DAY 1

6 0 0
                                    

Aku harus mencari ketenangan. Kusibak gorden balkon depan apartemenku. Hening. Biasanya pagi pagi seperti ini selalu diawali dengan riuhnya klakson mobil yang berangkat ke kantor. Air mataku makin deras.

Tunggu, ada yang aneh. Semua mobil itu terhenti. Bukan karena macet, tapi karena mereka sendiri yang menyebabkan kemacetan. Semua orang keluar dari mobil. Ekspresi mereka juga sama kagetnya denganku. Mereka mencoba bersuara dan berbicara, tapi beberapa dari mereka sepertinya tidak mendengar. Sama sepertiku. Ah, apakah mereka semua tidak memdengar? Ini aneh rasanya. Aku sedikit lega.

Setelah merasa lebih tenang, aku ambil ponselku. Lebih banyak panggilan dan pesan di ponsel. Mereka yang mengirim pesan yang sama, dari keluargaku, temanku dan bahkan beberapa grup di Whatsapp dan Line.

"Kamu mendengar sesuatu?"

"Aku tidak baik baik saja"

"Hey, aku tidak bisa mendengar, bagaimana denganmu?"

Ah, sepertinya dugaanku benar. Bukan hanga aku yang memiliki gangguan pendengaran. Mereka juga merasakan hal yang sama. Tapi, kenapa? Ini bukanlah penyakit menular bukan? Hey, jelas jelas 5 menit yang lalu aku masih bisa mendengar, dan aku hanya tinggal sendiri di apartemen ini. Semua jendela juga ketutup rapat, mustahil ada virus atau apapun itu.

Setelah membalas satu satu pesan yang mereka kirim, aku memutuskan untuk mandi. Walaupun agak sedikit aneh karena tak bisa mendengar gemericik air yang jatuh, aku tetap meneruskan mandi dalam senyap. Teman kantorku memaksaku untuk tetap berangkat. Bukan untuk meeting, tapi untuk memastikan aku baik baik saja. Sepertinya Sarah tak paham, bagaimana aku akan pergi ke kantor dalam keadaan diam? Terlebih lagi suasana jalan raya yang sangat macet. Ah, apakah aku mencoba naik bus? Pyuh, hari yang aneh, alih alih hari yang sangat sial.

Tepat sebelum aku mengunci pintu rumah dan berniat naik bus, ada notifikasi masuk. Rupanya bus pun tak ada yang beroperasi. Mereka khawatir tidak bisa membawa penumpang dengan selamat karena hanya mengandalkan penglihatan. Ataukah karena mereka begitu panik saja. Sudahlah, aku akan membawa mobilku sendiri saja.
Rupanya dugaanku salah, awalnya kukira akan macet parah. Ternyata hanya beberapa saja mobil yang melaju, mungkin karena mereka ingin cepat cepat pulang dan mengetahui apa yang sedang terjadi. Berbeda denganku yang melawan arus, dengan kondisi seperti ini justru pergi ke kantor. Well, karena hanya teman kantorku yang pantas untuk aku tanyakan apa yang terjadi saat ini.

Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan pelan. Kutoleh kanan kiri dan tidak menemukan polisi satupun yang biasanya berjaga dan berpatroli. Itu wajar, bahkan polisi pun pasti keheranan dan memilih untuk pulang ke tempat masing masing. Para pekerja pabrik ataupun karyawan kantoran sedang berada diluar. Mereka masih panik, beberapa sedang menghubungi keluarga mereka. Tidak ada yang menelepon, pastinya. Mereka mengetik pesan dengan terburu buru dengan wajah yang panik.

Tiga puluh menit barulah aku sampai. Itu adalah perjalanan terlama yang pernah aku lakukan menuju ke kantor. Biasanya 10 menit saja sudah sampai. Setelah memarkir mobil, aku segera menuju ke ruangan meeting.  Tapi, Sarah sudah mengirim pesan padaku 5 menit yang lalu. Katanya dia dan teman kantor yang lain ada di kedai kopi di depan kantor. Meeting-nya tak jadi. Sudah pasti, aku tak bisa membayangkan rapat dengan mulut terkatup dan mata tertuju pada layar ponsel.

Dari kejauhan, Sarah melambaikan tangan. Dia menyebut namaku, sepertinya. Well, dari gerakan mulutnya, jelas-jelas dia memanggilku dan menyuruhku untuk masuk. Dia juga sepertinya sedikit kaget dan belum terbiasa untuk menjadi orang yang tuli. Aku bergegas mendekatinya dan langsung bertanya apa yang terjadi. Sarah disana bersama John. Sarah yang memahami perkataanku menggeleng, tidak tahu.

"Hei, lihat ini" John menunjuk layar ponselnya. Di internet, ramai orang yang membicarakan. Para polisi dan dokter juga masih sedang dalam proses rapat.

Mereka masih belum tahu apa yang terjadi. Terlalu terkejut. Banyak yang membicarakan masalah ini disebabkan virus atau dugaan lainnya yang kurang masuk akal.

Ah, aku lebih memilih untuk menyesap kopi. Menghela nafas panjang dan berpikir bagaimana jadinya hidupku kedepannya. Bagaimana jadinya hidup orang orang?

Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing masing. Memilih untuk tidur dan berharap semua ini akan berakhir secepatnya. Dibanding menonton video yang tak bisa kudengar tentunya, lebih baik aku membaca buku.

Membalik senyap halaman per halaman. Tidak ada yang bisa kulakukan. Hanya menunggu jawaban dari para dokter yang juga mengalami hal yang sama.

Hallo?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang