PROLOG

62 3 0
                                    

     Mulai terasa jauh bagi kaum sepertiku yang menetap dalam sebuah harapan. Bukan sebuah alasan ilusi untuk melupakan aksara yang akan kutulis dalam sebuah catatan kehidupanku. Aku tetap akan menunggu meskipun nantinya air akan berkolaborasi dengan minyak (menyatu). Mungkin sebuah angin kehidupan merubah alur kehidupanku nanti disaat senja yang mulai terasa bosan akan hal bodo amat. Aku akan bersiap dalam waktu yang akan ditentukan oleh tuhan nanti. Aku tau Dia adalah maha sutradara yang tak ada tandingannya. Siapapun sutradara yang terbaik di dunia, aku bersumpah bahwa aku akan tetap tertuju lebih menyukai pada buatan tuhan maha kuasaku.

     #1

   “Gw ngga takut naik  bianglala putar ini!”  ucapnya dengan muka yang diangkat sedikit keatas. Dia melanjutkan tuturnya, “Palingan lo sendiri yang takut kan?” ejeknya.

   “Dih…, ngejek gua!” seruku sambil menatapnya mendelik. “Lo belum pernah ngeliat gua loncat dari atap rumah sih, hahaha” candaku dengan senyuman sumringah.

    Matanya tiba-tiba mengarah pada mata bulatku, terlihat sinis, tapi gemas, dia membantah ucapanku, “sekarang lo sendiri juga belum liat gw ngangkat gunung Bromo kan?, apalagi lo!” balas dia sekali lagi. Kemudian dia melanjutkan dengan nada yang meremeh “enteng banget mungkin!”

    Ya beginilah dia, terkadang lucu, terkadang juga nyeselin. Dia mempunyai sifat yang mungkin orang-orang punya, yaitu plin-plan. Tapi aku tak begitu menghiraukan sifat itu, aku lebih peduli jika aku sering disampingnya, meskipun bukan pacarnya,  setidaknya teman ceritanya lah

      Cukup!, gua ngga mau ceritakan semua pada prolog ini. Takutnya kalian akan mengetahui rahasia yang tersembunyi dari cerita ini.
Kata kunci buat kalian “Harapan.”

KOMA,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang