𝑜𝒻𝓁:𝓁𝒾𝓂𝒶

33 7 0
                                    

"Ren"

Farren menoleh ketika mendengar Atha memanggilnya.

"Lo bawa siapa tadi malem?"

Kening Farren mengerut, terpaksa mengingat kejadian semalam yang ingin Ia lupakan. Laki-laki menyebalkan itu, Ia berharap tidak bertemu dengannya lagi, tidak akan.

"Orang yang kurang kadar kewarasannya," balas Farren sekenanya. Ia lagi tidak ingin membahas laki-laki itu.

Atha memutar kedua bola matanya malas, "Lo kalo mau bohong yang masuk akal dikit dong. Ganteng kaya gitu lo bilang ga waras," kesalnya.

"Beneran kok," bela Farren.

"Tapi kok gua liat mukanya memar kaya habis dipukuli ya?" Atha memangku wajahnya sambil menatap langit-langit, berusaha mengingat wajah laki-laki itu.

Farren tetap tenang, tidak memberikan ekspresi apapun.

"Mungkin dia lagi belajar cara merias diri"

Atha melongo, tak percaya dengan perkataan sahabatnya.

"Terserah lo aja," decaknya sebal.

"Lo mau kemana?" Tanya Atha kembali ketika melihat Farren yang sedang memakai sneakersnya.

"Gua keluar sebentar, mau bahas projek sama sutradara," balas Farren sambil berjalan keluar.

***

Farren menatap apilikasi chat di ponsel pintarnya. Membaca kembali pesan yang dikirimkan seseorang beberapa waktu lalu, memastikan jika alamat yang sedang ia tuju tidak salah. Farren menganggukkan kepalanya berulang kali, Ia yakin jika ini adalah tempatnya.

Farren melangkahkan kakinya kedalam restoran tersebut, dan melemparkan pandangannya sekeliling ruangan. Mencari seseorang yang sudah membuat janji dengannya. Pandangannya terhenti pada sebuah bangku di pojok ruangan, terlihat seorang laki-laki sedang melempar pandangan keluar, dari sudut ini Farren bisa pastikan bahwa orang itu yang Ia cari.

Farren menepuk pelan meja ketika sudah sampai di hadapan laki-laki itu, membuat sang empu langsung menoleh ke arahnya.

"Mari Farren, duduk dulu," ujarnya mempersilahkan.

Farren mengambil tempat dihadapannya, yang membuat Ia bertatapan langsung dengan netra hitam legam itu. Sejujurnya Farren sedikit takut ketika menatapnya, seolah-olah netra itu mengeluarkan aura yang membuat Farren harus selalu waspada.

"Jadi, mengapa anda ingin bertemu dengan saya, sutradara Sigra?"

Pria itu terkekeh pelan, menampilkan senyum manis seperti gula. Farren terhenyak, ini pertama kalinya ia melihat pria itu terkekeh yang berhasil membuat atmosfer di sekelilingnya berubah drastis dari sebelumnya, sungguh menakjubkan.

"Tidak perlu seformal itu, Farren," balasnya pelan.

Farren tersenyum masam sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Ia merasa canggung dengan sutradara di depannya ini.

Pria itu berdeham pelan, "Saya mengajakmu bertemu disini untuk membahas pemeran utama yang akan memainkan peran dalam film itu," lanjutnya memulai pembicaraan.

"Jadi apakah kamu sudah menentukan pilihannya Farren?"

Farren menghela napas pelan, Ia bingung harus menjawab apa, akhir-akhir ini Ia tidak menyimak dunia entertainment tanah air, jadi Ia belum bisa memutuskan untuk memilih siapa yang menurutnya cocok memerankan karakter itu.

Sigra yang melihat gelagat Farren tersenyum tipis, "Saya sudah memiliki beberapa kandidat yang cocok untuk menjadi peran utama dalam film itu," ucapnya sambil mengulurkan beberapa lembar kertas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝓸𝓷𝓮 𝓯𝓻𝓸𝓶 𝓵𝓪𝓼𝓽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang