𝑜𝒻𝓁: 𝓈𝒶𝓉𝓊

72 9 0
                                    

"Hai, Kak."

Suara bel disertai decitan pintu terbuka menampilkan seorang gadis yang sedang berjalan ke arah meja pemesanan. Seorang gadis dengan sepatu warrior putih yang membungkus kakinya dan tak lupa sebuah buku yang ada di genggaman tangan kirinya.

Farren Aleeza, gadis yang dikenal dengan gaya berpakaian yang monokrom dan selalu membawa sebuah buku dalam genggamannya. Terbiasa hidup mandiri sejak remaja, membuat gadis berusia tujuh belas tahun ini sudah memiliki mata pencaharian sendiri di usianya yang masih belia.

"Hai, Kak," ulangnya sekali lagi.

Hugo yang sedang meracik kopi, langsung mengalihkan pandangannya ke arah suara. Ia mendekati Farren yang sedang menatapnya sambil tersenyum.

"Satu cokelat panas dengan topping oreo, untuk gadis manis yang selalu sendirian ke tempat ini," ucap Hugo sambil menjentikkan kedua jarinya.

Farren memiringkan sedikit kepalanya, lalu menaikkan sebelah alisnya,

"Terimakasih Kak Hugo, laki-laki yang masih memilih untuk menata hidupnya sendiri tanpa pendamping hingga saat ini."

Hugo menggelengkan kepalanya, "Itu prinsip Kakak, bukan nasib."

Farren mengendikan kedua bahunya, lalu beranjak menjauh dari meja pemesanan. Matanya melirik sekeliling, mencari tepat singgah yang cocok untuk menemaninya beberapa waktu kedepan.

Langkah kakinya terhenti di sebuah bangku yang terletak di pojok ruangan, dua sofa saling berhadapan dengan pemandangan kota di sore hari menjadi pelengkap. Tidak terlalu kelihatan, namun nyaman. Sangat cukup bagi Farren yang tidak begitu suka dengan keramaian.

Menatap pemandangan kota yang ramai akan kendaraan, ditambah lagi dengan rintik hujan yang mulai turun membasahi kota. Terlihat sebagian pengguna jalan memilih untuk berteduh sebentar di atap-atap warung yang berada di pinggir jalan, ataupun tempat parkir yang menyediakan peneduh di atasnya.

Farren menajamkan pandangannya ketika melihat sekelebat bayangan seorang perempuan yang tengah memandang ke arahnya. Ia menyeringai, menatap Farren lekat-lekat, Farren yang sadar akan di tatap pun langsung mengalihkan pandangannya dan tak memusingkan hal tersebut. Ia mengalihkan tatapan ke arah bukunya, membukanya, lalu tenggelam dalam atmosfer buku yang diam-diam menghanyutkan.

"Satu cokelat panas, dengan topping oreo sudah siap."

Farren mengalihkan pandangannya kepada sang empu, lalu mengangguk.

"Makasih, Kak."

Hugo mendudukkan diri di hadapan Farren,

"Gimana kabarnya Kaemon sama Dava?"

"Baik, masih hidup"

Hugo terkekeh,

"Tumben mereka ga pernah mampir ke sini."

"Bang Kae lagi di luar negeri, ngurus anak perusahaannya yang di sana. Kalau Kak Dava, lagi sibuk sama kuliahnya."

Hugo menganggukkan kepalanya, kemudian menatap sekeliling kafe yang mulai ramai.

"Farren, Kakak ke depan dulu ya, banyak pelanggan yang antri," balas Hugo.

Farren menganggukkan kepalanya, mempersilahkan sahabat abangnya sekaligus pemilik kafe itu untuk kembali ke arah meja pemesanan. Dari sudut pandang ini Farren bisa lihat jika peminat kafe ini sangat banyak, tak heran jika sahabat abangnya itu sampai kewalahan, padahal tak sedikit pegawai yang membantunya di kafe itu. Farren berdecak kagum, sedetik kemudian ia bergidik ngeri, Bagi Farren yang tidak suka keramaian, pemandangan itu sangatlah menyebalkan.

Ia menggelengkan kepalanya dan kembali memfokuskan dirinya ke arah bacaannya yang sempat terhenti.

"Farren..."

Farren merasa bulu kuduknya naik ketika mendengar panggilan itu, ia melirik sekitar untuk memastikan pendengarannya masih baik-baik saja. Namun, ia tidak melihat siapapun yang memanggilnya, seluruh pengujung kafe itu sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ia menggeleng pelan, menepis seluruh pikiran negatif dari ingatannya dan mencoba kembali fokus dengan buku bacaannya.

"Farren..."

Ia mengernyit ketika mendengar suara itu memanggil kembali namanya untuk kedua kalinya dan kali ini berasal dari arah depannya. Karena penasaran, Ia mendongakan kepalanya dan memfokuskan pandangan lurus kedepan.

Farren tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, kedua bola matanya membulat. Terlihat di depannya seorang perempuan tengah duduk menghadapnya, dengan seringai yang membuat Farren bergidik ngeri. Perempuan itu masih menatapnya lamat-lamat tanpa berniat untuk memutus kontak matanya dengan Farren.

Farren hanya bisa membeku, masih beradaptasi dengan kejadian yang menimpanya.

"setelah lima tahun, kita bertemu lagi Farren," ucap perempuan itu dengan nada yang menggeram rendah.

Farren terdiam membeku, Ia sangat terkejut dan tak bisa berkata apa-apa.

"Ini bukan pertemuan pertama setelah sekian lama, Farren. Aku me---"

"Permisi"

Suara bariton yang mampu menyadarkan Farren dari tatapan perempuan itu. Ia menatap sang empu, lalu mengerutkan keningnya,

Siapakah pemuda yang ada di hadapannya ini?

"Bolehkah Saya duduk di sini?"

Farren menaikkan sebelah alisnya, tidak mengerti. Apakah pemuda ini tidak melihat seorang perempuan yang jelas-jelas tengah duduk di hadapan Farren,?

"Maksudnya?"

"Tempat yang lain sudah penuh," lanjutnya pelan.

Seketika Farren melempar pandangannya ke sekeliling kafe, dilihatnya suasana kafe yang ramai akan pengunjung, di tambah lagi udara dingin yang menyelimuti, menjadi alasan logis mengapa kafe ini ramai akan pengunjung. Sudah menjadi hukum alam, ketika tempat yang biasanya selalu ramai, menjadi lebih ramai jika atmosfer sekitar lebih dingin dari biasanya.

"Lo ngga lihat ada cewe di depan gua?"

Kedua alis pemuda itu mengernyit heran, "Perempuan?"

Farren mengangguk cepat, ia ingin segera mengakhiri pembicaaran ini, sejujurnya ia malas untuk berkenalan dengan orang baru, terkecuali urusan pekerjaan yang memaksanya harus berkenalan dengan sederet orang baru. Sangat menyebalkan.

"Iya, cewe. Itu di---"

Farren menghentikan ucapannya ketika melihat tak ada seorang pun yang tengah duduk di hadapannya. Ia refleks menggosok kedua matanya perlahan, memastikan penglihatannya tidak meleset. Namun tetap tidak ada siapapun. Beberapa menit yang lalu ia masih melihatnya. Farren terdiam sebentar, lantas kemana perginya perempuan itu?

Tanpa sadar Farren hendak menggosok kembali kedua matanya, benar-benar memastikan bahwa ia tidak mengigau hari ini. Ia yakin jika tadi ia melihat seorang perempuan tengah duduk di hadapannya bahkan sempat berbicara dengannya.

Gerakan Farren terhenti ketika Ia merasa sebuah tangan menahan kedua tangan mungilnya. Lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya,

"Jangan digosok, nanti mata kamu merah"

Farren terhenyak, kemudian menatap mata hitam legam yang tengah menatap balik ke arahnya. Sedetik kemudian ia memutus kontak mata itu, lalu menarik kedua tangannya. Ia menghela napas pelan.

"Lo boleh duduk"

Bisa Farren lihat, pemuda itu tersenyum di balik penutup mulut berwarna putih yang ia pakai, ditambah lagi matanya yang terlihat sedikit menyipit.

"Terimakasih"

𝓸𝓷𝓮 𝓯𝓻𝓸𝓶 𝓵𝓪𝓼𝓽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang