4. Mang Dana sang orang pinter?

7 1 0
                                    

Ibu memang tidak salah, Mang Dana memang pantas di panggil sebagai orang pintar. Bukan karena penampilannya yang sering memakai pangsi dengan sebuah kain batik yang melingkar di dahinya tapi karena tingkahnya yang memang sedikit unik. Bahkan saat Rega datang, Mang Dana sudah menunggunya dengan secangkir kopi hitam sambil tersenyum di tengah ruangan sempit. Ia bilang, penjaganya sudah memberi tahu soal kedatangan Rega lebih dari sepuluh menit yang lalu.

Rega yang memang tak pernah akur dengan hal-hal seperti itu, tentu saja langsung berjengit kaget. Tak apa jika penjaganya hanya seorang manusia biasa sepertinya, melainkan sosok harimau besar tak kasat mata yang Mang Dana bilang merupakan leluhurnya.  Apalagi dengan patung kayu kecil berbentuk, entahlah seperti berasal dari kebudayaan Papua yang terpajang di atas tulisan besar berwarna merah 'MESIN CUCI ANDA NGADAT PANGGIL MANG DANA'. Ada juga tumpukan barang-barang elektronik yang sepertinya tengah di perbaiki di setiap sudut ruangan sempit yang hanya bisa menampung dua kursi kayu dan meja kecil, yang digunakan Mang Dana untuk menyambut pelanggannya.

"Ini mah ngadat gara-gara gak di pake enam tahun," Mang Dana memangku komputer Rega dengan lembut, bagai menggendong seorang bayi yang jika salah sedikit saja maka akan menyakiti tulangnya yang rawan.

Rega mengerutkan keningnya, darimana dia tahu kalau Rega tak pernah menggunakannya selama ini. Ibu bilang Mang Dana baru satu tahun menetap di sini, sama sekali tidak tahu menahu tentang kepergiannya, atau apa mungkin gosip tentangnya tak pernah padam selama enam tahun ini?

Melihat Rega keheranan Mang Dana justru tertawa, menampilkan deretan giginya yang sedikit menguning. Jarinya yang di penuhi batu akik mengusap kumisnya yang jarang, menatap Rega dari atas ke bawah. "Jangan kaget gitu atuh Kang, semua benda itu pasti ada nyawanya, amang langsung bisa berkomunikasi waktu akang bawa komputernya kesini. Dia bilang, udah lama akang gak pernah nyentuh dia lagi, makanya ngambek."

"Dia, mang?" Rega menunjuk komputernya dengan ngeri.

"Iya dia," Mang Dana menunjuk komputer di pelukannya, kemudian mengangguk seakan menyetujui sesuatu, "untung aja Bu Yuli sering bersihin dia, kalau enggak mah sekarat dia," katanya lalu terbahak seakan baru mendengar hal yang lucu.

Mencoba berpikir positif sesuai pemikiran orang-orang modern, Rega melemaskan bahunya yang tegang. Berusaha menyamankan dirinya walau Rega yakin patung-patung itu seperti tengah memperhatikannya. Sialan, bulu kuduknya meremang. "Mang, Ibu suka cerita soal saya ya?"

Mang Dana menggeleng. "Suka, sering malah Kang. Bu Yuli bilang punya anak laki-laki yang lagi pergi mengejar cita-cita, tapi nanti juga pasti pulang. Makanya Bu Yuli sering bersihin kamarnya, katanya supaya kalau Akang pulang bisa langsung istirahat."

Rega terhenyak, ternyata Ibu benar-benar yakin kalau suatu hari ia akan kembali. Memikirkannya membuat Rega sesak, bagaimana jika ia tidak mengambil keputusan untuk kembali? Apa Ibu masih tetap berharap? Dan ngomong-ngomong, kenapa Mang Dana menggeleng tadi?

Seakan mengetahui pikiran Rega, Mang Dana meletakkan komputer di pelukannya lalu menepuk bahu Rega sedikit keras. Namun senyuman di wajah berkeringatnya masih tetap mengembang. "Kalau kata Amang mah, akang sebaiknya jangan ambil keputusan yang salah lagi. Cukup sekali, kalau akang sekali lagi salah akang bakalan menyesal seumur hidup. Hati-hati kang."

Rega mengangguk, membuat tekad baru dalam hatinya. Ia tidak boleh mengecewakan siapapun lagi kali ini, bukan hanya orang lain tapi dirinya sendiri. Sebenernya Rega cukup lelah atas kesehariannya selama ini, apa yang ia lalui dan apa yang ia rasakan selama enam tahun ini, Rega sudah cukup merasakannya.

Biarkan Rega melepas semua itu untuk sejenak.

Mang Dana baru selesai memperbaiki komputernya keesokkan harinya, saat Rega tengah memotret deretan kayu bekas di samping pagar rumah, mang Dana datang dengan motor berisiknya yang langsung mendapat sambutan hangat dari Ibu. Dan Ibu juga seperti memuja mang Dana, bukan dalam konteks yang lain tapi sejak dulu Ibu selalu mengapresiasi siapapun yang memiliki keahlian. Tentu saja mang Dana juga termasuk.

Tapi bukan itu yang membuat Rega heran, tapi tepat sebelum mang Dana pergi dari halaman rumahnya laki-laki itu tiba-tiba memasang wajah serius. Sedikit melirik Ibu yang tengah membereskan gelas kopi di ruang tamu, mang Dana mendekatkan kepalanya ke telinga Rega, berbisik.

"Coba cek komputer akang, saran amang buka amplopnya dan akang akan liat apa yang jadi takdir akang."

Rega mengerutkan keningnya, "takdir?" Bisiknya mengikuti mang Dana.

Mang Dana langsung memundurkan kepalanya, tersenyum sedikit jenaka. "Itu kata penjaga amang."

Oke, Rega sontak melompat mundur yang di balas dengan tawa keras mang Dana sebelum menyalakan mesin motornya dan berlalu. Rega menggelengkan kepalanya, kembali memfokuskan lensa kameranya.

***

Rega menyalakan komputernya, kali ini dengan lancar, entah apa yang terjadi padanya tapi Rega tetap mengikuti saran aneh mang Dana untuk membuka amplop. Rega tak mengerti sebenarnya, tapi ia hanya dapat menyimpulkan bahwa amplop yang di maksud mang Dana mengacu pada email. Ya itu satu-satunya logika yang bisa ia pikirkan.

Rega tersenyum saat barisan gamenya memenuhi monitor, mengingatkannya pada masa remajanya yang sedikit nakal. Selain menyukai photography Rega juga suka bermain game, bahkan ia mampu menghabiskan waktu dua belas jam untuk duduk nyaman di depan komputernya, tentu saja jika Bapak tidak mendobrak pintu dan memarahinya habis-habisnya. Berbeda dengan Ibu yang hanya menegurnya lembut namun malah membawakannya banyak camilan. Ahh, Rega merindukan masa itu.

Memang benar, masa remaja adalah masa yang paling banyak di rindukan orang-orang.

Hanya beberapa menit bernostalgia dengan isi komputernya, Rega langsung ingat akan tujuan awalnya. Membuka emailnya yang ternyata menumpuk dengan pemberitahuan yang sama sekali tidak ia hiraukan. Jarinya terus menggeser emailnya dengan malas, sampai Rega menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Nama itu, nama yang setelah ia kembali tak bisa Rega ucapkan. Nama yang membuatnya selalu diam-diam duduk di teras menantinya. Dengan gemetar Rega membukanya, sedikit takut akan isi pesannya.

------

From : MillyIlyasa@ohmail.com
To      : RegaMahardika@ohmail.com
Subject : Terakhir

Hari ini aku meyakinkan diriku untuk kesekian kalinya dan aku janji untuk terakhir kalinya. Aku menyerah. Benar-benar menyerah.

------

Rega terpaku, seketika bayangan gadis itu muncul di otaknya. Milly-nya, gadis yang selama 17 tahun selalu berada di sampingnya, menemaninya, gadis yang membuat Rega selalu mengingatnya hanya dengan bagian terkecil dari Karate. Sama seperti beberapa hari lalu.

Bayangan gadis itu yang menatapnya terakhir kali membuat hati Rega kelu, bagaimana gadis itu menundukkan wajahnya kemudian pergi dengan segala kekecewaannya. Gadis itu.

Milly...


----

Pangsi : pakaian khas dari daerah Sunda untuk laki-laki.

Ngadat : ngambek.

Kang/Akang : panggilan laki-laki suku sunda seperti abang.

Amang : paman.

Milly, Mail Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang