitalah." Dira meninggikan suaranya sampai beberapa orang yang di dekat kami menoleh. Dira orangnya memang agak blak-blakkan dan rada tomboy gitu.

"Iya, nih. Astaga turut berduka cita ya, Lin. Gue sedih juga loh. Padahal Kakek lo baik banget sama gue."  Karin yang memang paling childish di antara kami bertiga. Orangnya gampang baperan gitu. Nah buktinya habis ngomong begitu dia langsung meluk aku sekarang.

"Udahlah, enggak apa-apa. Gue juga udah ikhlas kok."

"Tapi Lin. Kalau ada masalah cerita sama kita berdua. Jangan cuma dipendam sendirian. Heran gue, suka banget sih lo nyakitin diri sendiri." Dira sedikit kesal, tapi kelihatan kalau dia juga enggak tega mau marah.

"Iya deh, nanti kalau ada apa-apa gue bilang langsung sama kalian berdua. Rin lepasin gue dong. Udah dilihatin banyak orang ini." Karin langsung melepaskan pelukkannya sambil cengengesan.

"Eh, si Bagas ke kantin, guys. Tumben banget ya," kata Karin dengan semangat. Dia ini salah satu orang yang ngefans banget sama Bagas. Apa-apa selalu ngomongin tentang Bagas.

"Kayaknya mereka berdua memang pacaran ya?" tanyaku saat melihat Bagas berjalan beriringan dengan Elsa teman satu kelasnya.

"Enggak papalah. Gue rela kok Bagas pacaran sama Elsa. Secara mereka itu memang udah cocok. Bayangin aja, dimana ada Bagas di situ ada Elsa. Bagas ketua osis, si Elsa wakilnya. Bagas masuk organisasi pecinta alam disitu ada Elsa. Bagas bimbel matematika, Elsa juga ikut bimel matematika. Jadi ya udah mending pacaran aja. Gue sendiri ridho kok kalau mereka jadian. Malah kalau mereka jadian bisa jadi perfect couple."

Aku menghela napas mendengar penuturan Karin. Rasanya terganggu kalau Bagas dibilang cocok sama oranglain. Padahalkan yang pasangan aslinya aku.

"Kok lo tumben nanya tentang Bagas? Kenapa mau daftar jafi fansnya juga kayak si Karin?"

"Eh, enggak kok. Gue cuma penasaran gitu aja. Enggak ada yang spesial."

"Enggak usahlah suka sama si Bagas. Gimana ya, memang dasar sifat orang pintar. Dekatnya cuma sama yang pintar juga. Terus rada sombong gitu juga. Mana pernah dia berbaur sama orang kayak kita. Temennya mah enggak jauh dari anak IPA 1 aja. IPA 5 kayak kita enggak mungkin dilirik sama dia."

Aku tersenyum miris. Memang benat kata  Dira, aku rasa juga begitu. Bagas memamg radah sombong. Sebulan ini aku juga rasain yang sama.

"Gue enggak suka kok."

"Gue juga enggak suka. Cuma ngefans," balas Karin kekeuh.

"Kak, boleh gantian enggak duduknya. Kelihatannya Kakak semua udah selesai makannya."

Aku terkejut saat Elsa mendatangi meja kami. Aku juga langsung melihat keseliling. Memang meja kantin lagi penuh. Sebelum akhirnya aku berakhir menatap Bagas yang berada  bersama Elsa dan beberapa teman sekelasnya.

Saat bersamaan Bagas melihat ke arahku juga dan aku langsung refleks menoleh ke arah teman-temanku.

"Gimana yaa. Kami bertiga masih mau duduk di sini." Dira langsung menolak.

"Udahlah kita pergi aja. Gue juga udah pingin balik, kok."

"Udah, Sa. Kita makan ke kelas aja." Bagas akhirnya mengeluarkan suara.

"Eh, enggak usah. Kami bertiga aja yang pergi. Kita memang mau balik ke kelas." Karin tersenyum meyakinkan.

"Loh kok gitu," jawab Dira.

"Udah ayokk!! Karin langsung menarik tangan kami berdua.

"Makasih ya, Kak," ucap Elsa lembut.

Kami pun langsung pergi dari tempat itu membiarkan Dira yang masih cemberut.

"Harusnya kita enggak usah ngalah. Kebiasaan deh kalian, suka banget diinjek-injek sama orang kayak mereka."

"Udah enggak usah diperpanjang. Daripada jadi masalah," kata Karin.

"Iya sama lo enggak masalah. Lagian gue itu enggak suka lihat si Elsa tadi. So ngalus lagi kalau ngomong. Jelas banget kalau dibuat-buat. Ciri-ciri orang yang muna ya kayak dia. Sok jaim di depan umum biar semua orang pada suka sama dia. Ya, kan Lin."

"Iya, gue juga mikir yang sama." Entah kenapa sekarang aku jadi kesal sama Elsa.

"Ish enggak boleh gitu. Dia orangnya emang gitu dari dulu. Gue kan satu sekolah sama dia dari SMP. Enggak boleh jadi orang iri!" ketus Karin.

Iri? Mungkin enggak aku iri karena Bagas dekat sama Elsa yang kalau dilihat dari sisi manapun jauh lebih baik daripada aku.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Young MerriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang