BERBEDA

8 1 0
                                    

Halaman pesantren menyisakan genang dan aroma petrikor menyambut kedatanganku. Motor Paman langsung balik kanan, pulang. Setelah bersalaman aku masih menatap pagar pesantren yang menjulang kokoh.


Bismillaah, kudorong pintu itu. Langkah kakiku langsung tertuju pada bangunan di sebelah Mushalla santri Putri; kantor pengurus. Selesai mengisi absen kehadiran, aku langsung menuju rayon ‘Aisyah. Tempat segala penat dan kerinduan akan tumpah.
Sebentar, langkahku terhenti seketika. Aku tidak sedang salah lihat.

Itu...

Astaghfirullah, sorot matanya yang sayup sayu. Badannya yang tegap. Jambangnya yang lebat menutupi belah dagunya hingga bawah. Menegaskan bahwa darah biru, trah pesantren mengalir kuat dalam tubuhnya.


Aku terpana. Tidak bisa lagi mencuri pandang pada matanya yang memesona. Kali ini sudah berbeda. Tak bisa kutaklukkan begitu saja degup yang semakin berantakan. Menderu, berlarian memompa aliran darah ke jantung.


Sudah beberapa bulan wajah itu kurindukan. Dengan pandangan tertuju pada tanah-tanah basah, setitik embun meluncur menemani genangan sisa hujan. Setelah sekian lama aku tak berani menatap walau hanya satu helai rambutnya.


Kulihat Gus Habib membuka pintu mobil. Rayon ‘Aisyah persis bedampingan dengan ndalem Kyai dan Nyai, pengasuh pondok kami. Jadi, meski hanya sekilas ndalem Kyai dan Nyai terlihat walau hanya halaman yang bersih dan aneka bungan yang mekar.
Mobil itu menderu lembut. Melewatiku yang menunduk sebagai tanda penghormatan pada pengasuh. Aku yakin, di dalam mobil itu Kyai dan Nyai ikut, serta keluarga pesantren lainnya. Seperti membawa aneka buah tangan dengan nkeranjang yang dihias sedemikian rupa. Sempat kulihat tadi khadimah membantu memasukkan ke bagasi mobil.
Kemana mereka? Itu bukn urusanku.


Satu menit kemudian mobil itu hilang di kelokan jalan. Melaju kencang membelah jalanan.


“Eh, Mbak Kalin sudah balik?” Mbak Sofi, khadimah pesantren, tangan kanan Nyai sepuh, menegurku.


“Enggi, Mbak Fi. Kemarin sempat pulang, ada acara dadakan.” Senyum yang ketir. Tidak mungkin aku menceritakan semua ini pada Mbak Sofi.


“Duh, betapa beruntungnya kelak yang akan menjadi istri Gus Habib. Sudah ganteng, anak tunggal. Satu-satunya pewaris pesantren ini.” Mbak Sofi menghayal. Mata bulatnya mengerjap ngerjap. Senyum-senyum sendiri.


Apa Mbak Sofi bilang? Istri Gus Habib?


Pastilah Kyai dan Nyai sudah mencarikan pendamping yang tepat untuk putra tunggalnya. Perempuan yang cantik, pintar, kemungkinan besar dari darah biru. Jadi, untuk apa wanita sepertiku menunggu? Ini jelas bukan masalah bagaimana aku dan Gus Habib tidak mungkin bersatu, lebih pada jalan yang kita berbeda untuk dituju. Aku yang masih bingung dengan perjalanan rumit, atau Gus Habib yang semakin sulit ku gamit.


Tiga tahun bukan waktu yang sekejap untuk menunggu kepastian. Tiga tahun bukan waktu sebentar untuk sebuah persembunyian. Dan inikah sebuah balasan mengapa tak kunjung menerima alasan?


Mbak Sofi kembali masuk ke ndalem. Dengan tidak menggapi pengumuman darinya, aku langsung berlari kecil menembus genangan air di halaman. Memasuki kompleks rayon ‘Aisyah lantas membuka pintu dengan nomor 12A.


Lengang. Ruangan itu kosong. Wilda tidak ada. Aku sedikit beruntung karena tidak ada yang tahu aku sedang menangis. Santri masih disibukkan dengan muhadlaroh di aula madrasah.


Jika perhitunganku tepat, setengah jam lagi acara itu selesai dan kuusahakan sembab di mata hilang tanpa sekat.


Masih tersisa sekitar dua puluh menit lagi, kulirik pergelangan tangan. Melingkar sebuah waktu yang tak dapat kuputar ulang. Aku terus menangis, mengingat ucapan Mbak Sofi di depan pintu gerbang. Apa benar mereka pergi untuk lamaran?

Gus, aku lelah.

Baiat RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang