Siang hari yang terik menyinari pepohon rimbun di sepanjang jalan. Membentuk garis lurus di antara sela dedaunan berembun menuju dataran yang lunak. Aroma tanah yang keluar menarik burung-burung kecil, mematuk di permukaan tanah mencari makanan. Sayap kecil itu membentang lebar, bergerak cepat mengusir dedaunan yang jatuh ketika kendaraan melaju melewatinya.
Bunyi bising dari mesin itu sudah biasa menyamarkan suara air sungai yang mengalir dengan deras, ikan-ikan di dalamnya hanya bisa mengikuti arus yang terus berlanjut tanpa tujuan. Hingga dalam perjalanan mereka menemukan makanan yang membawa mereka ke permukaan, bertatap muka dengan seorang nelayan yang bekerja demi sesuap nasi. Yang pada akhirnya membawa kebahagiaan dalam keluarga.
Tapi itu 2 tahun yang lalu.
Sebelum kota ini berubah menjadi padang pasir yang mati.-[1]-
[--------Alat Untuk Pergi--------]
--
-
Srakk.....
Robek sudah lembaran berharga yang baru seminggu lalu ia perbarui dengan teliti. Mulanya benda itu berjumlah ganjil, namun beberapa detik kemudian jumlahnya berubah menjadi genap.
"Tidak berguna."
Dengan santainya sang pelaku mengucapkan kata itu setelah menjatuhkan benda yang baru saja ia robek ke tanah. Den selaku pemilik lembaran nyaris berteriak ketika melihat barang berharganya dirobek dengan mudah oleh anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dia pun segera memungutnya dengan cepat dan membersihkannya dari debu.
"Kau masih tidak tahu betapa pentingnya kertas ini? Sudah berapa kali kau merobeknya dan sudah berapa kali aku harus membuatnya ulang hah?!?"
Anak itu hanya mendengus dan mendudukkan diri di atas batu yang sudah sedari tadi ia incar. Den hanya bisa menggaruk kepalanya kesal kemudian segera mengambil selembar kertas baru dari dalam tasnya dan menyalin apa yang ada di kertas robek tadi.
Menyadari adanya masalah tambahan Den melirik ke arah sang biang masalah, anak itu pun menoleh padanya dengan enggan.
"Dengar, ini kertas terakhir. Jika kau merobeknya lagi akan kutinggalkan kau di sini sendirian," ujar Den memperingatinya dengan serius.
Hembusan napas keluar dari mulut anak itu, dia pun turun dari batu dan menghampiri Den yang tengah sibuk menyalin. Matanya memperhatikan garis-garis yang muncul dari goresan yang dibuat Den dengan pensil. Perlahan mulai membentuk gambaran abstrak yang sama seperti kertas sebelumnya.
"Apa gunanya kau membuat peta jika kita tidak bisa keluar dari sini? Lagi pula bagaimana bisa kau yakin itu akurat setelah melihat padang pasir ini? Tidak ada ujungnya."
Tangan Den terhenti, tekanan darahnya kembali naik begitu mendengar pendapat bodoh yang masuk ke telinganya. Pensilnya pun ia angkat, dan ditempelkan tepat pada kening anak berumur 12 tahun yang ada di hadapannya. Dapat ia lihat mata lebar bagai lautan api itu seperti hendak mengecilkan nyalinya. Namun bagi Den dia hanya anak kecil bermasalah biasa yang dapat ia tangani.
"2 tahun berlalu dan aku sudah mengajari banyak hal tapi kenapa kau masih sebodoh ini? Yang benar saja!"
Anak itu menyingkirkan pensilnya dan melempar tatapan kesal.
"2 tahun berlalu dan kita masih terjebak di padang pasir ini dengan peta bodohmu itu. Kau bilang jika aku pergi denganmu aku akan bisa keluar dari sini tapi apa?? Melihat peta itu membuatku tidak sabar."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZN1 : Tragedy of Miracle City
Science FictionWersnen mendapat julukan kota keajaiban, sumber dayanya begitu melimpah seakan tidak akan pernah habis, peristiwa yang terbilang langka selalu terjadi di sana, hewan yang nyaris punah pun masih berkeliaran di hutan rimbunnya. Kota itu seperti mendap...