Siapa namaku? Tidak. Takkan ku katakan padamu. Tidak. Tidaakkkkk!!!
Baiklah jika kalian memaksa, namaku Grahita Samastha. Mereka memanggilku Gistha. Apapun itu aku tak peduli.
Aku tinggal bersama kedua orang tua ku. Tinggal bersama mereka layaknya mayat hidup. Bekerja dari pagi hingga sore atau terkadang malam hari. Mereka hanya bertanya padaku apakah aku sudah makan hari ini? lalu kemudian pergi ke kamarnya dan sibuk dengan urusan masing-masing. Aku lelah, aku butuh sosok yang bisa memberikan perhatian padaku, memberi kasih sayang yang benar-benar nyata dan tulus padaku. Hanya itu, sederhana sekali.Kini, aku tumbuh menjadi remaja pada umumnya. Aku bisa lebih terbuka, bersenang-senang dengan teman sebaya ku, banyak sekali prestasi yang telah aku raih. Tetapi keduanya bak tak pernah menganggap aku ada.
Tidak masalah. Aku sudah dewasa, aku bisa memilih pilihan ku sendiri.Saat usiaku menginjak angka tujuh belas tahun, orang tua ku kini sudah benar-benar tua. Mereka mulai pensiun dari pekerjaan nya dan memilih untuk tinggal di panti jompo. Terserah mereka, aku tak peduli. Aku sedang menuliskan kisah ku sendiri meski pada hakikatnya adalah mungkin bukan.
Mereka akan menjodohkan aku dengan seorang pria, dengar-dengar namanya adalah Genta Prawira Samahita. Atau ya agar lebih singkat, GPS. Siapapun dia aku tak peduli. Hidupku adalah aku yang menentukan kemudian akulah yang akan menjalani perannya, bukan orang lain termasuk ibu dan ayahku.
Rasaku masih tertanggal lekat pada senyum manis pria bemata coklat, sinar matanya bak rembulan, tatap matanya teduh sekali seperti hujan sore ini. Tutur katanya indah, sikapnya yang sopan dan ramah menambah persentase kekaguman hati yang kian bergejolak ini.
Aku hanya bisa melihat nya dari kejauhan, di halte bus itu. Sungguh , semoga aku dan kamu menjadi satu kesatuan yang utuh tanpa ada rapuh.
Hari demi hari, Tuhan mengabulkan permintaan ku, aku bertemu dengannya hampir setiap hari. Rasa ku padanya setiap waktu.
Menabung rasa rindu lalu kemudian memecahkan nya di halte bus setiap Rabu, Sabtu dan Minggu. Apakah ia mempunyai rasa padaku?
Kurasa iya, hubungan kami semakin hari semakin dekat. Membicarakan masa depan, membuat janji kala hujan menghampiri, saling bertukar puisi, berbagi mimpi dan berjanji untuk selalu mendampingi hingga mimpi-mimpi iru bisa tercapai suatu hari nanti, sesederhana itu. Hingga suatu saat kami benar-benar saling mencintai.