[8]

111 27 11
                                    


Author POV

Sepeda berwarna putih dengan corak silver ini adalah tanda bahwa Nara masih memiliki sebagian kecil hidupnya. Terlalu berlebihan mungkin, tapi memang hanya benda ini yang berhasil ia pertahankan dari peninggalan appa-nya.

Pagi kali ini berbeda, Nara tidak berjalan kaki lagi, melainkan memutuskan menaiki sepeda dengan melewati kompleks, bukan lagi taman.  Nara hanya ingin menjauhkan diri dari Yoojung sesudah ia mendengarkan semua lontaran katanya yang membuatnya mengingat kembali dengan mendiang keduaorangtuanya.

Nara yang hari itu memakai seragam yang dibalut sweater putih membiarkan angin melambai rambutnya. Ia mengayuh sepeda memasuki komplek perumahan, kemudian berbelok ke luar di ujung jalan saat Nara mencengkram remnya kuat-kuat.

Matanya membulat saat melihat pemuda ber hoodie hitam dengan celana pendek tengah berlari-lari kecil mengitari komplek itu. Nara buru-buru membelokkan sepedanya ketika sebuah tangan menghalau gerakannya. Kini Nara hanya bisa diam kaku. Lebih tepatnya tidak tahu harus bagaimana.

"Nara-ya," pemuda itu tampak menarik kedua sudut bibirnya hangat. Sehangat mentari di pagi ini.

Nara tersenyum getir. "Manager Haru."

Bagaimana mungkin Haru bersikap seperti itu padanya? Bagaikan seekor bunglon yang berkamuflase dengan cepat, tatapan tajam dan pelik Haru di hari lalu kini berubah menjadi tatapan yang hangat.

"Rumahku tak jauh dari sekitar komplek. Pulang sekolah kau harus bermain," ujarnya.

"Apa?"

"Aku tahu kau sudah berbincang bersama dengan Yoojung. Aku tahu kau sudah mengerti semuanya. Mengerti semua alasan mengapa tempo hari aku berbuat licik padamu."

Nara meneguk salivanya yang tersisa. Ia terus mengamati gerak-gerik Haru.

"Aku bukan seorang yang pendendam, Nara-ya. Tapi aku butuh balasan yang setimpal atas semua yang orangtuamu lakukan kepada orangtuaku," ucapnya, terdengar lembut tapi menusuk.

"Lalu bagaimana, Manager Haru?" Nara mengerjap dengan perasaan sedih. Sudah terbebas dari Yoojung, kini ia harus dihadapkan dengan Haru.

"Mudah saja. Sepulang sekolah nanti kau harus kerumahku. Rumah dari deretan keempat di komplek ini. Bantu aku belanja guna membeli kado untu nenekku," saat mengucapkan kalimat terakhir, Haru mengalihkan pandangannya dari Nara. Entah apa respon dari gadis itu.

Konyol sekali.

Nara mengerjap beberapa kali, menepuk pipinya, lalu menghentakkan kaki di atas aspal. Benar. Ternyata semua ini bukan mimpi. Bahkan Nara berani bertaruh bahwa Haru hanya memintanya untuk ditemani berbelanja kado untuk neneknya sebagai balasan yang setimpal, katanya.

"Kau tidak bercanda, kan?" Nara menegaskan.

"Tidak!" Haru yang merasa dirinya ditatap spontan berbalik lalu mempercepat langkahnya. Tingkahnya terlihat kikuk dan memalukan.

Nara masih mematung, menatap hingga punggung pria itu sudah tak tersisa dari pandangannya. Kemudian Nara membelokkan sepedanya dengan perasaan yang belum sadar sepenuhnya.

"Ah, iya, kenapa aku belok sini?" dengan kesal, Nara membelokkan sepedanya kembali. Kewarasannya seolah terkuras setengah oleh perkataan konyol pria itu.

🎵🎵🎵

Kelas 2-B sudah terlihat ramai. Surga baginya ketika mencapai kursi dan merebahkan ke atas meja dengan dramastis.

"Kau kenapa? Tumben telat," tanya Sae Mi, teman sebangkunya.

Nara mengangkat kepalanya dari atas meja dengan malas.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang