Di perantauan dan masa crisis of life
Untuk pertama kalinya, keluar dari zona nyaman. 24 tahun hidup di kota besar, rasanya sedikit memuakkan tapi merindu juga sih wkwkw. Rasanya sedikit menyenangkan. Gue bisa mengatur diri gue sendiri. Tanpa disuruh atau diperintah layaknya dirumah. Namun ada banyak yang gue belum bisa lakuin seorang diri. Di perantauan juga gue banyak belajar dan memahami hidup. Bukan soal gue aja sendiri, tapi bagaimana gue bersosialisasi dengan lingkungan baru. Menekan perasaan yang gue gak suka. Tapi bukan berpura-pura. Ini gue, yang seorang introvert yang mencoba berbaur dengan yang lain.
Di perantuan juga gak sendiri kok, ada teman sedaerah yang betulan banget ketemu pas dalam perjalanan. Jadi gue dan dia yah sefrekuensi. Ngobrolnya enak. Kadang-kadang juga kami bicara daerah dan itu lucu menurut gue.
Dari semua itu, gue tetap rindu tempat gue dibesarkan, mama bapak gue, makanan, teman-teman gue dan atmofsirnya. Gue rindu semua itu. Benar kata orang, sejauh apapun loe melangkah, rumah adalah tempatmu untuk pulang. Eeaa
Ada banyak orang yang gue temuin disini. Berbagai macam suku dan karakter yang gue lihat. Tapi gue gak bisa membaca karakter orang. Buat apa? Menurut gue, gue gak perlu tahu seperti apa dia, gue hanya ingin berteman. Just it. Jikalau dia gak suka sama gue, lah emang kenapa, apakah gue berhak atas perasaannya. Biarkanlah dia dan perasaannya. Hahah kok gue ngegas sih.
Ohiya.. gue pernah mengalami crisis of life. Titik dimana gue mempertanyakan buat apa gue hidup. Setelah ini apa tujuan gue selanjutnya. Kekhawatiran akan masa depan dan seorang pendamping yang tak kunjung datang. Tiap hari gue bagai robot, pulang kerja, istirahat, dan kerja lagi. Sebutlah gue workholic. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul tak ada jawaban yang gue temui. Ditambah tekanan dari planing yang gue buat sejak gue kerja. Keinginan gue setelah kerja adalah melanjutkan sekolah lagi. Tapi setelah kerja gue berasa nyaman, keinginan itu langsung pupus. Seakan-akan gue lupa atau ada rencana lain yang gue pikir. Rencana yang kupikir setelah bekerja adalah menikah. Buat apa sekolah lagi, toh gue perempuan, akan berujung menjadi istri dan ibu kelak. Emang iya, menjadi seorang istri dan ibu butuh ilmu, tapi bukankah ilmu gue cukup sampai disitu. Gue gak terlalu perlu gelar. D3 aja gue syukur banget.
Berbagai bujukan dari teman seperjuangan gue untuk lanjut.
"ayo ay, kan bisa online kuliahnya. Kita hanya datang pas mau final doang" bujuk teman gue
Tapi setelah berpikir panjang dan mensinkronkan kondisi gue, gue putuskan untuk tidak lanjut. Konflik batin nyata gue alami. Di sisi lain adalah cita-cita gue dan sisi lainnya adalah kebutuhan gue. Saat itu gue stress. Mencari solusi ke beberapa teman, dan pertanyaan pertama yang bilang ke gue adalah, "buat apa lo lanjut?", "misalnya lo lanjut, apa yang lo lakuin? Nyari kerja juga, kan?
Tidak sampai disitu, yang gue pikir adalah apa sebenarnya tujuan gue. Ngebahagaiin orangtua sudah jelas. Tapi selain itu apa? Pertanyaan itu berputar-putar dikepala gue. Sharing ke beberapa teman gak ada jawaban. Selalu jalan buntu yang gue temui. Hingga teman gue bilang, "loe baru ngerasain crisis life?, gue bilang, "emang itu apa?"
Teman gue ngejelasin secara singkat problem yang gue alami sekarang. Yaps, gue baru tau, di usia gue sedang rawan-rawannya mengalami crisis of life. Pertanyaan akan masa depan, ketidakpercayaan diri dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, gue balik ke Allah, jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan gue. Sebagai hamba, gue hanya bisa berikhtiar akan hidup gue. Biarkan Dia yang mengatur, Bukankah Dia Mengetahui apa yang kita tidak ketahui?
Sebagai hamba, gue hidup dari Allah, dan akan kembali pada Allah. Mengapa gue selalu khawatir?
YOU ARE READING
Penantian Panjang
Narrativa generalecerita ini tentang kesabaran, keikhlasan, dan pengharapan akan penantian panjang yang tak berujung. sebuah kisah nyata dan sedikit improvisasi dari sang penulis. selamat membaca.