2. Sebuah Awal

23 3 0
                                    

Hanya karena ibuku adalah seorang anak perempuan, beliau diperlakukan tidak adil dalam keluarganya.

Beliau kerap kali mengisahkan betapa sukarnya beliau menempuh pendidikan dikala muda. Bagaimana impian ibu ditukar oleh orang tua beliau dengan pernikahan muda. Sehingga beliau memutuskan untuk pergi, meninggalkan orang tuanya.

Ibu menjelajah, mengarungi kejamnya arus kehidupan seorang diri. Lalu bertemu dengan ayah. Kemudian ibu takluk, kembali dengan raga seorang bayi yang sudah berada dipangkuan beliau. Itu aku.

Dari situlah muncul perasaan asing pada diriku.

Sesuatu seperti, ingin membuktikan bahwa perempuan juga dapat diandalkan. Perempuan juga memiliki kekuatan. Perempuan tidaklah lemah, seperti yang mereka kira.

Aku mengagumi Ibu. Seusai mendengar penuturan beliau aku berpikir, jika aku taat pada beliau maka aku mungkin dapat mewujudkan impianku.

Menjadi wanita sekuat ibu.

Jadi ketika beliau memintaku untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas di kota tetangga, aku tidak keberatan. Menyambut permintaan beliau dengan perasaan membuncah kegirangan. Sebab aku mendapat kesempatan untuk menimba ilmu.

Melihat sosok ibu yang tampak kacau pada penghujung hari membuat perasaanku tidak nyaman. Kukira dengan mengikuti permintaan beliau akan membuat beliau bahagia. Namun tidak semudah demikian.

Belum ada hal yang menarik selama beberapa bulan aku tinggal. Kecuali tugas yang menumpuk tampak menarik bagi kalian. Saban hari rasanya sekolah semakin padat saja. Seperti sekarang.

Cahaya di dalam kelas menjadi temaram. Suara ketukan ringan mulai terdengar, rintik hujan membentur jendela di samping tempatku berdiam. Aku bergerak gundah, menatap cakrawala dengan gelisah.

Pelajaran terus berlangsung. Bagian ujung belakang kelas ricuh, memperdebatkan hal yang mereka pandang berbeda.

Sesekali aku menoleh keluar jendela sambil menggerakan kakiku, merasa tak nyaman. Dari sudut mataku, seseorang tampak ikut menoleh pada pusat gelisah yang menjamah diriku. Memandang jendela lalu menatapku. Aku membuang muka, enggan memperlihatkan keresahan.

Guru kami usai menyampaikan bagian beliau, kami diminta untuk mengerjakan beberapa soal latihan. Kulihat hujan sempat reda. Secercah sukacita tumbuh menyelubungi ragaku.

Bel berbunyi, menjadi tanda ujung pembelajaran hari ini. Aku lekas berbenah. Secepat itu juga dukacita kembali singgah ketika aku mendapati langit meraung, tangisnya semakin deras.

Kusapukan pandangan. Beberapa murid berlarian dengan payung bersama orang tua mereka, beberapa menunggu jemputan, beberapa yang lain sama sepertiku. Menunggu hujan reda.

Aku menunduk, dingin mulai merasuk. Genangan air memantulkan cakrawala yang muram. Kemudian jenuh datang menyerang.

Langkah-langkah kaki mengiringku menuju kantin. Disini tampak legang, pada ujung yang cukup jauh aku dapat melihat murid lain bermain di lapangan.

Aku duduk di ujung kantin, berhadapan langsung dengan lapangan. Kutanggalkan tas, lantas mencari hal yang dapat kulakukan. Yang berakhir dengan mengerjakan tumpukan tugas yang kudapat hari ini.

Di samping tempatku berdiam terdapat taman bermain untuk siswa Sekolah Dasar. Teduh, tempat itu dinaungi oleh rangkaian tumbuhan menjalar yang sekarang basah oleh tetes hujan.

Sedikit banyak, suasana tenang yang berpadu dengan alunan rintik hujan menjamah resah yang sedari tadi merajalela. Aku mengerjakan tugas dengan damai.

Hingga suara bariton mengambil alih perhatianku dari tugas yang sedang kukerjakan.

"Zeira?" Suaranya terdengar ragu.

Je reviendraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang