Prolog

70 10 10
                                    

"Tidakkah ini aneh?"

Gadis itu membuka tirai jendela lalu menyapukan pandangan. Ia menoleh lantas segera menghampiri rekannya.

"Musim dingin bersemayam terlampau lama. Perapian di tungku rumah mulai padam, sehingga dinginnya duka menguar. Gelap semakin berkuasa dalam angan, membaurkan harap." Lanjutnya dengan napas memburu, tampak gelisah.

"Entahlah, untuk sebagian orang mungkin akan terasa asing." Rekannya tampak lebih tenang, kemudian melanjutkan.

"Namun perihal musim dingin dengan salju yang turun pelahan, menyelimuti jalan-jalan, bahkan ketika benih harapan tidak dapat lagi terlihat, mengingatkanku pada sebuah kisah."

"Kisah yang mana?" Tanya gadis itu, suaranya parau.

"Kau mengetahuinya lebih dari siapapun." Senyum mengembang diwajah rekannya.

Sosok itu beranjak dari tempatnya berdiam. Dua gelas minuman hangat ada pada genggamannya.

"Ingin mengisahkannya bersama?" Tawar gadis itu, arah pandangnya bergerak mengikuti raga rekannya berada.

"Tentu. Mendekat, duduklah dan awali kisah ini. " Titah sosok itu.

Gadis itu melangkah ragu. Rekannya tetap tenang, menyambut sang gadis dengan secangkir minuman hangat. Udara dingin yang membekukan membuat kepulan minuman itu tampak menguar samar.

"Kala itu lumbung dan bakul persediaan penuh, lama tak tersentuh. Kini tidak ada lagi yang dapat diandalkan dari sektor penjualan." Sang gadis memulai dengan gugup. Tangannya meraih gelas, menenggelamkan tangannya pada kehangatan yang ditawarkan oleh permukaan gelas.

"Padahal selama ini keluarga kecil di ujung dusun mengandalkan penjualan makanan untuk bertahan hidup." Ada jeda sebentar sebelum sang gadis melanjutkan.

“Sang gadis, anak satu-satunya yang menjadi harapan keluarga mulai ragu. Apakah mereka dapat bertahan? Apakah Ia tetap dapat menetap di kota untuk menamba ilmu, untuk merajut masa depan? Apakah ia dapat mewujudkan angan dan memenuhi harapan orang tuanya? Apakah—"

“Tunggu, ini menyesakkan. Terlalu banyak pertanyaan.” Sela rekannya, tidak mengira akan menjadi seperti ini.

“Bukankah hidup itu sendiri adalah sebuah pertanyaan?” Senyum tipis teranyam dari bibir kecil si gadis. Ia menyesap minumannya.

“Lantas bagaimana dengan ibu? Sang pelahir gadis itu?" Rekannya bertanya.

Senyum gadis itu lenyap. Murung mengambil alih kuasa pada rupa mungilnya.

"Seorang wanita kuat, pelahir generasi yang kita sebut dengan Ibu." Gadis itu bergumam, terdengar seperti igauan semata.

“Kau tahu? Anak itu sering menolak pulang, merasa tak layak.” Alih gadis itu cepat.

"Kenapa demikian?"

Senyum tipis pada wajah si gadis tampak janggal. Ia memalingkan muka, tampak tidak nyaman.

“Aku masih tidak mengerti. Kenapa anak itu harus merasa tak layak untuk pulang?” Sela rekannya, menatap dengan pandangan bertanya-tanya sementara benaknya berusaha menafsirkan gerakan yang diciptakan si gadis.

"Harapan dan ambisi." Ujar sang gadis singkat.

“Ibunya menabur harapan, dipupuk oleh ambisi yang sempat terpendam dalam raganya kala muda. Menurutmu, Apa kau akan punya cukup keberanian untuk pulang jika dibayangi oleh angan yang belum dapat kau wujudkan?" Lanjut sang gadis dengan suara yang sedikit meninggi.

Rekannya tertegun sejenak
"Aku.. tidak tahu. Tapi bagaimana dengan mimpi dari gadis itu sendiri?”

Sang gadis mengabaikan rekannya, asik berkelana dibenaknya sendiri. Lalu satu pertanyaan mengambil alih perhatiannya.

“Ah, aku jadi mengira-ira. Apa yang akan terengut ketika kita dapat meraih suatu impian?”

“Kisahnya akan sangat panjang untuk kita arungi sendiri. Haruskah kita ajak yang lainnya untuk menembus ruang dan waktu untuk menjelajahi kisah-kisah?” Ucap sang gadis, sama sekali tidak menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang rekannya lontarkan.

"Haruskah kita tetap mengisahkan cerita ini?" Rekannya mulai ragu.

Sang gadis menggaguk singkat lantas tersenyum.

"Kita harus menyelesaikan apa yang telah kita awali. Bukankah begitu?"

Je reviendraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang