3. Pertemanan

17 3 4
                                    

Aku tidak mengerti. Mereka membuat perkumpulan yang terdiri dari remaja yang mereka anggap nyaman untuk membicarakan rekannya.

Jika salah satu dari mereka tidak menyukai seseorang, maka satu kelompok itu akan berbondong-bondong tidak menyukai orang tersebut. Mereka menghujat, menganggap remeh seseorang yang tidak sesuai dengan kriteria berteman mereka.

Yang diserang akan mencari pembelaan. Sayangnya mencari pembelaan dengan cara yang salah. Membuat pihak yang menyerangnya semakin buruk dengan menambahkan opini yang berbahaya.

Kemudian akan terjadi perpecahan. Menyerang satu sama lain. Tidak akan menemukan titik terang jika tidak ada yang sesegera sadar.

Tidakkah mereka muak dengan sikap mereka sendiri?

"Aku juga tidak menyukai cara mereka berteman." Tegur seseorang.

Aku menoleh, mendapati Reine yang sedang menarik kursi agar dapat memposisikan dirinya untuk duduk disampingku. Ia menatapku yang masih bergeming, kemudian melanjutkan.

"Bukankah kau juga tidak menyukai cara mereka berteman?"

"Darimana kau bisa menyimpulkan demikian?" Kilahku, akhirnya bersuara.

"Dari caramu mengamati mereka dalam diam dan tidak terlibat." Reine menaik-turunkan bahunya.

"Sedikit banyak begitu. Entahlah, mungkin aku yang kurang mengerti jalan berpikir mereka."

Lengkung serupa garis khatulistiwa yang melintang mulai menghiasi wajah Reine. Ia bergumam singkat dalam senyumnya. Aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Benakku mereka-reka ulang kemudian merangkai kata yang dapat kuterjemahkan menjadi,

"Tidak heran jika ia tertarik."

Aku mulai ragu dengan keputusanku. Banyak orang berkata tidak baik untuk terus diam disaat-saat tertentu. Angkat suara dan bertindak mungkin adalah langkah tepat untuk menyelesaikan suatu masalah.

Namun, melibatkan diri kedalam lubang kekacauan yang tidak kau tahu pasti akar permasalahannya juga bukan langkah yang tepat. Untuk saat ini, aku tidak tahu pasti jawaban untuk keputusan ini.

Pikiranku mulai ricuh karena hal-hal acak. Aku menyapukan pandangan, mengamati sekitar selalu berhasil menjadi distraksi kecil. Sebelum mereka menawan kesadaranku dalam dekapan kesesakan.

Kelas kami sedang tidak ada guru yang mengajar. Aku kurang tahu pasti alasan guru kami tidak hadir. Yang pasti beliau akan tetap meninggalkan tugas yang menggunung.

Beruntungnya aku sudah mengerjakan separuh saat belajar semalam. Jadi aku bisa menggunakan waktu kosong di kelas dengan hal yang lebih bermanfaat. Tadinya aku berharap begitu, tapi Reine datang dan mengajakku berbicara.

Bukan berarti aku tidak menyukai Reine. Aku menyukai pembicaraan kami sejauh ini. Utuh dan berbobot. Beberapa hal tentangnya mengundang rasa penasaranku.

Kami kembali diam, sejenak memandang ke depan. Mengamati rangkaian kejadian yang dibuat-buat oleh teman sekelas kami.

Memangnya mereka tidak ada hal lain yang dapat dilakukan ya? Lagipula, memangnya mereka sudah menyelesaikan tugas yang diberikan guru?

"Tugasmu sudah selesai?" Aku bertanya, memandang Reine yang terlihat santai.

"Kurang beberapa yang tidak kumengerti. Tadinya aku kesini berniat menanyakannya padamu." Ia beranjak berdiri.

Reine berlalu kemudian membali membawa buku dan beberapa alat tulis dalam genggamannya. Aku menggeser tempat dudukku. Merapikan barangku kemudian menaruhnya dilaci meja agar Reine bisa menulis dengan leluasa.

Reine siswi yang rajin, dapat dilihat dari caranya menulis catatan. Ia menulis judul dan sub bab yang dipelajari dengan aksara yang indah dan berwarna. Diujung tertentu aku dapat melihat goresan tangannya yang memenuhi bagian tersebut. Disisi yang lain aku dapat melihat gambar tangan yang tampak disesuaikan dengan inti dari pembelajaran.

Indah sekali. Melihat catatannya yang rapi membuatku tergoda untuk melakukan hal yang serupa. Namun ingatan lama yang singgah menghempas jauh anganku itu.

Pernah suatu waktu aku membeli jurnal, berniat menulis hal-hal yang kulalui. Tapi itu tidak bertahan lama. Pada minggu-minggu awal aku memang rajin dan semangat menulis. Memberi warna tertentu yang menggambarkan suasana hatiku kala itu pada kolom yang disediakan.

Pada bulan berikutnya aku sudah tidak dapat menemukan hasrat untuk melanjutkan menulis buku tersebut. Entah raib kemana.

Sebenarnya Reine bisa mengerjakan sendiri. Hanya saja, terkadang ia kurang mengerti konsep pembelajaran secara utuh. Sehingga ia sering tersesat ketika mengerjakan soal latihan.

Mungkin karena itu ia menulis catatan sedemikian rupa. Terkadang daya tangkapnya pada maksud soal kurang tepat, membuatnya diambang keraguan. Ia juga beberapa kali kurang teliti ketika menghitung.

Aku jadi tersadar. Cara belajar tiap murid berbeda-beda. Dan kita tidak bisa menyamaratakan daya tangkap dan kemampuan seseorang begitu saja.

Suara pintu yang ditutup —lebih tepatnya dibanting— dengan keras mengambil alih perhatian seisi kelas. Untuk beberapa saat sunyi menyelubungi kami.

Aku benci diam karena kecanggungan. Sebenarnya aku tidak masalah, justru aku menemukan kenyamanan dalam sunyi. Hanya saja suara pintu terbanting tadi masih membuat telingaku berdenging.

Aku mendelik, mencari dalang dibalik keterdiaman ini. Disana, Ron berjalan ke dalam kelas dengan santai. Aku mendengus kasar. Tentu saja, siapa lagi.

Seseorang berjalan di depan Ron, langkah mengiring raganya ke depan kelas. Dalam genggamannya terdapat pena dan kertas. Ia berdeham kecil kemudian membuka suara.

"Wali kelas meminta kita untuk mengisi tabel ini dengan nomor pribadi," ia mengarahkan jari telunjuk ke tabel kedua dari kiri, "dan juga email yang masih aktif dan dapat dijangkau." Ia menggeser telunjuknya ke tabel ketiga.

Sepertinya kami tidak salah memilihnya sebagai ketua kelas. Ia tampak berkompeten. Tidak tahu dengan Ron, yang sekarang berdiri di sudut kelas.

Ia adalah wakil ketua kelas kami.

.
.
.

—Je reviendrai.

08 05 20'

à la prochaine,

Cicatrize.

Je reviendraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang