CHAPTER 3

18 0 0
                                    

"Lo bisa ya sedeket itu sama nyokap?" tanya Hira selesai mereka makan. Mama Ilham sudah berangkat, dan sekarang mereka berdua tengah berada di bangku kebun belakang rumah Ilham.

"Ya gimana ya Ra, gue juga nggak tau," jawab Ilham sedikit bingung, menghisap rokok yang terjepit antara jari tengah dan telunjuknya kemudian menghembuskannya perlahan, "Emang hubungan lo sama nyokap masih kaya dulu?" Ilham gantian bertanya.

"Iya, masih kaya dulu. Sungkan rasanya Ham buat nyapa nyokap duluan, sama Nadir juga. Padahal nyokap sama Nadir bisa tuh akrab satu sama lain,"

"Dibiasain aja Ra, lama-lama juga lo nggak akan sungkarn lagi,"

Hira menggelengkan kepala, "Garing malah jadinya, terus gue nyerah deh. Akhirnya main lagi deh gue, balik kaya dulu lagi,"

Ilham tersenyum miris, "Lo mah pantesnya jadi anak nyokap gue. Kompak noh satu sama lain. Klop banget kalo disuruh bully gue,"

"Eh iya ya, kok bisa ya?" ujar Hira seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Hening. Entah apa yang mereka berdua pikirkan saat itu. Namun Hira merasakan perasaan nyaman yang tidak ia temui ketika ia berada di rumah. Di sini, memandang kebun yang dipenuhi berbagai macam tanaman yang terawat rapi, duduk di samping Ilham, ia merasa nyaman. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa dua tahun lalu ia akan bertemu dengan seorang laki-laki yang kelak akan ia anggap menjadi abangnya sendiri.

Dua tahun lalu. Saat itu ia kelas VII dan menjabat sebagai murid baru. Pada hari saat untuk pertama kalinya ia mengenakan seragam putih-biru setelah menjalani Masa Orientasi Siswa selama tiga hari. Pada saat upacara, ia terlambat. Maka bersama seluruh siswa yang terlambat, ia dihukum hormat pada bendera di tengah lapangan sampai jam istirahat pertama. Hira yang saat itu belum sarapan jelas tidak kuat berdiri selama tiga jam lamanya di bawah sinar matahari yang terik. Maka belum lama ia hormat, ia pingsan. Dan yang sigap menolongmya saat itu adalah sesosok laki-laki kelas IX dengan bau rokok menyeruak dan tatapan mata yang dalam, yang kebetulan saat itu berdiri di samping Hira.

Laki-laki itu adalah Ilham. Got it? Seorang Ilham Navis Prayoga yang saat itu langsung ia cap sebagai badboy karena aroma tembakau pada tubuh laki-laki itu, sekarang menjelma menjadi sosok kakak pada kehidupan seorang Himara Kinanti, memberinya kehangatan keluarga yang tidak ia dapatkan dari Ibu dan adiknya.

"Ra? Lo ngalamun,"

Suara Ilham sontak mengejutkan Hira dan membuat gadis itu seketika menjadi gugup, "Ha? Eh? Gimana Ham?" ceracau Hira.

Ilham hanya terkekeh melihat reaksi Hira, "Nggak kok, bukan apa-apa,"

"Eh, kirain,"

"Gabut gue Ra. Heran deh lo hobi banget ngalamun, betah juga duduk di sini dari tadi,"

"Nggak kok, gue nggak ngalamun," bela Hira.

"Kan bohong. Lo pasti nggak denger adzan Dzuhur, kan?"

"Loh? Emang udah adzan ya? Perasaan baru jam sebelas," Hira menatap jam tangannya dan melihat jarum pendek menunjuk antara angka 12 dan 01.

"Nah, itu namanya apa kalo bukan abis ngalamun? Udah yuk sholat, habis itu kita keluar ya? Jadi kerupuk nanti kalo di sini lama-lama," Ilham mematikan rokoknya yang belum habis itu ke dalam asbak. Ia bangkit, memasuki rumah dan langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu, sedangkan Hira hanya mengikuti langkah Ilham.

***

"Ra, gue nggak tanggung jawab loh kalo perut lo meledak karena kekenyangan," peringat Ilham begitu mereka duduk di sebuah bangku taman kota. Ilham membawa Hira ke pujasera dekat alun-alun kota, tempat nongkrong favorit mereka dulu kalau gabut.

FancleWhere stories live. Discover now