Waalaikumussalam. Baiklah, Mbak Kalin. Sebentar.” Terdengar suara kaki berderap melangkah. Mungkin Mbak Pengurus lagi mencari keberadaan Wilda. Biasanya, jam sore seperti ini para santriwati sudah berkumpul di aula madrasah. Menyiapkan diri untuk menyaksikan muhadlaroh, rutinitas santri tiap akhir pekan.
“Aduuhh.., Lin. Kamu bisa ngga sih kali ini saja ngga hilang tiba-tiba?” Tanpa salam Wilda langsung nyemprot aku dengan nada kesal.
“Aku hampir mati berdiri dimarahi Ketua Rayon ‘Aisyah. Kamu kemana sih? Aku cari di Kantor Pengurus ngga ada. Aku lacak di kantin pesantren juga raib. Untung saja junior kita dengan suka rela membantu persiapan muhadlaroh kali ini. Kalau ngga, bisa kau bayangkan wajah Mbak Lutfiyah seperti apa. Duh, membayangkan saja aku bergidik. Oh, ya jangan-jangan kamu punya jurus menghilang yang kamu sembunyikan?” Masih saja kuberi dia tempat untuk menumpahkan kekesalannya.
Aku masih diam. Belum menanggapi ocehan Wilda. Tersenyum ketir. Mengembuskan napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan.
Wilda juga diam. Bisa kudengar gemericik gerimis yang jatuh menimpa atap bangunan. Suara santriwati yang bergemuruh. Dan detak jantung yang tak keruan.
“Lin?” Suaranya terdengar khawatir.
“Tunggu. Aku akan balik sekarang juga. Bilang sama ketua pengurus kantor, surat ijin pulangku tidak usah diperpanjang. Aku balik ba’da ashar.” Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku tidak mau Wilda curiga bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
“Kapan kau pulang?” Nada bicaranya mulai gelisah. Dia sahabat yang peka.
“Ceritanya panjang. Kalau dibukukan mungkin muat empat ratus halaman. Tapi halaman kosong. Hee” Terdengar suara cekikikan khasnya.
“Huuu, dasar! Udah ih, handphonenya mau dipake. Tuh, Mbak Zahra dari tadi sudah nunggu.” Wilda mengakhiri.
“Wil, kuharap ba’da isya’ kau mau temani aku. Assalamualaikum.”
“Selama ada cilok gratis, Boskuh. Heee. Wa’alaikumussalam”.
Azan ‘Ashar berkumandang lantang. Genangan air di halaman masih tersisa. Dua jam sejak kepulangan keluarga Paman Salman, aku masih berdiri di depan cermin kamar. Menatap sosok perempuan dihadapanku ini mengingatkanku pada Emak sekaligus Bapak.
Dingin menyentuh setiap inci rongga kulitku. Air wudu’ menetes perlahan menembus dagu lalu jatuh beruntun pada ruku. Aroma tanah menyeruak memenuhi kamarku. Khas dan kuat.
Aku sudah bersiap mendirikan shalat. Dengan ruku terpasang rapi di badanku. Sajadah tergelar. Sepenuhnya kupasrahkan pada Sang Maha Memberi Cinta. Untuk saat ini, aku hanya ingin tenang. Kuluahkan segalanya pasa Rabbku.
“Bhing, mau balik sekarang?” Tiba-tiba Nenek muncul dari daun pintu dengan ruku masih setengah terpakai mentupi kepala dan bagian dada, sedangkan bawahannya tertutupi oleh sarung.
“Enggi, Nek. Ada kepentingan mendesak. Lina lupa di pondok ada acara yang harus Lina selesaikan. Jika ada Emak atau Bapak nanti telepon, bilang Lina sudah balik.” Nenek menghampiriku lalu duduk di dekatku.
Aku rindu Emak dan Bapak. Sudah dua tahun mereka bekerja jadi TKI di Negeri Jiran. Sengaja tak ku telepon tadi, aku tidak mau Emak dan Bapak semakin kepikiran denganku.
“Bhing, tidak usah terlalu dipikirkan. Kau fokus saja dulu sama pelajaran. Urusan ini biarkan berjalan layaknya sebuah rumah. Kau tidak mungkin memasang atap lebih dulu jika pondasinya saja kau tidak punya? Ketika semua sudah siap, mantapkan hatimu. Perjalananmu masih sangat panjang, kita tidak tahu kapan ajal menjemput raga, hilang akal, dan lain sebagainya.
Tuhan selalu punya cara tersendiri yang mungkin bagi kita tidak masuk akal. Namun itu yang terbaik dari yang paling baik. Kau boleh menemukan cara untuk menghindari dari maut, tapi Kuasa Allah tetap tak terbaca bahkan oleh alat secanggih apa pun.” Nenek melanjutkan.
“Kau harus baik-baik. Jangan patah arang. Jangan lemah hanya karena ini. Semua keputusan tetap dalam genggamanmu, Lin.” Aku tidak tahu harus berkata apa. Hanya dengan berkata seperti itu, seperti setengah terangkat beban yang ada. Nenek selalu peka. Jadi teringat Wilda Novarita.
Wil, dalam hitungan jam lagi, bersiaplah menjadi tempat, ruang untuk segalaku. Aku tidak mau terluka sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Baiat Rindu
Teen FictionBukan. Bukan masalah Cinta yang bertepuk sebelah tangan atau seseorang yang menempatkan hati sembarangan. Kadang Cinta tidak tahu tempat, kadang datang di waktu yang belum tepat. Teka-teki kehidupan yang tidak terlalu rumit namun banyak yang berkata...