Kadang aku masih bingung. Kenapa ya cat di kamar aku itu warnanya putih? Padahalkan kemarin watnanya itu biru langit. Terus kenapa kamarku ada dua kasur, dua lemari, dua meja belajar? Kenapa?! Kenapa?!
Aah sial banget!!!! Aku lupa kalau aku udah nikah sama cowok yang enggak sayang sama aku. Cowok yang sifatnya kebalikkan dari aku. Cowok yang enggak pernah aku bayangin dekat sama aku. Cowok yang ...
Kreeett
Pintu kamar mandi terbuka secara perlahan dan aku spontan langsung duduk di atas kasur. Aku rapikan rambutku yang masih berantakkan khas bangun tidur, terus aku tarik selimut untuk mengelap wajahku yang rasanya radah berminyak. Belum lagi masih ada kotoran di mataku, belek namanya. Semuanya aku lakuin secapat kilat. Intinya aku itu sebenarnya masih malu kalau tampil jelek banget di depan dia. Emang sih jelek tapi tetap aja harus jaga image di depan cowok yang udah sebulan ini jadi suamiku. Astaga mikirin dia itu suamiku aja rasanya masih belum percaya.
Dia keluar dengan celana abu-abunya. Tapi dia enggak pakai atasan, cuma ada handuk yang bertengger di lehernya. Nah itu, kadang aku ngerasa aneh kalau lihat dia. Kenapa enggak sekalian aja pakai bajunya di kamar mandi. Apa dia mau pamer karena badannya bagus?
"Kita enggak perlu pergi barengan, kan?" tanya Bagas sambil mengancingi baju.
"Eh, enggak usah. Aku punya motor, kok." Aku menjawb pertanyaan dia yang mendadak dan sekaligus menjadi percakapan pertama kami di hari pertama sekolah setelah libur sebulan ini.
Aku sama Bagas sekarang udah resmi jadi anak kelas dua belas. Libur sebulan setelah penerimaan rapor dan lebaran. Tahu-tahu aku udah nikah. Kan, aneh.
Mungkin kalian bingung kenapa kami bisa menikah. Sebenarnya sebulan yang lalu, Kakekku meninggal. Ya begitu, sebelum meninggal dia ingin cucu perempuannya menikah dan ada yang menjaga. Padahalkan masih ada Nenek. Nenekku masih kuat untuk menjaga aku sebenarnya. Tapi saat seseorang sudah memberikan wasiat tidak ada yang bisa membantah. Nah, plot twistnya itu. Mana aku tahu kalau Kakek mau nikahin aku sama cowok yang kini lagi sibuk memasukkan buku yang disusunnya semalam ke dalam tas. Mana aku tau kalau Kakekku bersahabat dengan Kakek Bagas. Lalu mana aku tau kalau Kakeknya Bagas langsung bilang 'Ok' dengan santainya. Mana aku tau kalau besoknya aku udah jadi istri orang.
"Gini, Lin. Gue tau apa yang lagi lo pikirin." Cowok itu berjalan ke arah ranjangku. "Gue tahu lo masih ngerasa aneh, terus juga risih. Tapi lo harus percaya, suatu saat nanti saat gue sedikit lebih dewasa lagi. Gue bakal hancurin semua ikatan ini."
Aku memang risih sama situasi ini. Tapi entah kenapa ucapan Bagas barusan lebih menakutkan dari rasa risih yang aku rasain. Aku ngerti sih, di sini pihak yang paling banyak dirugikan ya Bagas.
"Jangan sampai orang luar tahu hubungan kita, Lin. Masa masih SMA udah nikah, kan aneh. Apalagi kita satu sekolah."
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Iya. Pasti itu. Aku jamin aku enggak akan sok kenal sama kamu."
"Iya. Makasih ya."
Setelah itu Bagas langsung keluar dari kamar dan aku masih diam. Mengumpulkan energi, karena pura-pura bahagia juga butuh kekuatan yang sangat banyak.
Wajar jika Bagas bilang gitu. Dia anak baik, dia juga juara umum jurusan IPA, dan dia juga terkenal di sekolah. Akan sangat aneh rasanya kalau kami malah pacaran bahkan menikah. Bahkan kalau bukan karena karena peristiwa sebulan yang lalu, aku yakin Bagas enggak ngeh kalau ada manusia sejenis Alinra di sekolahnya. TITIK!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Young Merried
Fiksi RemajaPernah kepikiran akan menikah di usia 17 tahun? Alinra hanya seorang gadis SMA biasa, hidupnya monoton. Dia bukan siswi tenar di sekolah yang terkenal pintar atau cantik. Dia juga bukan tipe yang suka tebar pesona untuk mendapatkan cinta sang ice b...