Hira turun dari motor dan melepas helm yang ia pakai. Ia memberikan helm itu kepada lelaki di depannya seraya tersenyum, "Makasih ya Ham, maaf jadi ngerepotin," ujarnya.
"Yee santai kali. Kapan-kapan kalo lo mau pulang kabari gue aja," balas laki-laki di depannya.
"Iya deh ya. Yaudah nih helmnya," Hira menyodorkan helm dalam genggamannya itu pada Ilham, yang langsung laki-laki itu tepis.
"Bawa lo dulu aja, besok pagi lo gue jemput,"
Mendengar pernyataan laki-laki itu, wajah Hira seketika melongo. Seorang Ilham mau jemput dia besok? "Loh Ham? Lo serius? Rumah kita nggak searah loh, lagian gue masih bisa ngangkot atau bareng Toni besok," kata Hira menolak.
Ilham menggelengkan kepalanya, "Gue tidur di rumah nenek malem ini, makanya gue bisa nganterin lo pulang dan ngajak lo berangkat bareng besok. Rumah nenek gue deket kok sama daerah sini."
"Ohh yaudah deh kalo gitu. Eh, lo mau masuk dulu?" tawar Hira.
Ilham menggeleng lagi, "Gue langsung pulang aja. Besok jam setengah tujuh siap ya,"
"Oke. Lo ati-ati ya,"
Ilham mengangguk, menstater motornya dan kemudian berlalu meninggalkan Hira yang masih berdiri di tempatnya.
Setelah Ilham tidak lagi terlihat, Hira menghela nafas lega. Ia merasa tenang karena akhirnya bisa pulang dengan selamat. Ia kemudian membalikkan badan dan berjalan menuju rumahnya yang suda ada di depan mata.
"Assalamu'alaikum," ucap Hira pelan, takut suaranya mengganggu Ibu dan adiknya yang sudah pasti sudah terlelap itu. Ia lirik jam sudah menunjukkan pukul setengah Sembilan malam. Gilaa, batinnya. Kalo Ibu marah gimana, ya? Ah nggak mungkin lah, kan Ibu udah tidur.
Hira berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Kondisi ruang tamu dan ruang tengah yang gelap membuatnya yakin bahwa Ibunya pasti sudah tidur.
Namun sepertinya tidak demikian. Saat kaki kanannya menginjak anak tangga pertama, tiba-tiba saja lampu tengah menyala disusul suara yang tidak asing lagi di telinganya, "Baru pulang, Kak?"
Langkah kaki Hira terhenti, tubuhnya mematung dan dapat ia rasakan jantungnya berrdegup kencang mendengar suara Ibunya yang tenang itu. Perlahan, Hira membalikkan badannya menghadap Ibunda tercintanya.
"I-iya, Bu,"
"Sudah makan?"
Hira menggeleng pelan, "B-belum Bu," dalam hati, Hira sudah siap dengan sanksi yang akan ibunya berikan untuknya.
Ibunya tersenyum mendengar jawaban Hira, "Makan dulu yuk, Ibu nungguin kamu dari tadi," Ibunya berjalan menghampirinya dan menggandeng tangannya menuju ruang makan.
Walaupun hatinya diliputi perasaan heran dengan sikap ibunya ini, Hira memilih untuk diam dan patuh daripada mengaluarkan kata-kata yang akan membuatnya mendapat apa yang tidak ingin ia dapatkan.
Sampai ruang makan, ibunya memanasi masakan untuk makan malam. Setelah itu mereka berdua makan dalam diam. Dalam makannya, Hira tetap waspada dengan apa yang ingin Ibunya perlakukan padanya setelah apa yang dia lakukan. Bisa saja ibunya bersikap baik saat ini, namun memarahinya habis-habisan setelah ini, kan?
"Kakak suka main malem-malem ya?" tanya Ibunya disela-sela makan, nadanya terkesan bahwa ia sedang berbasa-basi santai.
"Eh, i-iya Bu," jawab Hira terbata.
YOU ARE READING
Fancle
Novela JuvenilKisah ini bercerita tentang seorang remaja perempuan yang tengah mencari jati diri kendati kehilangan kedua orangtuanya. Kehidupan barunya dan adik perempuannya dijalani dengan enggan bersama pamannya yang sangat menerapkan etika disiplin, berbeda j...