BAB I (Ultimatum)

44 1 0
                                    

Lin, kau lihat ibumu ini?”
“Enggi, Pak” jawabku dengan dada penuh debar. Air mata tak dapat kubendung lagi. Tumpah dihadapan Bapak. Sesungguhnya tak ada pilihan lagi.

“Ibumu ini bukan tidur, Lin.” Bapak menambah tamparan sekaligus pecutan dengan perkataan lemah namun menusuk hingga ulu kalbu. Aku tahu, ibu dari tadi menahan tangis. Di sela menahan sakit. Aku tergugu di hadapan dua orang terhebat dalam hidupku.

                                       ***

Tadi siang, pengurus Madrasah tersengal membawa napasnya. Bilang ada paman dari Ibu telah menungguku di tempat pengiriman santri. Kupikir Paman hanya menjengukku seperti biasa, di luar duga raut wajah Paman tak bisa kuterka. Nyaris padam seolah kota di matanya lampu tak diperbolehkan menyala walau satu dua.

“Lin,” Paman meraih tanganku. “Sebaiknya kau pulang walau sebentar.” Lanjut paman. Wajahnya suram. Ada apa? “Paman sudah urus surat ijinmu untuk pulang. Pimpinan pengurus Madrasah memberikan ijin. Jadi sekarang ambil baju dan segala keperluanmu untuk di rumah.” Tanpa menunggu persetujuanku, paman mendesakku untuk lebih cepat bergerak. Aku yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, melangkah sesuai instruksi.

Di halaman Madrasah sudah terparkir motor Paman. Di balik kemudi, dia sudah menyalakan motornya. Bersiap membawaku menuju rumah. Tempat terjawabnya segala pertanyaan yang membuatku semakin rumit menebak.

Motor yang dibawa Paman membelah jalanan kota. Berhenti saat lampu merah dan mendengus kecil ketika berhadapan dengan polisi tidur. Bisa kulihat wajah Paman tidak tenang. Dari kaca spion motornya, dia sering mengusap wajahnya yang bias. Sesekali bersoloroh kecil entah apa.

Di saat seperti ini, aku tak berani bertanya. Aku tahu siapa Paman. Yang berani bertaruh demi kebahagiaan keluarganya. Memberi tahu tanpa harus dua kali bertanya. Jadi, kuputuskan untuk diam. Berharap sesuatu akan baik-baik saja.

Paman adalah adik kandung Ibu. Dua bersaudara. Selisih umurnya hanya lima tahun. Paman yang bilang waktu kami berkumpul di rumah Paman dan Bibi.

Akhirnya motor Paman memasuki perkampungan. Rumah bagi semua penduduk di sini. Rumah untuk siapa pun yang pergi. Rumah untuk berduka kali ini.

Suasana rumah sepi. Hanya ada beberapa pasang sendal yang terpajang rapi. Paman langsung masuk ke ruang tamu sendiri, menyisakan aku yang hanya terpatung tak mengerti. Baiklah, saatnya menjawab semua pertanyaan yang menumpuk di hati.

Assalamualaikum” Refleks semua orang yang duduk di bangu tamu menoleh ke arah pintu. Arah yang tanpa mereka duga, aku sudah berdiri tegak; menganga tak percaya.

Wa’alaikumussalam, sudah sampai, Lin? Mari sini duduk. Kami menunggu kedatanganmu.” Aku tahu suara itu bertengger dari siapa. Aku hapal betul. Suaranya yang halus namun tegas, lembut lagi bijaksana.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk dan menyalami mereka satu persatu. Dengan tas kecil yang kubawa, sedikit kerepotan menunduk memberi mereka penghormatan. Jujur, aku mulai tak nyaman dengan suasana seperti ini. Tanganku dingin, basah dan wajahku pias seketika.

Kulihat Bibi juga duduk di samping Paman, di tengah mereka Nenek terlihat menunduk. Kuhampiri lalu kusalami beliau. Tangannya yang keriput menjadi saksi betapa hebatnya Nenek mengasuh kami; Aku, Emmak sama Bapak.

Di sofa yang lainnya kulihat ada Bi Imah dan Paman Salman. Ada apa mereka berkunjung ke rumahku? Nenek baik-baik saja dan tidak sedang sakit. Pakaian mereka rapi. Bi Imah mengenakan setelan baju warna tosca dipadu padankan dengan bawahan batik bercorak putih. Wajah ayu khas perempuan Jawa terbaluti hijab senada dengan bajunya. Terlihat cantik dan pas di tubuh Bi Imah. Paman Salman menyejajari Bi Imah dengan celana kain warna hitam dan batik sebagai bajunya. Umur mereka sama seperti Emmak dan Bapak. Namun mereka lebih tua dibanding orang tuaku.

Baiat RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang