4. Asing

13 3 3
                                    

Akhir pekan ini aku memutuskan untuk pulang. Betapa kudamba bersua dengan raga pelahirku. Terekam dengan baik dalam ingatan, berbagai berkas kehidupan yang beliau bagi.

Rangkaian hal baik yang dapat kuterima selama di rumah berkumandang dalam benakku. Menyita perhatian hingga tidak sadar perjalananku telah usai.

Aku pulang, Ibu.

Senyum teranyam pada wajahku, enggan luput dari sana. Disambut dengan sukacita yang menguar dibalik daksa Ibu.

Kutoleh kanan-kiri, memastikan kendaraan bermotor tidak melintas dalam waktu dekat. Kulangkahkan kakiku, tiap hentakannya menimbulkan suara decitan kecil. Rupanya aku terlampau bersemangat.

Kubenamkan wajahku dalam ceruk leher ibu ketika beliau meraihku dalam pelukan. Ada aroma samar yang menguar, hal yang mengingatkanku pada asmaraloka.

Kami masuk diiringi dengan percakapan ringan. Segala lelah, resah, dan gundah sirna ketika aku memandang beliau. Kehadiran Ibu disertai dengan damai sejahtera.

Mula ufuk timur hingga redup senja, kubunuh waktu dengan bercengkerama bersama pelahirku.

"Ibu, malam nanti aku akan ikut pertemuan remaja.

"Sudah lama sekali sejak terakhir kali." Kepalaku mengadah dengan pandangan menerawang, "aku merindukan Brianna." Kini kepalaku tertoleh, sepenuhnya memandang pelahirku.

Kurasa aku berkhayal. Untuk sepersekian detik terdapat keterkejutan yang singgah pada raut beliau. Hampir tidak terlihat dalam keadaan ruang yang remang-remang.

"Baiklah, cari ayah sesudah kau berbenah. Minta ia mengantarmu." Beliau mengalihkan pandangan, mulai beranjak dari duduknya.

Langkahnya berbelok ketika sampai di ujung. Lenyap sepenuhnya dari pandanganku.

***

Wajah-wajah asing terus menampakkan diri. Semakin banyak, memenuhi ruangan. Seberapa lama aku teralih hingga kudapati banyak jemaat baru?

Dadaku sesak. Seolah ada sesuatu tak kasat mata yang menghimpit ruang dimana jantungku berdetak. Ada sesuatu yang menghentak-hentak. Ponselku bergetar yang berakhir kuabaikan.

Tidak sopan jika membuka ponsel dalam perkumpulan ini. Seakan ada peraturan tak tertulis yang membatasi kami.

Hari tidak lagi petang. Langit telah temaram, hampir malam. Dan aku terjebak dalam lautan manusia yang tak kukenali sama sekali.

Diriku pasti tampak halai-balai. Menyedihkan sekali. Aku hampir menyesal datang kemari.

Hingga sapaan seseorang membawaku kembali waspada pada keadaan sekitar. Senyum tergores pada wajahku. Merasa terselamatkan dari situasi tidak nyaman, peperangan dengan diriku sendiri.

Aku menghamburkan diri dalam pelukan yang orang tadi tawarkan. Membenamkan ragaku dalam kehangatan ganjil.

"Sudah lama ya, Brianna." Kubebaskan rindu yang mengukung.

"Sejak kau sibuk dengan sekolahmu di ibukota." Kami melepas pelukan.

"Kau juga akan sibuk pada ujian kelulusan." Sanggahku sambil terkekeh.

Brianna Moza. Satu tahun lebih muda dariku. Namun usia tidak membatasi hubungan kami. Dapat dikatakan kami seperti saudara.

Ia seperti adik perempuan bagiku, sebuah substitusi yang kudamba hadirnya. Sebelum melanjutkan pendidikan di kota orang, kami melewati segalanya bersama.

Berbagi keluh kesah, membangun satu sama lain, bahkan tidak ada rahasia diantara kami.

"Ada banyak sekali orang baru malam ini," pandanganku menyapu sekitar. "Sepertinya aku melewatkan banyak hal."

"Banyak. Banyak sekali yang kau lewatkan." Brianna tersenyum, tampak asing.

Aku tertegun. Mengejapkan kelopak netra cepat. Seakan sosok yang baru saja Brianna tampilkan dapat lenyap dalam kedipan.

Ia benar. Bahkan aku hampir tidak mengenali orang yang sebelumnya telah kuanggap seperti adik perempuanku sendiri.

***

Kulihat pesan yang sebelumnya kuabaikan.

Dari nomor tak dikenal. Seketika aku merasa tak nyaman membaca pesan asing tersebut. Seakan ada hal buruk yang sedang mengintaiku.

Unknown Number
Zeira?

Ada dorongan kuat untuk tidak membalas pesan ini. Darimana orang asing mengetahui nomorku? Lebih lagi, bagaimana ia tahu namaku?

Tunggu-

Sebagian lain dari diriku merasa familiar. Seolah aku pernah mengalami hal serupa diwaktu yang telah usai. Tapi kapan?

Dengan keberanian yang tersisa, aku mengetik balasan. Mengirimnya dengan hati-hati, diliputi rasa cemas tidak wajar.

Zeira Azalea
Maaf, ini siapa?

Nomor asing tersebut cepat sekali membaca pesan yang kukirim. Kulihat ia sedang mengetik balasan.

Rasa cemas tak kunjung reda. Nafasku terengah, seolah helaannya telah dirampas. Lebih parah lagi, seakan paru-paruku menolak bekerja.

Hingga aku dibuat terheran-heran. Hanya sebuah pesan, namun berdampak sedemikian rupa. Aku tidak mengerti apa yang salah dengan diriku sendiri

Balasan pertama datang. Aku meninggalkannya terbaca. Kurasa pengirim pesan mengetahuinya, lantas ia terlihat menulis balasan lainnya.

Kemudian balasan kedua menyusul, menjelaskan alasan mengapa orang asing ini mengirimkan pesan padaku. Sedikit banyak menjamah resah yang mengukung raga.

Unknown Number
Aku harus memastikan ini Zeira atau bukan

Dengan begitu aku dapat memasukkan Zeira kedalam grup kelas

Dari balasan yang kudapatkan, kurasa aku sedang berbalas pesan dengan ketua kelas. Maka aku berusaha memastikannya kembali.

Apakah ini ketua kelas?|

Sebelum balasan kukirimkan, nomor asing tersebut mengirim sebuah pesan. Gundah teralih menjadi keterkejutan.


Unknown Number
Ini Sethron


17 05 20'

à la prochaine,

Cicatrize.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Je reviendraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang